Chapter 23 - dua puluh tiga

Bank-bank berakal busuk yang menerbitkan kartu kredit itu, karena alasan yang tak bisa dijelaskan, menaikkan batas kreditku hanya dalam beberapa minggu sebelum liburan, Aku tiba-tiba bisa belanja semauku. Dengan wisuda dan pekerjaan hanya beberapa bulan di depan mata, aku tahu bisa bersúsah payah melunasi sejumlah kecil pembayaran minimum sampai musim panas tiba. Jadi, aku belanja dan belanja, dengan impian akan kehidupan indah bersama Anya Joy.

Sekarang aku benci diri sendiri karena sudah melakukan semua itu, tapi sebenarnya aku sudah mencatat dan mengkalkulasi segalanya. Itu bisa dibereskan.

Hati bebek itu membusuk ketika suatu malam aku membiarkannya di atas lemari es, sementara aku terlibat pergulatan hebat dengan bir murahan. Untuk jamuan Natal, aku seorang diri makan keju dan sampanye di dalam apartemen yang gelap. Kaviarnya tak tersentuh. Aku duduk di sofaku yang goyah, menatap perhiasan di lantai di depanku. Ketika menggigiti sepotong besar keju Brie dan meneguk Dom, aku melihat hadiah Natal untuk kekasihku, dan menangis.

Pada suatu saat yang tak kuketahui dengan tepat, antara Natal dan Tahun Baru, aku menenangkan diri dan mengusahakan untuk mengembalikan barang-barang mahal itu ke toko asalnya. Aku bermain-main dengan gagasan untuk melemparkan mereka dari jembatan, seperti Billy Joe, atau melakukan tindakan dramatis semacam itu. Namun melihat keadaan emosiku saat itu, aku tahu sebaiknya aku tidak dekat-dekat dengan jembatan.

Saat itu sehari sesudah malam Tahun Baru. Ketika kembali ke apartemen, sesudah jalan-jalan dan lari, kusadari bahwa aku baru saja dirampok. Pintu didobrak dengan linggis, Maling-maling itu mengambil TV dan stereo tuaku, satu stoples uang logam 25 sen di meja riasku, dan—tentu saja—perhiasan yang kubeli untuk Anya Joy.

Aku menelepon polisi dan mengisi formulir laporan. Aku memperlihatkan pada mereka tanda transaksi kartu kredit itu. Si sersan cuma menggelengkan kepala dan menyuruhku menghubungi perusahaan asuransi.

Aku membuang tiga ribu dolar lebih dalam transaksi dengan uang plastik. Saatnya sudah tiba untuk membereskannya.

Aku dijadwalkan untuk diusir besok. Undang-undang Kebangkrutan punya ketentuan yang sangat bagus, yang memberikan penundaan otomatis segala tindakan hukum terhadap orang yang berutang. Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan besar kaya raya, termasuk sobatku Halter Grisworld, berlari ke pengadilan kebangkrutan ketika membutuhkan perlindungan sementara. Induk semangku tak bisa menyentuhku besok; bahkan tidak bisa meneleponku dan menyemburkan caci maki.

Aku keluar dari lift dan menarik napas dalam. Gang itu penuh sesak dengan pengacara. Ada tiga hakim bekerja penuh mengurus kasus kebangkrutan, dan ruang sidang mereka ada di lantai ini. Mereka menjadwalkan berpuluh-puluh sidang pemeriksaan tiap hari, dan tiap sidang melibatkan sekelompok pengacara; satu untuk debitor, beberapa untuk kreditor. Tempat ini seperti kebun binatang. Ketika berjalan levat, aku mendengar berpuluh-puluh konferensi penting. Para pengacara melakukan tawar-menawar mengenai tagihan biaya pengobatan yang tak terbayar dan berapa nilai truk pickup-nya. Aku memasuki kantor panitera dan menunggu sepuluh menit, sementara para pengacara di depanku berlambat-lambat mengisi formulir petisi. Mereka kenal baik dengan para asisten panitera di situ, dan banyak main mata serta berbasa-basi tak keruan. Aduh, aku suka jadi pengurus kebangkrutan, sehingga perempuan-perempuan di sini akan memanggilku Finley atau Sean.

Tahun lalu ada seorang profesor mengatakan pada kami bahwa kasus kebangkrutan adalah bidang yang akan berkembang untuk masa depan, apalagi dengan ketidakpastian situasi ekonomi, pemangkasan tenaga kerja, penciutan perusahaan, demikian ia memperhitungkan. Ini pendapat yang tak pernah mengajukan sepeser pun tagihan dalam praktek hukum.

