Chereads / Pernikahan Kelima / Chapter 9 - Hari yang sial

Chapter 9 - Hari yang sial

Pesanan bunga meningkat menjelang akhir bulan bersamaan dengan keinginan kuat untuk melupakan Johan. Perhatianku terdistrak akibat kesibukan mengurus pekerjaan dan juga kehadiran Arsa.

Atas inisiatifnya, Arsa mengajakku kencan di akhir pekan ketika aku baru bebas dari pekerjaan sekitar sepuluh malam. Kami berdua memilih bioskop yang menyediakan bed agar lebih privat. Arsa tidak keberatan justru senang dengan pilihanku. Menurutnya itu bisa mengulang kejadian panas di toilet bar atau di kamarku.

Aku tidak habis pikir dengan lelaki muda seusianya, tapi tidak berhak protes mengenai jalan pikirannya.

Film mulai diputar dan lampu bioskop mulai dimatikan. Arsa yang duduk di sampingku terlihat gelisah sekaligus bersikap aneh. Aku yang menyadari sikap anehnya langsung waspada dan berusaha membenarkan posisi dudukku.

"Saya takut kalau hantunya muncul, Mbak," bisik Arsa tepat di telingaku.

"Lo takut sama hantu?" tanyaku memastikan.

Belum apa-apa Arsa sudah menyembunyikan kepalanya di balik punggungku. Aku yang melihatnya langsung tertawa sembari menepuk bahunya menenangkan.

"Ada gue, jadi lo tenang aja," ucapku.

"Saya tahu hantunya nggak bisa keluar dari layar, tapi suaranya itu lho, Mbak." Arsa menggeleng cepat. "Buat jantung saya bekerja lebih keras dari seharusnya."

"Gue punya obat penguat jantung kalau lo cemas soal itu."

"Mbak selain jualan bunga juga jualan obat?"

Aku menjitak kepalanya kemudian meminta Arsa untuk fokus menonton film. Selama film itu berlangsung, aku berusaha menahan tawa melihat Arsa berkali-kali mengumpat saat hantu palsu itu muncul.

Aku tidak pernah tahu bahwa Arsa takut pada hal seperti ini. Selain tengil ternyata ada hal lain yang baru aku ketahui tentang bocah itu.

Lain kali aku akan mencoba menakutinya dan membuatnya berhenti mengejarku.

Dan, mendadak aku tidak menyukai ide itu.

"Mbak, kalau saya terus sembunyi di punggung mbak Molly, lama-lama saya bisa khilaf."

Arsa baru saja mengataka itu ketika adegan ciuman berlangsung. Mendadak kami berdua saling terdiam, kemudian aku menyadari bahwa wajah Arsa semakin mendekat.

Entah sejak kapan, aku mulai merasakan bibir Arsa melumat bibirku.

***

Minggu berikutnya Arsa datang ke toko bunga untuk memesan sebuket mawar putih. Aku yang saat itu tidak begitu sibuk langsung melayani pesanannya. Selama membungkus bunga mawar itu, aku tidak mengatakan apa pun.

Arsa juga sama dan itu membuatku bertanya-tanya mengenai bunga mawar pesanannya.

Teman kencannya yang baru atau seseorang yang dianggapnya spesial?

Yang jelas bunga itu tidak ditujukan untukku.

Arsa mengucapkan terima kasih setelah mendapatkan pesanannya. Aku bingun melihat sikapnya yang mendadak dingin dan pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Sudahlah, aku tidak perlu memikirkan masalah bocah labil itu.

Dua Minggu berikutnya aku sangat sibuk hingga tidak sempat mengecek ponsel ketika jam makan siang. Di hari selanjutnya aku langsung menyesal karena melewatkan ajakan Arsa untuk makan siang bersama.

Demi menebus perasaan bersalah itu, aku memutuskan untuk mendatangi kantor tempatnya bekerja. Aku sempat membaca kartu karyawannya dan jarak kantor itu tidak begitu jauh dengan toko bungaku.

Sayangnya, aku tidak menemukan keberadaan Arsa ketika tiba di kantor itu. Resepsionis memintaku menunggu karena Arsa sedang bertemu klien di luar. Katanya akan kembali setelah makan siang.

Aku menunggu di tempat yang disediakan sembari memperhatikan tempat itu. Suasana tempat Arsa bekerja tampak nyaman dan sekilas aku melihat bunga yang beberapa hari lalu dibeli Arsa dipajang di meja resepsionis.

Ternyata Arsa tidak memberikan bunga itu untuk seorang gadis. Sepertinya aku terlalu banyak berpikir usai melihat kejadian Johan dan Intan berpelukan.

