Satu bulan telah berlalu dan aku resmi menyandang status janda.
Yang keempat kalinya.
Jangan bayangkan seperti apa masa-masa yang aku lalui hingga bisa menikah sebanyak empat kali. Dan jangan pernah bayangkan posisi apa saja yang aku coba bersama mantan-mantan suamiku. Jika kalian berpikir aku sangat energik atau bersemangat menikah kemudian bercerai, maka tebakan kalian salah besar.
Aku tidak merencanakan pernikahan sebagai sesuatu yang harus aku lakukan dalam hidup. Singkat kata aku menikah hanya karena status bukan karena sebuah keharusan. Mungkin dari sana permasalahan rumah tangga dimulai dan berujung perceraian.
Aku mengakui sebagian dari diriku mati rasa akan cinta yang cenderung toxic. Bayangkan saja aku harus melapor selama dua puluh empat jam kemana pun aku pergi. Bisa dibayangkan betapa mengerikannya seseorang akan menjalani hidup seperti itu hingga tua.
"Jadi, lo serius mau buka lowongan jodoh?"
Pertanyaan Johan membuyarkan lamunanku. Aku menatap Johan serius sementara laki-laki itu tampak santai menyesap minumannya.
"Menurut lo?" Aku balas bertanya.
Johan mengendikkan bahu. "Lo yang jalani, kenapa tanya sama gue?"
Aku tidak langsung menjawab melainkan menatap Johan lebih lama. Namun, aku segera menyadari bahwa laki-laki itu tidak pernah peduli mengenai urusanku.
Lebih tepatnya kehidupan asmaraku.
"Atur aja," ucapku lirih.
"Lo nggak capek nikah terus cerai lagi?"
Aku menggeleng. "Gue lebih capek dengerin omongan keluarga gue kalau akhir tahun ini pulang tanpa bawa pasangan."
"Lo baru cerai sebulan yang lalu bulan, Mol!"
Suara Johan terdengar keras membuatku tersentak sementara laki-laki itu menatapku penuh selidik.
"Terus hubungannya sama lo apa?" tanyaku.
Johan terdiam tampak tidak bisa menjawab kata-kataku. Sudahlah, seperti biasanya laki-laki itu tidak pernah menjelaskan alasan kekesalannya dari setiap keputusan yang aku ambil.
Hubungan persahabatan antara laki-laki dan perempuan bohong jika tidak melibatkan perasaan. Buktinya aku mencintai Johan sejak puluhan tahun yang lalu, tapi laki-laki itu tidak pernah membalasnya.
Entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana menyimpulkan hubungan kami.
"Gue ada janji sama Intan. Lo nggak apa-apa pulang sendiri?"
Mungkin alasannya karena Johan sudah menemukan tambatan hatinya bernama Intan itu. Perempuan bertutur kata lembut yang jelas sekali tipikal perempuan idaman Johan. Aku tidak perlu bertanya sejauh apa hubungan mereka karena di jari manis laki-laki itu tersemat cincin pertunangan.
Aku sudah tidak memiliki alasan lagi.
Menikah sebanyak empat sekali tidak berarti apa pun bagi Johan.
"Molly?"
Aku tersenyum tipis. "Lo bisa balik ntar gue naik taksi aja dari sini."
"Gue minta orang jemput lo di sini," ucap Johan lantas mengeluarkan ponselnya. "Tunggu bentar ya."
Aku menatap punggung Johan yang semakin menjauh sementara laki-laki itu tampak berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Aku tidak suka melihatnya seperti ini selama puluhan tahun, tapi untuk mengatakannya lidahku seakan berkarat.
Sulit sekali digerakkan.
Sepuluh menit kemudian Johan menghampiriku lalu menepuk bahuku pelan.
"Orang yang mau jemput lo lagi di jalan. Gue cabut duluan ya ntar kabari kalau lo udah sampai rumah," ucap Johan.
Belum sempat aku menjawab Johan sudah berlalu dari hadapanku. Terlihat sekali laki-laki itu tidak sabar bertemu Intan.
Masalahnya aku tidak tertarik menunggu teman Johan menjemputku.
***
Minggu selanjutnya aku meminta Johan membuka lowongan jodoh yang langsung disanggupi laki-laki itu tanpa protes. Di hari selanjutnya aku menemui Johan untuk memastikan kriteria yang aku minta sesuai dengan persyaratan lowongan itu.
"Lo ngilang sebelum temen gue sampai di kafe."
Aku tidak menggubris ucapan Johan yang entah berupa pernyataan atau pertanyaan. Aku sibuk memperhatikan masing-masing cv dari para lelaki yang tertarik dengan lowongan jodoh itu.
