"Maksudmu, mereka akan menahanku?"
"Ya. Dan jika aku yang jadi kau, aku akan segera cari tempat lain untuk tidur malam ini." la menyelinap ke dalam mobilnya, sebuah BMW. Aku mengawasi ketika ia meluncur pergi.
***
Bolie menemuiku di teras depan rumah dupleksnya yang rapi. Ia memakai mantel di atas piamanya. Tanpa sandal, hanya bertelanjang kaki. Bolie mungkin cuma mahasiswa melarat lain yang menghitung hari sampai mulai bekerja, tapi ia benar benar memperhatikan segi berpakaian. Tak banyak yang tergantung dalam lemarinya, tapi pakaiannya terpilih dengan cermat. "Apa yang terjadi?" ia bertanya tegang, matanya masih sembap. Aku meneleponnya dari telepon umum di dekat Food Mart di dekat tempat itu.
"Maaf," kataku ketika kami melangkah masuk ke ruang duduk. Aku bisa melihat Emily tengah ada di dapur yang sempit, juga sedang memakai mantel, rambut terikat ke belakang, mata sembap, sedang membuat kopi atau entah apa. Aku juga bisa mendengar seorang bocah menjerit-jerit di belakang. Saat itu hampir pukul tiga pagi, dan aku sudah membangunkan seluruh keluarga itu.
"Duduklah," kata Bolie sambil memegang tanganku dan membimbingku ke sofa. "Kau habis minum?"
"Aku mabuk, Bolie."
"Ada alasan tertentu?" la berdiri di depanku, mirip sekali dengan ayah saat sedang marah.
"Ceritanya panjang."
"Kau tadi menyebut-nyebut polisi."
Emily meletakkan secangkir kopi panas di sampingku. "Kau baik-baik saja, Edward?" ia bertanya dengan suara manis.
"Hebat," jawabku seperti orang tolol sejati.
"Pergilah periksa anak-anak," kata Bolie kepadanya, dan ia pun menghilang.
"Maaf," kataku lagi. Bolie duduk di tepi meja kopi, sangat dekat denganku, dan menunggu.
Aku tak menghiraukan kopi itu. Kepalaku berdenyut-denyut. Aku tumpahkan segala ceritaku mulai sejak ia dan aku berpisah kemarin sore. Lidahku terasa tebal dan berat, jadi aku bercerita pelan-pelan dan berusaha memusatkan pikiran pada narasiku. Emily duduk di kursi terdekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. "Maaf," bisikku padanya.
"Tidak apa-apa, Edward. Tidak apa-apa."
Ayah Emily adalah seorang pendeta, di suatu tempat di pedesaan Texas, dan ia tak punya kesabaran terhadap mabuk-mabukan atau tindakan ceroboh. Tapi beberapa kali aku dan Bolie menikmati minuman keras di sekolah dan itu kami lakukan secara diam.
"Kau minum dua pak bir isi enam kaleng?"
Emily berlalu untuk segera menengok anaknya yang mulai menangis lagi di belakang. Aku mengakhiri ceritaku dengan si juru sita, gugatan, dan pengusiran. Benar-benar hari yang luar biasa.
"Aku harus menemukan pekerjaan, Bolie," kataku, dilanjut dengan meneguk kopi.
"Kau punya masalah yang lebih besar sekarang. Kita akan menghadapi ujian pengacara tiga bulan lagi, setelah itu kita akan menghadapi komite penyeleksi. Penahanan dan hukuman karena akrobat ini bisa menghancurkanmu."
Aku tidak pernah berpikir sedikit pun tentang hal ini. Kepalaku terbelah sekarang, benar-benar nyeri. "Boleh aku minta roti lapis?" Aku merasa agak mual. Aku makan kue asin bersama enam kaleng kedua, tapi baru itu saja yang aku makan sejak makan siang bersama Neely dan Miss Streep.
Sementara Emily mendengar ini di dapur. "Mau ham dan telur?"
"Mau, Emily. Terima kasih."
Bolie termenung. "Aku akan menghubungi Jose Matthew beberapa jam lagi. Dia bisa menelepon saudaranya, mungkin bisa dicegah dengan melakukan sedikit perundingan dengan polisi. Kita harus mencegah penahanan."
"Kedengarannya ide yang bagus." Jose Matthew adalah pengacara kulit hitam paling terkemuka di Southaven, ia juga merupakan calon bos Bolie. "Dan kalau kau nanti bicara dengannya, tolong tanyakan apakah dia punya lowongan."
"Baiklah. Kau mau bekerja untuk biro hukum pengurus hak sipil orang kulit hitam?"
