Chapter 16 - enam Belas

Hal ini bisa dikatakan benar dan relevan kaitannya dalam dua tahun pertama kuliah hukum. Namun kini tidak begitu parah. Dan mungkin pelatihan itu punya suatu metode dalam kegilaannya. Aku pernah mendengar ribuan kisah tentang biro hukum besar dan perbuatan mereka memperbudak orang baru untuk menulis laporan dan memo pengadilan selama dua tahun dalam perpustakaan.

Semua jam berhenti bila orang melakukan penelitian hukum dengan kepala pening. Sakit kepala itu hebat. Tangan terus bergetar. Jumat malam, Bolie menemukanku dalam liang kecil itu dengan selusin buku terbuka bertebaran di meja. Daftar Fieldman tentang kasus-kasus yang harus dibaca. "Bagaimana keadaanmu?" ia bertanya.

Bolie memakai jas dan dasi, dan tak disangsikan lagi bahwa ia baru saja dari kantor, menerima telepon dan memakai dictaphone layaknya pengacara sejati. "Aku baik-baik saja." la berlutut di sampingku dan menatap tumpukan buku itu. "Apa ini?" ia bertanya.

"Itu bukan untuk ujian. Cuma riset kecil untuk kuliah Stephan."

"Kau tak pernah mengerjakan penelitian untuk kuliah Stephan. "

"Aku tahu. Dan aku merasa bersalah."

Bolie berdiri dan bersandar pada dinding bilik belajarku. "Dua hal," katanya, nyaris berbisik. "Menurut, Mr. Matthew, insiden kecil di Wills and Trust sudah dibereskan. Dia menelepon beberapa orang, dan mendapat kepastian bahwa 'si' korban' tidak ingin mengajukan tuntutan."

"Bagus," kataku. "Terima kasih, Bolie."

"Sudahlah. Aku rasa sudah aman bagimu untuk pergi ke luar sekarang. Itu pun kalau kau bisa meninggalkan risetmu."

"Akan aku coba."

"Kedua. Aku bicara panjang dengan Mr. Matthew. Dan baru saja aku meninggalkan kantornya. Dan, beritanya tidak ada Iowongan untuk saat ini. Dia baru saja mengambil tiga associate baru, aku dan dua orang lain dari New York, dan dia belum tahu pasti bagaimana menempatkan mereka. Dia sedang mencari kantor yang lebih luas sekarang."

"Kau tidak perlu melakukan itu, Bolie."

"Tidak. Aku menginginkannya. Taka pa. Mr. Matthew berjanji kalau dia akan menugaskan beberapa orang untuk mencari kabar. Dia kenal banyak orang."

Aku merasa sangat terharu. Dua puluh empat jam yang lalu aku punya janji akan pekerjaan yang baik dengan bayaran lumayan. Sekarang aku mendapat bantuan dari orang-orang yang belum pernah aku temui, mereka mencarikanku serpihan terkecil lowongan pekerjaan.

"Terima kasih," kataku sambil menggigit bibir dan menatap jari-jari tangan.

la melirik jam tangan. "Aku harus pergi. Kau mau belajar untuk persiapan ujian pagi nanti?"

"Tentu saja. "

"Aku akan meneleponmu nanti." la meremas pundakku dan setelah itu menghilang.

Tepat sepuluh menit menjelang pukul lima, aku berjalan menaiki tangga ke lantai dasar dan meninggalkan perpustakaan. Aku tidak lagi merasa risau dengan polisi, tidak lagi takut menghadapi Anya Moretz, bahkan tidak khawatir lagi dengan juru sita. Dan aku akhirnya tidak lagi takut berhadapan dengan berbagai mahasiswa sekelasku. Mereka semua sudah pergi. Sekarang hari Jumat, dan sekolah hukum itu sunyi.

Kantor Penempatan terletak di lantai utama, dekat bagian depan bangunan tempat mengurus administrasi. Aku melihat papan buletin di gang, tapi terus berjalan. Biasanya papan itu penuh dengan puluhan pengumuman tentang 'lowongan kerja yang potensial—biro hukum besar, medium, praktisi tunggal perusahaan swasta, lembaga pemerintah. Pandangan sepintas mengatakan padaku apa yang sudah aku ketahui. Tak ada secarik pengumuman pun pada papan itu. Tak ada pasar untuk tenaga kerja pada saat seperti ini.

