"Lo punya hubungan apa sama bocah itu?"
Johan menghubungiku sesaat setelah Arsa mengantarku pulang. Beberapa Minggu terakhir, aku sulit mencarinya di mana pun. Sekarang justru muncul seperti setan.
"Molly?"
Aku tersentak kemudian buru-buru berdehem pelan. Kesempatan ini harus digunakan untuk menguji Johan karena takutnya laki-laki itu menghilang tanpa kabar.
"Kami mau nikah," ucapku jujur.
"Hah, apa?!"
Aku bahkan mendengar teriakan Johan dari seberang sana. Entah seperti apa reaksinya karena yang aku tahu laki-laki itu jarang sekali bersikap berlebihan.
Terutama yang berhubungan denganku.
"Gue mau nikah sama Arsa," ulangku sekali lagi.
Hening.
Selama beberapa detik kami saling terdiam, tapi aku tahu Johan sedang berpikir serius. Seharusnya aku bangga karena ini pertama kalinya laki-laki itu tampak syok. Atau, aku yang terlalu terbawa perasaan.
"Kenapa lo suka ngambil keputusan tanpa ngabarin gue?"
Suara Johan terdengar kesal atau telingaku saja yang bermasalah. Johan yang normal biasanya tidak peduli tentang hidupku, apalagi bertanya masalah perasaan.
"Lo nggak bisa dihubungi barangkali kalau lo lupa," ucapku sedikit sinis.
"Gue ada kerjaan yang nggak bisa gue tinggal, Mol."
"Termasuk Intan yang nggak tahu keberadaan lo?"
Suaraku kentara sekali terdengar kesal seperti seseorang yang tampak cemburu terhadap kekasihnya. Johan tidak akan peduli mengenai perubahan suaraku karena laki-laki itu tidak pernah peduli mengenai hidupku.
"Gue sama Intan mungkin nggak lama lagi," ucap Johan lirih.
Aku sama sekali tidak memahami maksud ucapan Johan, tapi ucapan laki-laki itu selanjutnya mampu membuatku kehilangan kata-kata.
"Gue sama Intan mungkin bakal putus," ulang Johan sekali lagi.
Seharusnya aku senang mendengar kabar itu. Namun, suara Johan terdengar lemah sesekali aku mendengar hembusan napasnya yang berat.
"Kenapa?"
Akhirnya pertanyaan itu yang terlontar.
"Ada alasan yang nggak bisa gue terima dan itu berhubungan dengan orang yang gue kenal. Selama ini gue percaya Intan orang yang tepat, tapi gue nggak nyangka kalau dia cuma sebagian dari orang-orang yang cuma singgah."
"Lo nggak bisa ngasih alasan yang jelas?" tanyaku ingin mengetahui lebih lengkap cerita itu.
"Gue mau ngomong, tapi sekarang udah nggak penting lagi."
Aku tidak menyukai cerita Johan, terlebih itu mengganggu perasaanku. Entah bagaimana aku menanggapinya yang jelas saat ini aku ingin sekali bertemu laki-laki itu.
"Lo di mana biar gue samperin."
Panggilan itu berakhir sepihak kemudian Johan mengirimkan pesan singkat. Detik itu aku tahu apa yang harus dilakukan.
Bertemu Johan.
***
Sebelum ke bandara, aku terlebih dahulu mendatangi apartemen Johan. Di sana aku tidak menemukan keberadaan Intan selain bekas piring kotor yang tergeletak di meja makan. Tampak jelas bahwa Intan tidak datang ke tempat itu selama berhari-hari.
Aku membuka pintu kamar Johan dan menemukan berbagai jenis poster menempel di dinding. Namun, ada yang berbeda dari kamar itu.
Aku tidak menemukan foto Intan di meja nakas tepat di samping ranjang Johan. Terakhir kalinya aku masuk ke sana dan hampir melempar foto Intan ke lantai. Sekarang aku dihadapkan pada kenyataan Johan dan Intan hampir berpisah.
Ponselku berbunyi ketika aku berniat membuka lemari Johan. Tadinya laki-laki itu berpesan agar aku membawa sebagian pakaiannya. Namun, nama yang muncul di layar ponsel membuatku ragu akan permintaan laki-laki itu.
"Ya, Intan?" sapaku lirih.
"Kamu tahu di mana Johan?"
Suara Intan terdengar lemah dan sesekali terbatuk membuatku cemas. Sepertinya perempuan itu sedang demam dan membutuhkan Johan.
