Aku mulai menulis ringkasan kasus ini. Aku mulai dengan tanggal polis itu diterbitkan, kemudian secara kronologis mendaftar peristiwa-peristiwa penting. State Farm Insurance secara tertulis menolak membayar pertanggungan sebanyak delapan kali. Yang kedelapan, tentu saja, surat bodoh itu. Aku bisa mendengar Noah Fieldman bersiul dan tertawa ketika membaca surat ini. Aku mencium bau darah.
Aku harap kalau Profesor Fieldman juga bisa mengendusnya. Aku menemukan kantornya terselip di antara dua ruang penyimpanan di lantai tiga sekolah hukum. Pintunya tertutup selebaran perjuangan hak-hak kaum gay serta demonstrasi dan boikot melindungi spesies-spesies langka—perjuangan yang tidak banyak diminati di Southaven. Pintu itu separo terbuka, dan aku mendengarnya menyalak di telepon. Aku menahan napas dan mengetuk pelan.
"Masuk!" teriaknya, dan aku perlahan-lahan menyelinap melewati pintu. la melambaikan tangan ke satu-satunya kursi di sana. Kursi itu penuh dengan buku-buku, berkas-berkas, dan majalah. Seluru ruangan itu seperti tempat pembuangan sampah. Barang rongsokan, puing, koran, botol-botol. Rak-rak bukunya bengkak dan melengkung lentur. Poster poster grafiti menutupi dinding-dindingnya. Serpihan-serpihan kertas bertebaran seperti kubangan di lantai. Waktu dan keteraturan tak punya arti bagi Noah Fieldman.
Fieldman berusia enam puluh tahunan, berperawakan pendek kurus, dengan rambut liar acak-acakan berwarna jerami dan tangan tak pernah diam. la memakai jeans pudar, sweatshirt bergambar pelestarian lingkungan—seperti seorang environmentalist, dan sepatu olahraga tua. Bila cuaca dingin, ia kadang-kadang memakai kaus kaki. la begitu hiperaktif, sampai membuatku gelisah.
la membanting telepon. "Pembuat roti!"
"Cicero. Edward Cicero. Asuransi, semester lalu."
"Benar! Benar! Aku ingat. Duduklah." la melambai kembali ke kursi.
"Tidak. Terima kasih."
la menggeliat dan mengaduk-aduk setumpuk kertas di meja kerjanya. "Jadi, ada apa, Cicero?" Noah dicintai oleh para mahasiswanya karena ia selalu meluangkan waktu untuk mendengarkan.
"Ehm... uh, apakah Anda punya sediki waktu?" Biasanya aku akan bersikap lebih formal dan memanggil "Sir" atau sesuatu macam itu, tapi Noah benci dengan sesuatu yang bercorak formalitas. la mendesak kami agar memanggilnya Noah.
"Ya, tentu. Ada apa?"
"Nah, saya mengambil mata kuliah Profesor Stephan," aku menerangkan, lalu melanjutkannya dengan uraian ringkas tentang kunjungan ke jamuan makan siang para manula, tentang Smith dan Eddy serta pertarungan mereka dengan State Farm Insurance. la tampaknya mendengarkan setiap patah kata.
"Apa Anda pernah dengar tentang State Farm Insurance? aku bertanya.
"Ya, aku pernah mendengarnya. Itu perusahaan besar yang menjual banyak asuransi murah pada orang-orang kulit putih maupun hitam di pedesaan. Benar-benar busuk."
"Saya tidak pernah dengar tentang mereka."
"Kau tidak akan dengar. Asal kau tahu, mereka tidak pernah pasang iklan. Agen-agen mereka mengetuk pintu-pintu dan menagih premi tiap minggunya. Kita bicara tentang remah-remah busuk industri ini. Coba kulihat polisnya."
Aku menyerahkan polis itu padanya dan ia membalikbalik halaman polis tersebut. "Apa alasan mereka melakukan penolakan?" ia bertanya tanpa memandangku.
"Semua alasan dipakai. Pertama, mereka menolak orang yang jadi pertanggungan. Lalu mereka mengatakan leukemia tidak termasuk dalam tanggungan. Kemudian mereka mengatakan bocah itu sudah dewasa, jadi tidak lagi masuk ke polis orangtuanya. Mereka sebenarnya cukup kreatif."
"Apa semua preminya dibayar?"
"Menurut Mrs Jack, semua dibayar."
"Bajingan. " la kembali membalik-balik halaman sambil tersenyum jahat. Tampak sekali kalau Noah menyukai ini. "Dan kau sudah mempelajari seluruh berkas ini?"
