Chapter 24 - dua puluh empat

Ketika kami hampir berhenti di lantai dasar, hal itu terlintas dalam pikiranku. Aku tidak tahu apa yang akan aku kerjakan setahun dari sekarang, dan bukan sekadar ada kemungkinan, tapi kemungkinan amat besar aku akan naik lift ini, terlibat dalam perdebatan dangkal dengan orang-orang yang sama. Kemungkinan besar aku akan jadi seperti mereka, bergelandangan di jalanan, mencoba memeras bayaran dari orang-orang yang tak mampu membayar, luntang-lantung di sekitar pengadilan, mencari pekerjaan.

Aku berkunang-kunang membayangkan pikiran mengerikan ini. Lift itu panas dan pengap. Kupikir aku akan muntah. Lift berhenti, mereka menghambur ke dalam lobi, berpencar sambil masih bicara dan berdiskusi.

Udara segar menjernihkan kepalaku ketika aku berjalan di sepanjang pelataran mal Southaven, jalan khusus untuk pejalan kaki, dengan sebuah gerobak buatan untuk mengangkut para gelandangan ke sana sini. Dulu jalan ini disebut Main Street, dan masih merupakan sarang bagi banyak pengacara. Gedung pengadilan hanya beberapa blok dari sini. Aku melewati gedung-gedung jangkung di pusat kota, dalam hati bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi di berbagai biro hukum yang tak terhitung jumlahnya itu: para associate berjuang mati-matian, bekerja delapan belas jam sehari, sebab orang berikutnya bekerja dua puluh jam sehari; partner junior berdiskusi membahas strategi perusahaan; partner senior bicara di dalam kantor-kantor pojok mereka yang didekorasi mewah, sementara sekelompok pengacara yang lebih muda menunggu instruksi.

Sejujurnya, inilah yang aku inginkan ketika mulai kuliah hukum. Aku menginginkan tekanan dan kekuasaan yang memancar dari bekerja bersama orang orang pandai dan bermotivasi besar, yang semuanya di bawah tekanan, desakan, dan batas waktu. Biro hukum tempatku magang musim panas kemarin adalah biro hukum kecil, hanya ada dua belas pengacara, tapi banyak sekretaris, paralegal, dan kerani lainnya. Kerap kali aku mendapati suasana kacau di sana memesona. Aku adalah bagian yang sangat kecil dalam tim itu, dan aku ingin suatu hari kelak menjadi kaptennya.

Aku membeli es krim dari penjaja jalanan dan duduk di sebuah bangku di Court Square. Burung burung merpati mengawasiku. Terbayang di atasnya adalah First Federal Town, gedung tertinggi di Southaven, sarang Chris & Fou. Aku bersedia membunuh untuk bisa bekerja di sana. Memang gampang bagiku dan rekan-rekanku untuk mengutuk Chris & Fou. Kami mengutuki mereka, sebab kami tidak cukup baik bagi mereka. Kami membenci mereka, sebab mereka tidak akan memandang kami, bahkan tak mau repot mewawancarai kami.

Aku mengira kalau ada Chris & Fou di setiap kota, di segala bidang. Aku tidak bisa bekerja di sana dan tidak menjadi bagiannya, jadi aku akan terus menjalani hidup sambil membenci mereka.

Bicara tentang biro hukum, aku pikir karena sudah berada di kota, aku akan menghabiskan beberapa jam untuk mengetuk pintu. Aku punya daftar pengacara yang kalau tidak bekerja sendirian, tentu bergerombol bersama satu-dua praktisi lain. Satu-satunya faktor pemberi semangat dalam memasuki bidang yang sudah begitu penuh sesak adalah banyak sekali pintu yang bisa diketuk. Ada harapan, demikian yang aku katakan pada diri sendiri, bahwa pada saat yang tepat aku akan menemukan kantor yang belum pernah ditemukan orang lain, dan berjumpa dengan pengacara yang merengek-rengek membutuhkan orang baru untuk menggarap pekerjaan sampahnya. Entah laki-laki atau perempuan. Aku tak peduli.