Namun hal itu memang tampak menguntungkan saat ini. Petisi kebangkrutan diajukan dari berbagai penjuru. Semua orang jatuh miskin. Kuserahkan formulir-formulirku pada seorang kerani yang tampak bosan, seorang gadis manis dengan mulut penuh permen karet. la melirik petisi itu dan mengamatiku dengan cermat. Aku memakai kemeja denim dan celana khaki.

"Kau pengacara?" ia bertanya agak keras. Kulihat orang-orang memandangku.

"Bukan."

"Apa kau debitor?" ia bertanya -lebih keras lagi, permen karetnya berdecak-decak.

"Ya," jawabku cepat-cepat. Debitor yang bukan pengacara bisa mengajukan petisinya sendiri, meski hal ini tak pernah diiklankan di mana pun. la mengangguk dan membubuhkan cap pada petisi tersebut. "Biaya pengajuan petisi delapan puluh dolar."

Kuangsurkan empat lembar dua puluh dolar kepadanya, lalu ia mengambil uang itu dan memandangnya dengan curiga. Petisiku tidak mencantumkan rekening koran, sebab aku sudah menutupnya kemarin, secara efektif menghapuskan aset senilai $11,84. Aset lain yang terdaftar adalah: sebuah mobil Toyota yang sangat tua— $500; macam-macam perabot—$150; koleksi SCD $200; buku-buku hukum—$125; pakaian—$150. Semua aset ini dianggap barang pribadi, jadi dibebaskan dari tindak hukum. Aku baru saja mulai. Aku boleh menyimpan semuanya, tapi diminta menerus kan pembayaran Toyota tersebut.

"Tunai nih?" katanya, kemudian memberiku sehelai tanda terima.

"Aku tidak punya rekening bank," aku nyaris berteriak kepadanya, agar bisa didengar oleh mereka yang menguping dan mungkin menginginkan sisa ceritanya.

la memandangku berapi-api; aku membalas tatapannya. la kembali pada kesibukannya dan dalam semenit menyodorkan salinan petisi itu dengan sehelai tanda terima. Aku melihat tanggal, jam, dan tempat sidang pemeriksaanku.

Aku hampir sampai ke pintu ketika seseorang menyetopku. Seorang laki-laki muda berperawakan kekar dengan wajah berkeringat dan jenggot hitam menyentuh lenganku pelan. "Maaf, Sir," katanya. Aku berhenti dan memandangnya. La menyelipkan sehelai kartu nama ke tanganku. "Oscar Milos, pengacara. Saya kebetulan mendengar pembicaraan Anda di sana tadi. Saya pikir Anda mungkin butuh bantuan dengan BK Anda."

BK adalah istilah pengacara unluk menyebut bangkrut.

Aku melihat kartu nama itu, kemudian beralih pada wajahnya yang bopeng. Aku sebenarnya sudah mendengar nama Oscar. Aku pernah melihat ikiannya pada ikian mini di surat kabar. la mengiklankan penanganan kasus Pasal 7 untuk 150 dolar ke bawah dan ini dia orangnya, berkeliaran di kantor panitera seperti burung pemakan bangkai, menunggu untuk menerkam si goblok yang mungkin bisa memberikan 150 dolar.

Dengan sopan aku mengambil kartunya. "Tidak, terima kasih," kataku, mencoba bersikap ramah. "Aku bisa menanganinya."

"Ada banyak cara untuk mengacaukannya," katanya cepat, dan aku yakin ia sudah memakai kalimat ini seribu kali. "Pasal 7 bisa mengecoh. Saya menangani seribu kasus tiap tahun. Dua ratus dolar kurang, dan akan saya urus segalanya. Saya punya kantor dan staf."

Sekarang ongkosnya dua ratus dolar. Kurasa apabila bertemu langsung dengan orangnya, ia akan menambahkan lima puluh dolar. Sampai di sini, akan sangat mudah mengumpatnya, tapi perasaanku mengatakan Oscar jenis manusia yang tak bisa dipermalukan lagi.

"Tidak, terima kasih," kataku, dan menerobos melewatinya.

Perjalanan ke bawah berlangsung lamban dan menyebalkan. Liftnya penuh sesak dengan pengacara, semuanya berpakaian buruk, dengan koper rombeng dan sepatu lecet. Mereka masih berceloteh tentang pengecualian serta apa yang bisa diselamatkan dan apa yang tidak. Omong kosong pengacara. Diskusi yang luar biasa penting. Mereka sepertinya tak bisa berhenti.