"Saat ini aku mau menerima pekerjaan pada biro hukum apa pun. Bukan maksudku menyinggung, Bolie. Aku harus segera mendapat pekerjaan. Kalau tidak, aku akan bangkrut. Mungkin ada beberapa kreditor lain di luar sana, mengintai di semak-semak sambil menunggu untuk menerjangku dengan surat-surat. Aku tak bisa menghadapinya." Perlahan-lahan aku berbaring di sofa, sementara Emily sedang menggoreng ham, aromanya sedap hanyut ke ruang duduk sempit itu.
"Mana surat-surat itu?" tanya Bolie.
"Di dalam mobil." la lantas meninggalkan ruangan dan sebentar lalu kembali lagi. La duduk di dekatku dan mempelajari gugatan Halter Grisworld serta surat pengusiran itu. Emily hilir-mudik di dapur, membawakan kopi dan aspir untukku. Saat itu pukul setengah empat pagi. Dan anak-anak akhirnya diam. Aku merasa aman dan hangat bahkan dicintai.
Kepalaku berputar perlahan-lahan ketika aku mejamkan mata dan terlelap.
***
SEPERTI ular yang merayap di belukar, aku menyelinap ke kampus sekolah hukum selepas sore hari, berjam-jam setelah kuliah yang mestinya aku juga ikut bubar. Hukum Olahraga dan Bacaan Pilihan dari Kode Napoleon—benar-benar konyol. Aku bersembunyi di dalam liangku yang kecil, di sudut terpencil lantai bawah tanah perpustakaan.
Bolie membangunkanku di sofa, dengan kabar penuh harapan bahwa ia sudah bicara dengan Jose Matthew dan roda sudah menggelinding di pusat kota. Seorang kapten atau entah apa sudah ditelepon, dan Mr.Matthew optimis urusan itu bisa dibereskan. Saudara Mr.Matthew adalah hakim di salah satu divisi kriminal, dan andai kata tuduhan tak bisa dihapus, harus diambil tindakan lain. Tapi masih belum ada kabar apakah polisi sedang mencariku. Bolie akan menelepon beberapa orang dan terus mengabariku.
Bolie sudah punya kantor di biro hukum Matthew. Sudah dua tahun ia magang di sana, bekerja paro waktu dan belajar lebih banyak daripada kami semua. la menelepon sekretaris di antara jam kuliah, bekerja tekun dengan buku janjinya, bercerita padaku tentang klien ini dan itu. la akan jadi pengacara yang hebat.
Benar-benar mustahil mengorganisasikan pikiran dalam keadaan mabuk. Aku menuliskán catatan untuk diri sendiri pada bloknot, hal-hal penting seperti, sekarang aku sudah berhasil masuk ke gedung tanpa dilihat orang, apa tindakan selanjutnya? Aku akan menunggu beberapa jam di sini, sampai sekolah ini kosong. Sekarang adalah Jumat sore, saat-saat waktu berjalan paling lamban dalam seminggu. Kemudian aku akan menyelinap ke Placement Office, membawa direkturnya ke sudut, dan memuntahkan unek-unek. Kalau aku beruntung, mungkin ada sebuah agen pemerintah entah apa yang dengan angkuh ditolak oleh lulusan lain dan masih menawarkan 20.000 dolar setahun bagi sarjana hukum cemerlang. Atau mungkin sebuah perusahaan kecil yang mendadak merasa butuh seorang tenaga ahli hukum di perusahaannya. Pada titik ini, mungkin tak banyak lagi yang tersisa.
Di Southaven ada legenda bernama Jonathan Stone, ia lulusan sekolah hukum ini yang juga tidak bisa mendapatkan pekerjaan di firma-firma besar di pusat kota. Kejadiannya sekitar dua puluh tahun yang lalu. Stone ditolak oleh biro-biro hukum mapan, maka ia menyewa sebuah tempat, menggantungkan papan nama, menyatakan diri siap menggugat. Beberapa bulan ia kelaparan, kemudian suatu malam ia menubruk sesuatu dengan sepeda motornya, dan terbangun di rumah sakit dengan satu kaki yang patah. Tak lama setelah itu, ranjang di sampingnya ditempati seorang laki-laki yang juga mengalami kecelakaan sepeda motor. Orang ini luka parah dan mendapatkan luka bakar di sana-sini. Pacarnya bahkan mendapat luka bakar lebih parah, dan beberapa hari kemudian meninggal dunia. Stone dan orang ini jadi bersahabat. Stone menangani kedua kasus ini sekaligus. Ketika diusut, ternyata pengemudi Jaguar yang menerobos lampu merah dan menubruk sepeda motor yang dikendarai klien Stone adalah partner senior di biro hukum terbesar nomor tiga di pusat kota, orang yang mewawancarai Stone enam bulan sebelumnya. Dan ia sedang mabuk ketika melanggar tanda berhenti.