Chapter 18 - delapan belas

"Yugo meninggal sebelas tahun yang lalu. Kami membesarkan dua putra kami di rumah ini, tapi aku lebih suka untuk tidak membicarakan mereka." Wajahnya yang riang tadi seketika berubah murung sedetik, tapi ia cepat cepat tersenyum kembali.

"Tentu. Tidak perlu."

"Mari kita bicara tentang dirimu," katanya. Pokok pembicaraan yang ingin aku hindari.

"Tentu. Kenapa tidak?" Aku bersiaga menghadapi pertanyaan.

"Dari mana asalmu?"

"Saya lahir di sini, tapi besar di Gatlinburg."

"Sungguh menyenangkan. Dan kau kuliah di college mana?"

"Jerome New Frank."

"Jerome apa?"

"Jerome New Frank. Sebuah sekolah kecil di Maryville. Subsidi pemerintah."

"Sungguh menyenangkan. Tapi kenapa kau memilih Southaven untuk belajar ilmu hukum?"

"Karena sekolah itu bagus, juga saya suka dengan Southaven." Sebenarnya masih ada dua alasan lain. Southaven menerimaku, dan aku bisa membayarnya.

"Benar benar terdengar menyenangkan. Kapan kau lulus?"

"Beberapa minggu lagi."

"Lalu kau akan jadi pengacara sejati? Sungguh menyenangkan. Di mana kau akan bekerja?"

"Ah, saya tidak tahu pasti. Akhir-akhir ini saya banyak mempertimbangkan untuk menggantung papan nama sendiri, mengelola kantor sendiri. Saya termasuk jenis orang yang independen, dan saya tidak yakin kalau saya bisa bekerja untuk orang lain. Saya ingin menjalankan praktek hukum dengan cara saya sendiri."

la hanya menatapku. Senyum itu lenyap. Matanya membeku diam padaku. la kebingungan. "Itu luar biasa," akhirnya ia berkata, lalu berdiri untuk menyiapkan kopi.

Kalau perempuan tua yang manis ini bernilai jutaan dolar, ia memang luar biasa dalam menyembunyikannya. Aku mengamati ruangan itu. Meja di bawah sikuku berkaki aluminium dan permukaannya dari formika yang sudah aus. Setiap piring, alat, perkakas dan perabot di situ dibeli berpuluh-puluh tahun yang lalu. la tinggal di rumah yang tak terurus dan memakai sebuah mobil tua. Dan sudah jelas bahwa tak ada pembantu. Tak ada anjing-anjing bagus.

"Sungguh menyenangkan," katanya lagi ketika ia meletakkan dua cangkir itu di meja. Tak ada uap mengepul. Cangkirku sedikit hangat. Kopinya terasa tawar dan basi.

"Kopi yang sedap," kataku, mendecakkan bibir.

"Terima kasih. Jadi, kau akan memulai kantor hukum sendiri?"

"Saya sedang memikirkannya. Untuk beberapa waktu itu, akan terasa berat. Tapi kalau saya bekerja keras, memperlakukan orang dengan jujur, saya tak perlu khawatir tidak bisa menarik klien."

la tersenyum tulus dan perlahan-lahan menggelengkan kepala. "Wah, itu luar biasa, Edward. Melakukan itu butuh keberanian yang tinggi. Kupikir profesi ini butuh lebih banyak orang orang muda seperti dirimu."

Diriku adalah hal terakhir yang dibutuhkan oleh profesi ini—gagak muda kelaparan yang bergelandangan di jalan, mencari-cari kasus untuk ditangani dan mencoba membuat sesuatu terjadi, sehingga bisa memeras beberapa dolar dari saku klien yang melarat.

"Anda mungkin bertanya-tanya, kenapa saya datang kemari," kataku sambil menghirup kopi.

"Aku sangat senang kau datang."

"Ya, nah, senang berjumpa Anda lagi. Tapi saya ingin bicara tentang surat wasiat Anda. Kemarin malam saya tidak bisa tidur, karena saya khawatir dengan harta Anda."

Matanya tiba-tiba berubah menjadi berkaca-kaca. Sepertinya perasaannya mulai tersentuh.

"Ada beberapa hal yang benar-benar merepotkan untuk diketahui," aku menjelaskan, kini dengan tampang serius khas pengacara. Aku mengambil pena dari saku dan memegangnya seolah-olah siap beraksi. "Pertama, harap maafkan saya karena mengatakan ini, tapi saya benar-benar resah melihat Anda atau klien mana pun mengambil langkah begitu keras terhadap keluarga. Saya pikir ini harus kita bicarakan secara mendalam." Bibirnya menegang, tapi ia tak mengucapkan apa-apa. "Kedua, dan sekali lagi harap maafkan saya, tapi saya tidak bisa berdamai dengan diri sendiri sebagai pengacara kalau saya tidak mengatakan hal ini. Saya punya masalah besar dalam menyusun surat wasiat atau apa pun yang menghibahkan harta begitu besar pada seorang tokoh TV."

