Chapter 13 - tiga belas

Aku tak bisa memikirkan jawaban untuk ini.

Dengan pelan ia menyandarkan kepala ke pundak kiri, tidak menghiraukanku. "Delapan puluh ribu. Cukup banyak, bukan begitu menurutmu, Edward?"

"Yah." Kedengarannya kecil kalau bagiku."

"Tak mungkin menemukan pekerjaan lain dengan hasil sebanyak itu, kan? Mustahil di kota ini/ Tidak seorang pun yang berniat mempekerjakan orang. Terlalu banyak pengacara."

Benar.

la menyeka mata dengan jemarinya, kemudian perlahan lahan bangkit berdiri. "Aku harus memberitahu istriku soal ini," katanya pada diri sendiri sambil berjalan dengan punggung membungkuk melintasi lobi, keluar dari gedung itu, dan menghilang di trotoar.

Aku naik lift ke lantai empat, masuk ke sebuah serambi sempit. Dari balik pintu ganda kaca aku bisa melihat seorang satpam berseragam bertubuh besar sedang berdiri di meja resepsionis. la menyeringai padaku ketika aku memasuki suite Wills and Trust.

"Bisa saya bantu?" ia menggeram.

"Saya mencari Vikki Salve," kataku, sambil berusaha mengintip ke belakangnya untuk melihat ke lorong. La bergeser sedikit untuk menghalangi pandanganku.

"Siapa Anda?"

"Edward Cicero." la membungkuk dan memungut sehelai amplop dari meja. "Ini untuk Anda," katanya. Namaku tertulis tangan dengan tinta merah. Aku membuka sehelai surat pendek. Tanganku gemetar ketika aku membacanya.

Sebuah suara berkuak di radionya dan ia mundur perlahan-lahan. "Baca surat itu dan pergilah," katanya, lalu ia menghilang di gang.

Surat itu hanya satu alinea, tertulis dari Vikki Salve untukku, menceritakan kabar itu dengan lembut dan berharap aku baik-baik saja. Merger itu terjadi "mendadak dan tak terduga".

Aku mencampakkan surat itu ke lantai dan aku mencari benda lain untuk dibantingkan. Segalanya sunyi di belakang. Aku yakin mereka sedang mencangkung di balik pintu-pintu terkunci, menungguku dan orang-orang malang lainnya menyingkir. Ada sebuah patung dada pada alas beton di samping pintu, karya pahat perunggu yang buruk, melukiskan muka gemuk si tua Wills; aku meludahinya ketika melewatinya. Patung itu tak berjengit. Jadi, aku pun mendorongnya ketika membuka pintu. Kuda-kuda beton dan kepala itu jatuh.

"Hei!" sebuah suara meledak dari belakang, dan tepat ketika patung dada itu menghunjam dinding kaca, aku melihat satpam tadi memburu ke arahku.

Selama satu mikrodetik aku mempertimbangkan untuk berhenti dan minta maaf, tapi kemudian aku bergegas menerobos ke serambi dan mengentakkan pintu menuju tangga. la kembali berteriak padaku. Aku bergegas turun, kakiku mengayuh hebat. la terlalu tua dan gendut untuk menangkapku.

Lobi itu kosong ketika aku memasukinya dari pintu dekat lift. Dengan tenang aku berjalan melewati pintu, menuju trotoar.

***

Saat itu hampir pukul tujuh, dan hampir gelap ketika aku berhenti di sebuah toko, enam blok dari sana. Sebuah papan dengan tulisan tangan mengiklankan bir enam kaleng seharga tiga dolar. Aku butuh bir murah.

Vikki Salve menerimaku bekerja dua bulan yang lalu, katanya nilaiku cukup baik, karya tulisku juga dianggap meyakinkan, wawancaraku berlangsung baik, orang-orang di kantor sepakat bahwa aku cocok. Segalanya indah. Masa depan cemerlang bersama Wills and Trust.

Kemudian Chris & Fou melambaikan beberapa dolar, dan para partner itu lari ke pintu belakang. Para bajingan rakus ini berpenghasilan tiga ratus ribu dolar setahun, dan masih ingin lebih banyak.

Aku melangkah ke dalam dan membeli bir. Setelah dipotong pajak, aku punya empat dolar dan sejumlah receh dalam saku. Rekening bankku tidak lebih sehat dari itu.

