'Sesuatu sedang kupikirkan sejak pulang sekolah tadi.'
'Ini merupakan sesuatu yang penting.'
'Mereka mungkin masih belum memikirkannya, tapi bagiku. Aku harus memikirkannya jauh-jauh.'
'Jika tidak, aku tidak akan bisa melanjutkan hidup.'
'Aku harus memilih, kemana aku mau pergi!'
'Pintar bukan berarti sukses, orang itu selalu mengatakannya.'
'Yang akan menguasai dunia saat dewasa bukanlah mereka yang cerdas dalam ilmu saja.'
'Tapi juga cerdas dalam berkomunikasi!'
'Lemah dalam fisik, lemah dalam komunikasi... Tidak ada yang bagus dariku selain nilai pas-pas an itu.'
'Setidaknya sekali saja aku ingin punya kekuatan untuk memberanikan diri untuk mengasah kelemahanku...'
'Mungkin berdoa akan memberikan jalan...'
'Tapi kalau tidak disertai usaha, maka tetap akan gagal...'
'Lagipula setiap kali aku menginginkan sesuatu dan berdoa.'
'Sesuatu yang kuinginkan itu malah semakin menjauh bahkan sampai mustahil buatku raih.'
Sambil memikirkan itu, Randy terbawa tidur oleh permasalahannya. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan soal ini.
Tapi jika dia harus melakukannya sendiri, maka dia akan bertarung sendiripun tidak apa. Meskipun nyawa taruhannya. Dia tidak akan peduli itu.
Kelemahannya harus diasah. Bila tidak, saat setelah lulus. Dia akan hancur dan menjadi beban.
-------
"Bwah!" Randy terbangun dari tidurnya seperti habis dikejutkan sesuatu.
Saat bangun, perasaan pusing membanjiri kepalanya. Perasaan itu semakin berubah menjadi mual.
"Magic Seal!" Dia mencoba menghilangkannya.
Namun tak ada efek.
Apa yang terjadi sekarang murni dari dirinya. Dia harus segera ke toilet.
Beberapa detik setelah menghilangkan mualnya. Randy melihati telapak tangannya yang dipenuhi oleh cairan bewarna merah.
"Kenapa Randy?" Ibunya yang kaget mendengar suara muntah langsung mendatanginya.
"Kau berdarah!" (Ibu)
Saat melihati tangan anaknya yang berlumuran darah. Ibu dengan sigap membasuhnya dengan air. Perasaan dinginnya air terasa menyakitkan di hatinya.
"Kenapa kau bisa begini?!" Ibunya terus bertanya cerewet.
Tapi di sisi lain, Randy tidak sama sekali bereaksi. Dia hanya menatapi tangannya yang habis berlumuran darah dengan datar.
"Randy?!" Teriakan ibunya terdengar, namun tidak dia pedulikan.
Yang jadi masalah saat ini adalah tenggorokannya. Dia habis memuntahkan darah. Itu artinya ada bagian yang luka di dalamnya.
Tapi dimana?
Mengetahui anaknya tidak menjawab dan hanya berdiri di sana saja dengan mematung, wanita itu langsung membopong anaknya ke kasurnya.
"Istirahatlah dulu..." Dia tidak tahu apa yang anaknya sembunyikan. Tapi nalurinya berkata, kalau Randy sedang dalam serangan mental.
Yang menjadi masalahnya hanyalah bagaimana dia bisa sampai muntah darah seperti itu?
Masih di kamar, Randy berbaring sendirian sambil menatapi langit-langit kamarnya tanpa berkata apa-apa. Dia bagaikan orang yang baru mengenal dunia.
"Randy!" Ada suara lain yang memanggilnya.
Bila dia ingat, itu adalah suara iblis yang ada di dalam dirinya. Dia bisa di sana berkat jam pemberian ayahnya saat itu.
Tapi masih sama, laki-laki itu tidak menjawab. Yang dia lakukan tadi terlalu berlebihan. Dia overthinking dan akhirnya meledak.
Kini mentalnya agak terganggu, dia jadi agak susah berbicara.
.... Sama seperti saat bangku SMP.
---
Tidak banyak bicara, tidak punya teman yang pasti selain teman sebangku. Dia hanya sekolah untuk mendapatkan nilai.
Awalanya dia tidak menyadari keanehan itu, namun lama kelamaan. Dia sadar memikirkan itu saja adalah kesalahan.
Dia kehilangan kesempatan untuk membangun koneksi dan pertemanan. Dia juga gagal dalam mendapat pemahaman sosial. Mungkin dia dulu adalah orang yang disebut autis.
Itulah sebabnya, dia tidak punya banyak teman seperti murid-murid lainnya. Orang yang dia anggap teman hanyalah mereka berdua. Tidak ada yang lain, pemikiran Randy sungguh masih sebatas biji pepaya.