"Dia utusan Tuhan," katanya dengan sungguh-sungguh, cepat-cepat membela kehormatan Pendeta Ivan Stefanus.

"Saya tahu. Baiklah. Tapi kenapa memberikan semua kepadanya, Miss Streep? Kenapa bukan 25 persen? Yah, pokoknya sesuatu yang cukup memadai?"

"Dia banyak mengeluarkan biaya. Dan jetnya sudah mulai tua. Dia mengatakan semua ini padaku."

"Oke, tapi Tuhan tidak mengharapkan Anda membiayai gerejanya, bukan?"

"Apa yang dikatakan Tuhan kepadaku adalah pribadi, terima kasih.

"Sudah tentu. Yang saya persoalkan adalah: banyak di antara orang-orang ini terjerumus, Miss Streep. Saya yakin Anda tahu itu. Mereka juga pernah dipergoki dengan perempuan lain yang bukan istri mereka. Mereka tertangkap menghamburkan jutaan dolar dengan gaya hidup mewah—rumah, mobil, liburan, pakaian indah. Banyak di antara mereka penipu."

"Dia bukan penipu."

"Saya tidak bilang dia penipu."

"Lalu, apa maksudmu?"

"Bukan apa-apa," kataku. "Saya ke sini sebagai pengacara Anda, Mrs Streep, itu saja. Anda minta saya menyiapkan wasiat, dan menjadi tanggung jawab saya untuk memperhatikan segala sesuatu dalam surat wasiat itu. Saya menanggung tanggung jawab ini dengan serius."

Kerut-merut di sekitar mulutnya mengendur dan matanya kembali melunak. "Sungguh menyenangkan," katanya.

Kurasa banyak orang tua kaya seperti Miss Streep terutama yang pernah menderita pada zaman seperti ini dan menghasilkan uang dengan usahanya sendiri, dan aku bekerja dengan cara menjaga harta mereka mati-matian dengan akuntan pengacara, dan bankir yang tidak ramah. Tapi tidak dengan Miss Streep. Ia senaif dan sepolos janda miskin yang hidup dari uang pensiun. "Dia membutuhkan uang itu," katanya sambil menghirup seteguk dan memandang agak curiga.

"Bisakah kita bicara tentang uang itu?"

"Mengapa kalian pengacara selalu ingin bicara tentang uangnya?"

"Karena alasan yang sangat bagus, Miss Streep. Bila Anda tidak hati-hati, pemerintah akan mengambil sepotong besar harta Anda. Ada beberapa hal tertentu yang bisa dilakukan dengan uang itu sekarang, rencana pengelolaan harta secara cermat, dan banyak pajak bisa dihindari."

Ini menjengkelkannya. "Tetek-bengek urusan hukum ini."

"Untuk itulah saya ke sini, Miss Streep."

"Kurasa kau ingin namamu juga tercantum dalam surat wasiat itu," katanya, masih terbebani dengan urusan hukum.

"Sama sekali tidak," kataku, berusaha tampak terguncang, tapi juga mencoba menyembunyikan perasaan terkejut karena tepergok.

"Pengacara-pengacara itu selalu berusaha memasukkan nama mereka dalam surat wasiatku."

"Maaf, Miss Streep. Tidak sedikit pengacara yang melakukan hal curang."

"Itulah yang dikatakan Pendeta Stefanus."

"Saya yakin dia bilang begitu. Dengar, saya tidak ingin tahu semua perinciannya, tapi bisakah Anda katakan pada saya, apakah uang itu dalam bentuk real estate, saham, obligasi, tunai, atau investasi lain? Dalam perencanaan pengelolaan harta warisan, sangatlah penting mengetahui di mana uangnya."

"Semuanya ada di satu tempat."

"Oke. Di mana?"

"Savannah."

"Savannah?"

"Ya. Panjang ceritanya, Edward."

"Kenapa anda tidak menceritakan pada saya?"

Tidak seperti konferensi kami di Lincoln Gardens kemarin, kali ini Miss Streep tidak didesak waktu. la tak punya tanggung jawab lain. Neely tidak ada di situ. Tidak ada makan siang yang harus diawasi, tidak ada permainan yang harus diwasiti.