Aku duduk di dalam mobil, di samping boks telepon, dan mengeringkan kaleng pertama. Aku belum makan apa pun sejak makan siang lezat beberapa jam yang lalu bersama Smith dan Eddy serta Neely dan Miss Streep. Mungkin seharusnya aku makan Jell-O ekstra, seperti Neely. Bir dingin itu masuk ke perutku yang kosong, dan langsung bereaksi.

Kaleng-kaleng itu kosong dengan cepat. Jam demi jam berlalu sementara aku menyusuri jalanan kota Southaven.

***

APARTEMENKU adalah gubuk dua kamar di lantai dua gedung bata tua bernama The Brentwood; harus membayar 175 dolar perbulan, tapi tagihan itu jarang terbayar tepat waktu. Selama hampir tiga tahun tempat itu adalah rumahku. Belakangan ini aku sering memikirkan untuk menyelinap keluar begitu saja di tengah malam, kemudian berusaha menegosiasikan apartemen lain dengan sewa bulanan untuk dua belas bulan mendatang. Sampai saat ini, rencana itu selalu melibatkan unsur pekerjaan dan gaji bulanan dari Wills and Trust. The Brentwood penuh dihuni oleh mahasiswa, khususnya orang-orang melarat seperti diriku, dan si induk semang sudah terbiasa dengan tawar-menawar tunggakan uang sewa.

Halaman parkir gelap dan sunyi ketika aku tiba, beberapa saat sebelum pukul dua. Aku parkir dekat bak sampah. Saat aku merangkak keluar dari mobil dan menutup pintu, terdengar gerakan mendadak tidak jauh dari sana. Seorang laki-laki keluar dari mobilnya dengan cepat, membanting pintu, menghampiri langsung ke arahku. Aku terdiam beku di trotoar. Segalanya gelap dan sunyi.

"Apakah kau Edward Cicero?" ia bertanya di depan wajahku. Seorang koboi biasa—sepatu lars berujung lancip, Levi's ketat, kemeja denim, rambut dan jenggot yang tertata rapi. la mengunyah permen karet dan kelihatan tidak gentar untuk mendorong dan menerjang.

"Siapa kau?" tanyaku.

"Kau Edward Cicero? Ya atau tidak?"

"Ya."

la mencabut beberapa helai surat dari saku belakang dan menyodorkannya ke wajahku. "Maaf soal ini," katanya dengan sungguh-sungguh.

"Apa ini?" tanyaku.

"Surat panggilan."

Perlahan-lahan aku mengambil surat-surat tersebut. Tempat itu terlalu gelap untuk membacanya, tapi aku masih bisa mengerti pesannya. "Kau juru sita," kataku takluk.

"Ya."

"Halter Grisworld?"

"Ya. Dan The Brentwood. Kau diusir."

Seandainya tidak mabuk, mungkin aku akan terguncang memegangi surat pengusiran. Namun untuk sehari itu aku sudah cukup terkaget-kaget. Aku melihat ke gedung gelap dan murung dengan sampah yang bertebaran di rumput dan rumput liar di halamannya, pun dalam hati akubertanya-tanya bagaimana tempat menyedihkan ini memperlakukanku.

la mengambil satu langkah mundur. "Semua akan di situ," ia menerangkan. "Tanggal sidang pengacara, dan lain-lain. Kau mungkin bisa membereskannya dengan menelepon beberapa orang. Tapi itu bukan urusanku. Aku hanya melaksanakan pekerjaan."

Hebat sekali. Menyelinap-nyelinap dalam kegelapan, menyergap orang-orang yang tak menaruh, cuma menyodorkan surat surat ke wajah mereka, dan menggalkan beberapa patah nasihat hukum cuma-cuma, lalu merayap pergi untuk meneror orang lain.

Ketika akan beranjak pergi, ia berhenti dan berkata, "Ya, dengar. Aku mantan polisi, dan aku punya scanner di mobil. Beberapa jam yang lalu ada pemberitahuan aneh. Seseorang bernama Edward Cicero merusak sebuah kantor hukum di pusat kota. Deskripsinya cocok sekali denganmu. Model dan bentuk mobilnya sama. Jangan katakan kalau kau orangnya."

"Dan kalau benar?"

"Bukan urusanku, kau tahu. Tapi polisi sekarang sedang mencarimu. Perusakan terhadap barang milik orang lain."