Johan benar-benar marah dan menghindariku ketika aku datang ke apartemennya. Perkembangan lowongan jodoh itu bukan menjadi hal penting melihat Johan mendiamkanku.
Intan yang kebetulan sore itu datang berkunjung menawariku untuk makan malam bersama. Aku ingin menolak, tapi jika terus membiarkan Johan, maka kami akan mengalami perang dingin. Aku tidak suka bermusuhan dengan sahabatku sekaligus orang yang aku cintai.
"Kamu kelihatan pucat," ucap Intan sambil memperhatikan wajahku.
Aku meraba wajahku lantas teringat pada kejadian pagi itu. Namun, suara kursi yang ditarik membuatku mengalihkan pandangan pada Johan yang duduk di samping Intan.
"Molly lagi kecapekan," ucap Johan tanpa menatapku.
Intan mengusap punggung telapak tanganku yang kebetulan berada di atas meja. Perempuan itu tampak prihatin sekaligus membuatku merasa tertampar. Aku tidak bisa terus mencintai Johan karean Intan perempuan yang tepat untuk mendampinginya.
"Gue mau ngomong sama lo, Jo." Aku menatap Johan serius. "Lo ada waktu habis makan malam?"
Intan menatapku dan Johan bergantian. Tidak lama kemudian perempuan itu kembali mengusap punggung tanganku.
"Kami ada janji habis ini jenguk saudaraku di rumah sakit. Kalau besok malam kamu ngomong sama Johan gimana?"
Aku tidak suka dengan situasi ini, tapi tidak memiliki pilihan selain mengangguk. Masakan Intan yang biasanya lezat, kini terasa hambar di mulutku. Aku tidak bisa terus berada di sini dan melihat sepasang kekasih sedang melempar tatapan mesra.
"Gue langsung balik aja deh," ucapku lantas bangkit dari kursi. "Sorry In, makanannya nggak habis, tapi makasih udah nawarin gue makan malam."
Aku meninggalkan apartemen Johan dan memilih berjalan menuju tangga darurat. Setengah jam lamanya aku duduk di sana sambil merenung tentang hidupku saat ini.
Apa yang aku lakukan setelah ini?
Ponselku berbunyi menampilkan nama Arsa di layar. Seketika aku mengerti apa yang harus aku lakukan dan sesegera mungkin menjawab panggilan tersebut.
***
"Mbak Molly udah lama nunggu?
Aku menggeleng kemudian meminta Arsa duduk di kursi seberangku. Malam ini aku mengajak bocah menyebalkan itu bertemu di sebuah kafe tidak jauh dari rumahku.
Ada hal yang ingin aku tanyakan pada bocah itu dan ini menyangkut tentang lowongan jodoh itu.
"Lo udah punya pacar?" tanyaku yang dibalas Arsa dengan kerutan di kening.
"Maksud gue, kalau lo belum punya pacar gue mau ajak lo ke suatu tempat. Akhir-akhir ini gue suntuk banget dan butuh pelarian."
Arsa tidak menjawab dan memanggil pelayan menuju meja kami. Selama laki-laki itu memesan minuman, aku memperhatikannya yang tampak serius berbicara dengan pelayan. Ketika pelayan itu berlalu, dengan cepat aku memalingkan wajah.
"Mbak Molly serius ngajak saya pergi?"
Aku mengangguk. "Kalau lo belum punya pacar dan nggak sibuk."
"Saya lumayan sibuk sih, Mbak. Cuma nanti saya usahakan buat atur waktunya."
Semangatku lenyap dalam sekejap. Ternyata semua orang yang aku temui sangat mengesalkan. Tidak ada satu pun yang mengerti bahwa saat ini aku benar-benar membutuhkan seseorang di sampingku.
Ketika pelayan mengantarkan pesanan, saat itu ponselku berbunyi. Nama Johan muncul di layar dan Arsa melihat jelas nama itu. Aku bangkit dari kursi dan memberi isyarat pada Arsa untuk menungguku sebentar.
Aku menunggu Johan mengeluarkan suara dari seberang sana. Namun, cukup lama menunggu, tidak ada tanda-tanda suara Johan menyapa telingaku. Aku yang kehilangan kesabaran mematikan sambungan itu, tapi suara Johan justru muncul dari balik punggungku.
"Gue pikir lo pulang ke rumah ternyata malah di sini."