Satu jam menunggu, tapi Arsa belum kembali. Ponselku berbunyi di mana seorang pekerja menanyakan keberadaanku. Sepertinya aku tidak bisa bertemu Arsa hari ini.

Baru saja aku melangkah keluar dari kantor itu ketika mendengar seseorang memanggil namaku. Setengah berlari Arsa menghampiriku dan aku melihat keringat muncul di keningnya.

"Mbak Molly," sapa Arsa dengan napas terengah.

Aku meraih tisu kemudian mengusap keningnya yang berkeringat. Arsa termangu untuk sedetik, tapi tersamarkan saat beberapa orang melintas di samping kami. Arsa menyapa mereka dengan ramah kemudian menyeretku menjauh dari tempat itu.

"Mbak udah lama nunggu saya?" tanya Arsa.

"Tahu dari mana gue nunggu lo?" Aku balas bertanya.

"Resepsionis yang bilang katanya mbak nunggu saya dari tadi. Maaf, tadi saya lagi ketemu klien dan nggak sempat ngabarin mbak."

"Bukannya lo ngilang dari lama?" cecarku membuat Arsa langsung terdiam.

Aku berdecih kemudian menjauhi Arsa. Kedatanganku kemari ternyata tidak memberikan dampak positif. Seharusnya aku tidak perlu bertindak impulsif dengan mencari bocah menyebalkan itu.

Aku kembali ke toko bunga dan melihat beberapa pekerja tampak kewalahan. Katanya kami mendapat orderan dari salah satu pelanggan yang akan menikah. Kabarnya lagi mereka mengambil bunga dalam jumlah banyak karena konsep pernikahan mereka mengambil tema musim semi.

Selama beberapa hari aku disibukkan oleh pesanan itu dan ketika seorang pekerja yang kebetulan menangani pesanan ini mendadak sakit. Sehingga aku yang mengambil alih pekerjaannya dan hari ini pelanggan itu ingin membahas masalah pesanan bunganya.

Aku tidak keberatan bertemu di tempat yang agak terpencil karena menurutku ini kesempatan bagus untuk mengembangkan bisnisku. Selama perjalanan itu suasana hatiku sangat baik bahkan bayangan Johan mulai memudar dari kepalaku.

Begitu tiba di tempat yang dipilih sebagai lokasi pertemuan, aku meminta sopir menunggu sebentar. Jika nanti pembahasan memakan waktu yang cukup lama, aku akan meminta sopir itu pulang lebih dulu.

Aku takjub melihat pemandangan siang hari yang didominasi area persawahan. Udara sejuk semakin terasa membuatku berkali-kali mengagumi tempat itu. Jika seseorang memiliki selera yang begitu bagus, pasti seleranya dalam memilih pasangan juga bagus.

Cukup lama aku mengagumi tempat itu hingga merasakan seseorang menepuk bahuku. Aku terkesiap melihat seorang perempuan berambut coklat dengan ujung bergelombang. Riasan wajahnya tipis, tapi mampu memancarkan kecantikan.

"Mbak Molly, ya?" sapa perempuan itu ramah.

Aku mengangguk. "Iya," jawabku singkat.

"Maaf, ngajak mbak datang ke sini soalnya tunanganku tinggal di dekat sini."

Perempuan itu menarik lenganku seolah kami berdua sudah lama saling mengenal. Aku tampak tidak nyaman dengan perlakuan itu, tapi berusaha menyesuaikan diri.

"Mbak Molly mau pesan apa?"

Kami sudah duduk di salah satu pendopo yang dipilih perempuan itu. Secarik buku menu di letakkan di hadapanku sementara pelayan menunggu di samping meja dengan sabar.

Aku tidak begitu menyukai masakan manis, tapi berusaha menghargai perempuan itu. Jadi, aku memilih gudeg berikut makanan khas Jogja lainnya. Setelah pelayan meninggalkan meja kami, perempuan itu tampak sibuk dengan ponselnya.

Aku sendiri memperhatikan tempat itu. Lain kali aku akan datang kemari dengan misi menyembuhkan mental yang akhir-akhir ini memburuk.

"Mbak nggak keberatan kalau calon suami saya datang?"

Pertanyaan itu membuat lamunanku buyar.

"Nggak kok," jawabku singkat.

"Dia udah mau sampe," gumam perempuan itu lirih.

Tidak lama kemudian perempuan itu melambaikan tangan sambil memanggil calon suaminya dengan panggilan sayang. Namun, aku terkejut begitu menyadari siapa orang yang baru saja dipanggil perempuan itu.

Sial!

Hari yang sial!

***