"Lo lagi sakit?" tanyaku.
"Aku cuma demam, jadi nggak sempat ke apartemen Johan buat beres-beres," jawab Intan lemah.
Aku tidak membutuhkan jawaban itu. Namun, memilih untuk mengalah dan membiarkan Intan berbicara mengenai Johan. Sama seperti halnya diriku yang kebingungan mencari laki-laki itu beberapa hari yang lalu.
"Lo nggak perlu panik karena Johan sekarang lagi di Bandung," ucapku sambil menahan rasa sesak menghimpit dada.
"Dia hubungi kamu?"
Entah kenapa suara Intan terdengar sinis di telingaku. Belakangan ini aku sedikit berprasangka buruk terhadap orang lain. Mungkin saja Arsa yang menjadi penyebabnya atau Johan?
Aku keluar dari kamar Arsa kemudian duduk di meja makan. Piring-piring kotor bertebaran di meja dan aku dapat melihat jelas bekas lilin menempel di meja.
Sepertinya Johan membiarkan Intan menunggu tanpa kepastian. Melihat Johan bersikap seperti itu pada orang yang dicintai, membuatku tidak bisa berpikir jernih.
"Gue bakal bawa Johan pulang," ucapku.
"Makasih ya, Molly."
Aku mengangguk samar kemudian memutuskan sambungan itu.
Dalam kesunyian di apartemen Johan, diam-diam aku menangis tertahan.
Kenapa harus Johan?
***
"Mbak Molly di mana?"
Aku baru saja melewati pemeriksaan boarding pass ketika Arsa menghubungiku. Dengan langkah yang sengaja dibuat lambat, aku memasuki ruang tunggu keberangkatan.
"Gue lagi di bandara," jawabku jujur.
"Mbak mau ke mana?"
Aku melirik orang yang duduk di sampingku, lalu menjawab pertanyaan Arsa dengan enggan.
"Bandung."
"Ngapain ke Bandung?" tanya Arsa dengan nada sedikit menuntut.
"Cari teman gue yang lagi ngilang," jawabku semakin asal.
"Siapa teman Mbak yang lagi ngilang?"
Arsa semakin menyebalkan membuatku berkali-kali menarik napas berat. Orang yang duduk di sampingku melirik sekilas, tapi aku bertaruh ada hal buruk yang disematkan padaku.
Baiklah, aku mulai berprasangka terhadap orang lain.
"Mbak Molly?"
Aku malas sekali meladeni Arsa dan ingin segera memutuskan sambungan ini. Namun, bocah itu selalu memiliki cara membuatku kesal.
"Mbak kalau ke Bandung, terus saya gimana?"
Bocah itu semakin membuatku kesal, tapi segera tersamarkan saat mendapat tatapan tajam dari orang yang duduk di sampingku.
Orang itu kenapa, sih?
Aku mulai mengumpat dalam hati dan sesekali nama Arsa disebutkan.
"Mbak Molly, masih hidup, 'kan?"
Baiklah aku sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi!
"Gue masih hidup, lo bisa nggak sih buat nggak ganggu gue sehari aja?!"
Kali ini orang yang duduk di sampingku benar-benar menunjukkan wajah tidak suka. Apa yang sudah aku lakukan memang sedikit keterlaluan, tapi tidak berhak untuk menatapku dengan sengit.
Aku bangkit dari kursi kemudian berjalan menuju toilet. Arsa dan segala kehebohannya memang patut diacungi jempol.
"Saya cuma takut Mbak ketemu orang jahat," ucap Arsa dari seberang.
"Gue baik-baik aja kalau itu yang mau lo tahu!" balasku ketus.
"Saya minta maaf kalau buat Mbak ngerasa terganggu."
Sambungan itu berakhir sepihak membuatku tidak habis pikir dengan tingkah kekanakan Arsa.
Aku mengembuskan napas berat sambil menatap pantulan wajahku di cermin.
Apa yang sebenarnya aku lakukan?
Menjanjikan Intan untuk membawa Johan pulang ke Jogja sedangkan aku sendiri mengorbankan perasaan yang tadinya mulai tumbuh.
"Molly, kamu memang menyedihkan," gumamku lirih.
Aku membasuh wajahku kemudian tertawa getir. Apa yang aku lakukan adalah bentuk dari perasaanku untuk Johan.
Sebagai sahabat yang selalu berada di sampingku, bukan seseorang yang aku cintai selama bertahun-tahun ini.
***