Altha Abigail sudah berpuluh-puluh tahun mengelola kantor penempatan ini. la didesas-desuskan akan pensiun, tapi kabar burung lain mengatakan bahwa setiap tahun ia mengancam untuk menekan Dekan. La berusia enam puluh tahun dan tampak seperti sudah tujuh puluh tahun, perempuan kerempeng dengan rambut pendek, kelabu, lapisan-lapisan keriput di seputar mata, dan rokok yang tidak pernah absen dari asbak di atas mejanya. Menurut desas-desus, ia menghabiskan empat bungkus dalam sehari, dan itu rasanya lucu, karena sekarang tempat itu resmi sebagai ruang bebas rokok, namun tak seorang pun pernah mengerahkan keberanian untuk mengatakannya kepada Abigail. la punya pengaruh luar biasa besar, sebab ia membawa orang-orang yang menawarkan pekerjaan. Bila tak ada lowongan pekerjaan, tidak akan ada sekolah hukum.

Dan ia sangat cakap dengan tugasnya. la tahu bahwa orang yang tepat ada pada biro hukum yang tepat. La sudah menemukan banyak pekerjaan bagi orang orang yang sekarang melakukan rekrut di biro hukum mereka, dan ia brutal. Bila seorang lulusan Southaven bertanggung jawab melakukan rekrutan bagi sebuah biro hukum besar, kemudian biro hukum itu lebih banyak memilih lulusan Lowa State dan kurang banyak mengambil lulusan kami, Abigail akan menelepon Rektor dan mengajukan keluhan tak resmi. Rektor diketahui pernah mengunjungi beberapa biro hukum besar di tengah kota, makan siang bersama partner-partnernya, dan berupaya membenahi ketidakseimbangan itu, Abigail tahu setiap lowongan kerja di Southaven, dan ia tahu benar siapa yang mengisi masing-masing posisi.

Namun tugasnya jadi semakin berat. Terlalu banyak orang dengan gelar sarjana hukum. Dan tempat ini bukan Lowa State.

la sedang berdiri di samping mesin pendingin air, mengawasi pintu, seolah-olah sedang menungguku. "Halo, Edward," ia menyapa dengan suara payah. La sendirian. Sementara yang lain sudah pulang. la memegang cangkir air di satu tangan dan sebatang rokok ramping di tangan lain.

"Hai," sapaku sambil tersenyum, seakan-akan aku orang paling berbahagia di dunia.

la menuding dengan cangkir itu ke pintu kantornya. "Mari kita bicara di sini."

"Baiklah," kataku sambil mengikutinya ke dalam. la menutup pintu dan mengangguk ke sebuah kursi. Aku duduk di tempat yang ia perintahkan, dan ia bertengger di tepi kursinya sendiri di seberang meja.

"Hari yang berat, ya?" katanya, seolah-olah ia tahu segala yang terjadi dalam 24 jam terakhir.

"Aku bicara dengan Vikki Salve tadi pagi," kata nya perlahan-lahan. Aku berharap orang itu sudah mati.

"Dan apa katanya?" aku bertanya, mencoba ber sikap angkuh.

"Nah, aku dengar tentang merger itu kemarin malam, dan aku prihatin denganmu. Kau satu-satunya lulusan yang kami tempatkan pada Wills and Trust, jadi aku agak cemas melihat apa yang terjadi padamu."

"Dan?"

"Merger itu terjadi dengan cepat, peluang emas, dan seterusnya."

"Itu sama seperti yang kudengar."

"Lalu aku tanya dia, kapan mereka memberitahumu tentang merger tersebut, dan dia memberiku begitu banyak alasan tentang bagaimana partner ini atau partner itu sudah mencoba meneleponmu beberapa kali, tapi sambungan teleponnya sudah diputus."

"Sudah diputus selama empat hari."

"Pokoknya, aku tanya dia apakah dia bisa mengirimkan lewat fax copy korespondensi tertulis antara Wills and Trust dan kau, Edward Cicero, tentang merger itu dan peranmu sesudah hal itu terjadi."

"Tidak ada apa-apa."

"Benar. Dia mengaku demikian. Inti persoalannya, mereka tidak melakukan apa-apa sampai merger selesai."

"Itu benar. Tidak ada apa-apa." Ada perasaan menyenangkan dengan kehadiran Abigail di pihakku.

"Jadi, aku jelaskan padanya secara rinci bahwa dia sudah mencelakakan salah satu lulusan kita, dan kami berdebat sengit di telepon."