Aku berjalan beberapa blok menuju Chrysler Building, gedung tinggi pertama di Southaven, yang sekarang menjadi sarang beratus-ratus pengacara. Aku mengobrol dengan beberapa sekretaris dan menyerahkan resume-anku. Aku benar-benar tercengang ketika melihat betapa banyaknya kantor pengacara yang mempekerjakan resepsionis pemurung dan bahkan kasar. Jauh sebelum kami menyentuh masalah pekerjaan, aku kerap kali diperlakukan seperti pengemis. Beberapa orang mengambil resumeku dan memasukkannya ke laci Aku tergoda untuk memperkenalkan diri sebagai klien potensial, suami yang sedang berduka cita atas kematian istrinya karena tertabrak truk besar, truk yang diasuransikan dalam jumlah besar. Dan seorang sopir mabuk. Truk Exxon, mungkin. Tentu menyenangkan melihat bangsat-bangsat judes itu melompat dari kursi mereka, menyeringai lebar, bergegas mengambilkan kopi untukku.

Aku pergi dari kantor ke kantor, tetap tersenyum saat aku sebenarnya ingin menggeram, mengulangi kalimat yang sama kepada para perempuan yang sama. "Ya, nama saya Edward Cicero, mahasiswa hukum tahun ketiga di Southaven University. Saya ingin bicara dengan Mr... Entah Siapa mengenai pekerjaan."

"Mengenai apa?" mereka sering kali bertanya. Dan aku terus tersenyum ketika menyerahkan resume dan kembali minta bertemu dengan Mr. Boris. Mr. Boris selalu terlalu sibuk, maka mereka menepiskanku minggir dengan janji aku akan dihubungi.

***

Wilayah Granger Southaven terletak di utara kota lama. Deretan rumah bata yang berjejalan di jalan jalan yang dinaungi pohon, memberikan bukti tak terbantah dari suatu pemukiman yang dibangun sekaligus ketika Perang Dunia. Kedua berakhir dan para Jan Fabrizio mulai membangun. Mereka mendapat pekerjaan yang baik di pabrik-pabrik di dekatnya. Mereka menanam pohon di halaman depan dan membangun teras di halaman belakang. Bersama lewatnya waktu, para Jan Fabrizio itu bergerak ke timur dan membangun rumah yang lebih bagus, dan Granger perlahan-lahan menjadi campuran para pensiunan dan orang-orang kulit putih maupun hitam kelas bawah.

Rumah Smith dan Eddy Jack tampak seperti ribuan rumah lainnya. Rumah itu menempati sepetak tanah tak lebih dari 25 kali 30 meter. Sesuatu telah terjadi pada pohon yang seharusnya ada di halaman depan. Sebuah Chevrolet tua ada di dalam garasi untuk satu mobil. Rumput dan perdunya terpangkas rapi.

Di sebelah kiri, sang tetangga sedang dalam proses membangun kembali sebuah mobil balap, suku cadang dan ban bertebaran ke segala penjuru, sampai ke jalan. Di sebelah kanan, sang tetangga sudah memagari seluruh halaman dengan pagar kawat, rumput liar tumbuh setinggi tiga puluh sentimeter. Dua ekor anjing Doberman berpatroli di jalan tanah di dalam pagar itu.

Aku parkir di jalan masuk di belakang Chevrolet, dan anjing Doberman itu menggeram kepadaku tak sampai dua meter dari sana.

Saat itu menjelang sore, suhu hampir mendekati 32 derajat. Jendela-jendela dan pintu-pintunya terbuka. Aku mengintip ke dalam dari pintu kasa depan, dan mengetuk pelan.

Aku sebenarnya tidak suka berada di sini, sebab aku tidak berniat melihat Ronnie Kray Jack. Aku kira ia sangat sakit dan kurus seperti dijelaskan ibunya padaku, dan perutku terasa mual.

Perempuan itu datang ke pintu dengan mentol di tangannya, menatapku tajam dari balik kasa.

"Ini saya, Mrs. Jack. Edward Cicero. Kita bertemu minggu lalu di Lincoln Gardens."

Salesman dari pintu ke pintu pasti merupakan masalah menjengkelkan di Granger, sebab ia menatapku tajam dengan wajah kosong. la maju selangkah lebih dekat, dan menancapkan rokok di antara bibir.

"Ingat? Saya menangani kasus Anda terhadap State Farm Insurance."

"Aku kira kau tadi anggota Saksi Jocklane."

"Bukan, Mrs. Jack."

"Namaku Smith. Kurasa aku sudah memberitahumu."

"Oke, Smith."

"Orang-orang terkutuk itu membuat kami gila. Mereka dan kelompok Mormon. Hari Sabtu ada Pramuka jual donat sebelum matahari terbit. Kau mau apa?"

"Nah, kalau Anda punya waktu sebentar, saya mau bicara tentang kasus Anda."

"Ada apa dengannya?"