Seorang Molly ternyata masih memiliki daya tarik di usia tiga puluh tahun. Aku tersenyum sendiri melihat usia dari masing-masing pelamar berada sangat jauh di bawahku.
"Gue nggak bilang lo pernah nikah sebanyak empat kali." Ucapan Johan menyebabkan senyumku memudar. "Gue cuma bilang lo pernah nikah terus cerai, tapi nggak bilang sebanyak empat kali," tambahnya lagi.
"Lo cemas mereka bakal kabur setelah tahu gue janda sebanyak empat kali?" tanyaku penuh selidik.
Johan tampak gugup dan buru-buru mengalihkan tatapannya ke arah komputer. Siang itu aku mendatangi Johan di waktu senggang laki-laki itu. Jika aku tidak cepat menemuinya, bisa saja waktunya tersita oleh Intan.
"Gue udah nemu beberapa kandidat yang pas buat lo."
Aku menatap Johan sekilas lalu memperhatikan layar komputer yang menunjukakn resume seorang lelaki berusia dua puluh lima tahun.
Dari fotonya terlihat menarik, tapi aku tidak mau tertipu dengan rupa seseorang. Bertahun-tahun ini aku sudah melihat berbagai jenis lelaki tampan yang ternyata sangat brengsek.
"Gue udah atur waktu kencan kalian. Tips pertama sebelum lo jalin hubungan serius dengan seseorang. Kenali dulu orang itu dengan baik dan lihat sikapnya di hari pertama kalian ketemu. Misalkan orang itu nggak buat lo terkesan dan cenderung narsis, lo bisa batalkan kencan berikutnya. Lo paham sama omongan gue, Mol?"
Aku yang sejak tadi serius memperhatikan resume seseorang tersentak kaget saat Johan menepuk bahuku. Jika tidak salah lihat, aku merasa foto pelamar itu terlihat tidak asing. Namun, aku tidak ingat di mana pernah melihatnya.
"Besok malam lo harus dandan yang cantik dan gue jemput lo di rumah. Selama sesi kencan kalian, gue bakal pantau lo dari jauh."
Aku menarik napas berat kemudian mengangguk singkat.
Semoga saja kencan ini berjalan sesuai yang aku harapkan.
Berantakan hingga membuat Johan melihatku sebagai seorang perempuan.
***
Malam selanjutnya Johan membawaku ke sebuah restoran bintang lima. Aku tidak berharap ada adegan menggandeng tangan seperti dalam film.
Johan berjalan di depanku sedangkan aku sedikit enggan mengikuti langkahnya. Begitu tiba di sebuah meja yang terletak di sudut ruangan. Johan memintaku duduk di sana sementara laki-laki itu menghilang entah kemana.
Seorang pelayan laki-laki menghampiriku kemudian aku hanya meminta segelas anggur. Sisanya bisa dipesan jika pasangan kencanku tiba sesuai waktu yang ditentukan Johan.
Hingga anggurku hampir tandas, sosok pasangan kencanku belum juga tiba. Ponselku terus berkedip menampilkan nama Johan di layar. Dengan enggan aku menjawab panggilan itu sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu.
Johan tidak terlihat di mana pun.
Kemana laki-laki itu pergi?
"Pasangan kencan lo lagi terjebak macet di jalan," ucap Johan dari seberang.
Aku hanya diam.
"Tunggu aja sekitar sepuluh menit. Lo kabari gue kalau dia udah sampai, Mol."
Selanjutnya Johan terus berbicara tanpa memberiku kesempatan untuk menyela. Sepanjang pembicaraan itu tidak hentinya Johan memintaku berhati-hati pada pasangan kencanku. Katanya aku tidak boleh terjebak dalam pesona laki-laki itu dan berakhir di ranjang keesokan harinya.
Aku mendengus kesal merasa Johan menganggapku seperti perempuan murahan. Jujur saja aku memang janda, tapi bukan berarti murahan.
Perhatianku teralihkan pada seseorang yang menyentuh bahuku. Aku mendongak kemudian menemukan seorang laki-laki berpakaian berantakan. Wajahnya terlihat lelah dan tampak jelas laki-laki itu datang kemari tanpa persiapan.
"Maaf saya terlambat."
Aku tidak mendengar ucapan Johan dari seberang karena saat ini mataku menatap lekat laki-laki yang berada di seberang mejaku.
"Kamuโ" Ucapanku menggantung begitu saja.
Laki-laki itu balas menatapku dan seketika terkejut seperti melihat hantu yang berdansa di restoran mewah.
"Mbak Molly!"
Aku tidak tahu harus merespons apa saat menyadari orang itu merupakan orang yang pernah menjadi mimpi burukku.
***