Suara Johan terdengar seperti sebuah sindiran, tapi aku tidak begitu peduli. Tanpa mengatakan apa-apa, aku melewatinya dan Johan menahan lenganku.
"Kita harus bicara."
Aku menurut ketika Johan membawaku keluar dari kafe itu menuju tempat yang agak sepi.
"Lo mau ngomong apa?" tanyaku langsung.
"Gue baru buka email dan cowok yang ada di kamar lo itu ada dalam daftar lowongan jodoh. Kedatangan gue ke sini bukan bahas soal itu, tapi gue mau ingatin lo untuk nggak terlalu percaya sama cowok modelan begitu."
Aku tidak suka dengan ucapan Johan. Namun, mencoba untuk mendengarkan.
"Gue kenal sama kakaknya bocah itu dan keluarga mereka lumayan tajir. Semisal lo nikah sama dia yang usianya lebih muda dari lo, apa keluarga mereka setuju? Belum lagi lo pernah nikah sebanyak empat kali."
Ucapan Johan seperti meremehkan statusku yang janda dan usiaku yang tua. Jika aku tidak mengenalnya selama puluhan tahun, aku pastikan wajahnya babak-belur.
"Gue nggak bermaksud bawa-bawa status lo, tapi gue nggak mau lihat lo sedih. Entah berapa kali gue lihat lo nikah terus cerai dan semua mantan suami lo itu brengsek. Gue nggak mau sahabat gue terluka lagi," ucap Johan dengan nada yang lebih lembut.
Seandainya Johan tahu penyebab kesedihanku adalah dirinya sendiri. Apa yang akan laki-laki itu lakukan?
"Arsa lumayan baik, lo nggak perlu khawatir tentang itu," ucapku sambil tersenyum tipis. "But, thanks lo mau ingatin gue setelah sebelumnya lo nggak pernah peduli tentang cowok yang mau gue nikahi."
"Gue bukan nggak peduli Mol, tapi—"
Ucapan Johan terhenti saat terdengar deheman dari seseorang. Aku menepuk bahu Johan pelan kemudian mengajak Arsa kembali ke kafe.
"Saya pikir Mbak Molly kekunci di toilet," ucap Arsa yang aku balas dengan jitakan di kepala.
***
Malam berikutnya aku kembali mengajak Arsa bertemu di bar. Bedanya malam itu Arsa tiba lebih dulu dan tidak mengenakan pakaian formal seperti biasanya. Aku duduk di sampingnya kemudian memesan segelas bir pada bartender.
"Mbak Molly malam ini seksi banget!" ucap Arsa setengan berteriak.
Aku menatap gaunku yang hanya sebatas paha dan memamerkan kulitku yang mulus. Aku sengaja mengenakan gaun tanpa lengan supaya otakku tidak terus-terusan memikirkan Johan. Setelah malam itu aku tidak bisa menghubungi Johan dan laki-laki itu tidak berada di apartemennya.
Intan bilang Johan sedang ada pekerjaan di luar kota, tapi aku rasa bukan itu yang menjadi masalahnya.
Aku terkesiap ketika merasakan sebuah jaket tersampir di bahuku. Arsa menatapku kemudian tersenyum tipis.
"Kalau Mbak pakai baju ntar bisa masuk angin. Saya juga nggak bisa biarin orang-orang lihat tubuh Mbak yang seksi."
Aku tersenyum lantas meraih gelasku dan meneguknya dengan rakus. Malam ini aku ingin mabuk dan melakukan sesuatu yang gila untuk mengusir bayangan Johan dari kepalaku.
"Temani gue joget." Aku turun dari kursi lalu mengembalikan jaket milik Arsa. "Gue nggak butuh ini."
Aku menarik lengan Arsa dan membawa bocah itu menuju lantai dansa. Suara musik hampir membuatku tuli, tapi aku tidak peduli.
"Lo pernah ngelakuin hal gila nggak?!" teriakku keras.
Arsa menggeleng.
"Kalau gitu gue mau ajak lo ngelakuin hal gila."
Aku mengalungkan lenganku di leher Arsa kemudian mencium bibir laki-laki itu. awalnya Arsa tidak merespons ciumanku, tapi lama-lama bibirku dilumat dengan lembut. Aku tidak perlu membuktikan sejauh apa Arsa akan bertindak karena pagi itu kami hampir bercinta jika Johan tidak datang.
"Mbak," panggil Arsa di sela ciumannya. "Mau nikah sama saya?"
***