Tapi dengan sendirinya, dia mulai menghajar dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan. Dia tidak bisa begini terus, suatu hari. Dia juga harus punya koneksi.
Mulai saat itu, Randy sudah bodoh amat dengan nilai. Dia tidak terlalu memikirkannya. Pelajaran-pelajaran yang biasa dia dapatkan dengan nilai baik malah menjadi turun drastis sebaliknya, dia lebih mencoba meninggikan pengetahuan umumnya.
Dia melakukan ini agar tidak terlihat mencolok di antara para guru. Mereka biasanya hanya melihat mereka yang bisa dalam bidang sains dan angka lalu membawa mereka ke kejuaraan. Maka dengan itu, dia menjauh dan lebih memilih menggunakan waktunya untuk bersosial ketimbang belajar.
------
Kembali ke waktu sekarang.
Randy mencoba bangun dari kasurnya. Dia menatapi gelapnya malam. Bulan yanh terlihat dari dalam kamarnya membuat suasana ngeri bagi yang penakut.
"Dalor..." Anak itu memanggil iblisnya.
"Randy?! Kau akhirnya sadar?!" Dalor menjawab panggilan itu dengan keterkejutan yang lebih.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Randy langsung berkata: "Jawab aku, apakah aku baru saja melewatkan Time Fracture?" Suara dingin laki-laki itu menusuk siapapun yang mendengarnya.
"Heh?" Dalor jelas kaget dengan reaksi itu.
Reaksi yang tidak biasa dari anak itu. Dia bagaikan orang yang berbeda.
"Jawablah..." suaranya seketika normal kembali.
Bisa melakukan hal seperti itu dalam waktu singkat, itu bukanlah hal yang biasa. Dia seperti memaksa untuk sadar diri. Sadar diri kalau dia lemah dan tak boleh memiliki sifat itu.
"Ya, kau melewatinya." Dalor yang merinding hanya bisa menjawab dengan gelisah.
"Bisa-bisanya aku melewati Time Fracture yang selama itu?!" Kini Randy sudah kembali ke sifatnya yang biasanya.
Namun Dalor yang ada di dalam tubuhnya hanya bisa bermandikan keringat dan gemetaran bukan main. Meskipun iblis sekalipun, sifat Randy yang tadi benar-benar teringat jelas di kepala iblis bertanduk empat itu.
'Apa yang sebenarnya terjadi?' Dalor mencoba melihati masa lalu laki-laki itu. Namun dia nihil, dia hanya bisa mencari sampai saat dia masuk di dalam tubuhnya.
Memandangi bulan dengan bosan, Randy akhirnya berjalan ke mejanya dan membuka nyawa keduanya.
Dengan sekali tekan, ponsel itu memperlihatkan banyak pesan masuk hanya dari sedetik.
"Apa ini?" Ucapnya sambil membuka isi pesan yang banyak itu.
'Palingan cuman chat grup.' itu adalah satu-satunya yang paling masuk akal.
Perlahan dia mencoba menyentuh apk itu. Tangannya yang dia gunakan bergetar bukan main. Kepalanya seperti air mendidih yang selalu menenteskan air setiap detiknya.
KLIK!
234 pesan, dari grup Kelas 2 IPA 4.
Ternyata benar, cuman pesan grup. Dia tidak seharusnya memikirkan hal-hal yang buruk.
BUK!
Dia melempar hapenya kembali ke meja. Hapenya tidak akan hancur karena dia sudah tahu harus sekeras apa dia melemparnya.
'Tapi itu aneh juga, kenapa grupchat kelas punya pesan sebanyak itu?' Dia ingin memeriksanya, namun karena dia adalah termasuk member bayangan. Berurusan dengan masalah kelas adalah hal yang paling dia suka hindari.
'Ingin lihat isi pesan sebanyak itu, tapi palingan isinya cuman orang cari muka atau drama antar grup putri di kelas.' Seakan sudah terbiasa, Randy hanya menatapi bodoh grupchat itu tanpa ada niatan membukanya.
"Lebih baik aku bersiap untuk hari yang baru, karena besok adalah libur sabtu minggu!" Ada sesuatu yang lebih penting dia pikirkan daripada itu.
Dia harus menyelesaikan rencananya.
Membebaskan Windy, sejak kemarin dia mau melakukan itu, namun selalu saja ada yang menghalangi.
Kemungkinan, ini nanti juga akan diganggu oleh keberadaan Rena yang masih diawasi Farida.
Di sisi lain, Dalor masih tidak berbicara apa-apa. Dia masih memikirkan sifat Randy yang barusan, dan insiden muntah darah itu.