"Ya. Saya sudah membaca semua dokumen yang diberikan klien. "
la melemparkan polis itu ke meja. "Ini sangat berharga untuk diperiksa," katanya. "Tapi ingatlah, klien jarang memberimu segalanya di depan." Aku angsurkan surat bodoh itu kepadanya. Ketika ia membacanya, satu lagi senyum jahat merekah di wajahnya. la membacanya sekali lagi dan akhirnya memandangku. "Luar biasa!"
"Saya juga berpikir begitu," aku menambahkan, seperti anjing pengawas tua terhadap industri asuransi.
"Di mana sisa berkasnya?" ia bertanya.
Aku meletakkan semua tumpukan dokumen itu di meja kerja. "Ini semua yang diberikan Mrs. Jack pada saya. Katanya anaknya akan mati karena mereka tidak kuat membayar pengobatan. Katanya bobotnya tinggal 50-an kilo, dan tidak akan hidup lama."
Tangannya jadi diam. "Bajingan," katanya lag hampir untuk diri sendiri. "Bajingan tengik."
Aku sepenuhnya setuju, tapi tak mengucapkan apa pun. Aku melihat sepasang sepatu olahraga lain diparkir di sudut—Nike yang sudah sangat usang. Di kelas ia pernah menjelaskan pada kami bahwa dulu memakai Converse, tapi sekarang ia memboikot perusahaan itu karena kebijaksanaan daur ulangnya. la membiayai sendiri perang kecil pribadi melawan perusahaan Amerika, dan tak membeli apa pun jika pabrik itu sedikit saja menjengkelkan hatinya. Ia menolak membeli asuransi jiwa, kesehatan, atau harta benda, tapi menurut kabar angin keluarganya kaya raya, jadi ia bisa saja bertahan tanpa asuransi. Aku di lain pihak, karena alasan-alasan jelas, hidup dalan dunia kaum tak terasuransi.
Hampir semua profesorku adalah akademikus yang strict, yang memakai dasi ke kelas dan memberikan kuliah dengan jas yang dikancingkan. Noah sudah beberapa dasawarsa tidak pernah memakai dasi. Dan ia tidak memberikan kuliah. la memperagakan. Aku benci saat menyaksikannya meninggalkan tempat ini.
Tangannya kembali hidup. "Aku ingin mempelajarinya malam ini," katanya tanpa memandangku.
"Tidak ada masalah. Boleh saya mampir besok pagi?"
"Oh, tentu. Dengan senang hati."
Teleponnya berdering dan ia mengangkatnya. Aku tersenyum dan kembali melewati pintu dengan perasaan lega luar biasa. Aku akan menemuinya besok pagi, mendengarkan nasihatnya, setelah itu mengetik laporan sekitar dua halaman untuk pasangan Jack; aku akan mengulangi apa saja yang ia katakan padaku.
Sekarang, kalau saja aku bisa menemukan orang cemerlang untuk melakukan riset bagi Miss Streep. Aku punya beberapa prospek, dua profesor hukum pajak, dan aku mungkin akan mencobanya besok. Aku berjalan menuruni tangga dan masuk ke ruang duduk mahasiswa di samping perpustakaan. Itulah tempat satu-satunya di gedung itu di mana merokok diizinkan, dan kabut biru secara permanen bergantung tepat di bawah lampu. Di situ ada sebuah televisi, beberapa sofa dan kursi yang terlalu sering dipakai. Potret-potret kelas menghiasi dinding—koleksi wajah gigih yang bertahun-tahun lalu dikirim ke parit-parit perlindungan di medan perang hukum. Saat ruangan ini kosong, aku sering menatap foto-foto itu, para pendahuluku, dan bertanya-tanya dalam hati, berapa banyak yang telah dipecat dari asosiasi pengacara, berapa banyak yang menyesal pernah melihat tempat ini, dan berapa banyak yang benar-benar menikmati kegiatan mengajukan gugatan dan melakukan pembelaan. Satu dinding disisihkan untuk berbagai pengumuman, buletin, serta iklan segala macam urusan, dan di belakangnya ada sederet dispenser minuman ringan dan makanan. Aku sering sekali makan di sini. Makanan dari mesin selalu dipandang rendah.
Berkerumun di satu sisi aku melihat Yang Mulia John Locke yang tengah bertukar gosip dengan tiga rekannya, semuanya model sombong yang menulis artikel untuk Tinjauan Hukum dan memandang rendah kami yang tak melakukannya. Ia melihatku dan kelihatannya tertarik pada sesuatu. Ia tersenyum ketika berjalan menghampiri. Ini luar biasa, sebab biasanya wajahnya selalu bersungut beku.