"Mbak kelihatan pucat."
Aku meraba wajahku lantas menatap Arsa yang saat ini tengah memperhatikanku. Satu bulan yang lalu sejak kejadian malam itu, Arsa semakin gencar mendekatiku. Tiada hari tanpa kehadirannya dan tidak jarang pula laki-laki itu menginap di rumahku.
Aku tidak lagi menunggu Johan seperti dulu. Di malam Arsa menyentuhku, aku sudah berjanji untuk melupakan keberadaan Johan di hidupku. Seharusnya itu berhasil dengan bantuan Arsa, tapi terkadang aku masih memikirkan Johan.
Bodoh memang.
Aku mengakui kehadiran Arsa belum sepenuhnya menghapus keberadaan Johan di hatiku.
"Mbak belum makan?"
Aku menggeleng. "Gue lagi diet."
"Badan mbak udah kurus, mau sekurus apa lagi?"
Arsa tidak tahu aku memiliki kekurangan di bagian pinggang yang berlemak. Jika lupa melakukan diet bisa dipastikan pinggangku akan melebar dalam waktu sekejap. Jumlah kalori yang aku keluarkan selama diet tidak sebanding dengan jumlah kalori yang masuk saat waktu bebas diet.
Aku membenci kenyataan tubuhku begitu mudahnya gemuk.
"Gue harus diet kalau mau punya badan langsing," jawabku.
"Mbak udah langsing, kok."
"Lo nggak perlu larang gue."
"Saya nggak mau lihat mbak sakit."
"Gue sakit nggak ada hubungannya sama lo. Hubungan kita nggak sedekat itu untuk saling peduli."
Arsa diam membuatku merasa bersalah, tapi aku enggan berkata jujur. Selama setengah jam kami berdua saling terdiam sambil mendengarkan lagu yang dinyanyikan anggota band di kafe itu.
***
Arsa menghilang.
Aku tahu ucapanku hari itu menyinggungnya. Namun, sebagai seorang Molly yang terbiasa mengenal berbagai jenis lelaki brengsek, aku tidak ingin panik atas menghilangnya Arsa.
Paling-paling seminggu ke depan laki-laki itu akan mencariku.
Hanya saja perkiraanku salah.
Arsa tidak muncul hingga akhir bulan. Kemudian bulan berikutnya membuatku bertanya-tanya mengenai kesungguhannya mengajakku menikah.
Ucapanku saat itu tidak mungkin membuatnya marah dan bersikap kekanakan seperti ini. Meskipun baru berusia dua puluh tahun, Arsa tidak mungkin selabil itu.
Hidupku yang sepi tanpa kehadiran Arsa membawaku pada Johan. Di akhir bulan laki-laki itu muncul dan mengajakku makan malam. Kali ini Johan membawaku ke sebuah restoran dengan nuansa romantis.
Seumur hidup mengenal Johan, baru pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Mendadak aku gugup saat laki-laki itu menggandeng lenganku menuju sebuah meja kosong.
Restoran itu tidak begitu ramai karena sangat sulit reservasi di sini. Lagipula Johan bukan tipe lelaki yang suka menghamburkan uang demi sesuatu yang romantis. Sesaat aku menghubungkan hal ini dengan Intan.
Bisa saja Johan membawa Intan kemari dan sengaja mengajakku untuk melihat bukti cinta mereka. Kali ini aku tidak mau tertipu lagi.
"Lo ngajak gue kemari, ada acara apa?" tanyaku.
Johan menatapku sekilas kemudian membaca buku menu di tangannya.
"Jo?" ulangku setelah cukup lama tidak mendapat respons. "Lo bawa gue ke sini bukan karena Intan, 'kan?"
Johan meletakkan buku menu di meja kemudian menatapku lekat.
"Gue mau ngajak lo kencan," ucapnya.
Jantungku berpacu lebih cepat pertanda ucapan Johan menjadi pemicu jantungku bekerja lebih keras. Johan bukan tipe lelaki yang suka melakukan lelucon dan aku pastikan ucapannya barusan itu serius.
"Kenapa tiba-tiba?" tanyaku kaku.
"Udah lama gue mau ngajak lo kencan, tapi waktunya aja yang nggak tepat," jawabnya santai tidak terlihat gugup sama sekali.
Johan memang pintar menyembunyikan perasaan berbeda halnya denganku yang sejak tadi gugup. Biasanya kencan itu identik dengan makan bersama dan nonton bersama. Namun, Johan sahabatku tidak ada yang spesial dengan fakta kami harus kencan.
"Terus Intan gimana?"
Ketenangan Johan lenyap berganti dengan ekspresi kaku seolah nama Intan menjadi sumber masalah. Menyadari bahwa ucapanku membuatnya tidak nyaman, buru-buru aku mengalihkan topik.
"Harga makanan di sini bisa nguras dompet," ucapku sambil membuka buku menu.
Aku melirik pelayan yang sejak tadi tidak terlihat batang hidungnya. Padahal aku dan Johan cukup lama duduk di sini. Pelayanan restoran mewah kenapa seburuk ini, sih?
Sayang sekali menghamburkan uang demi secuil makanan yang tidak mengenyangkan perut. Aku lebih suka makan makanan di pinggir jalan ketimbang di tempat mewah seperti ini.
"Gue mau ngabisin waktu bareng lo, Mol."
Kegiatanku membaca satu per satu menu mendadak terhenti saat merasakan tangan Johan menggenggam tanganku yang berada di atas meja.
"Habis ini gue mau ngajak lo nonton. Masih suka film thriller, 'kan?"
Sejenak aku menatap Johan yang malam itu terlihat berbeda. Jas yang dipakainya serta auranya yang semakin tampan. Sejak dulu jantungku tidak pernah berhenti untuk lelaki satu ini.
"Molly, lo sangat bodoh," gumamku dalam hati.
***
Biasanya film thriller mampu mengalihkan perhatianku dari apa saja. Namun, duduk di samping Johan dan hanya terpisah oleh pembatas kursi. Perhatianku sepenuhnya tertuju pada bahu kami yang nyaris menempel.
Aku tergiur untuk menyandarkan kepalaku di bahunya untuk memastikan apakah rasanya masih nyaman seperti dulu.
Dulu sebelum Intan hadir di kehidupan Johan.
"Tokoh utama cowoknya lumayan keren, cuma kurang punya pendirian."
Komentar Johan sontak membuatku langsung memperhatikan layar yang memperlihatkan seorang tokoh utama pria sedang bimbang memutuskan sesuatu. Entah kenapa aku jadi teringat Arsa yang akhir-akhir ini menghilang tanpa jejak.
"Hidup itu harusnya mudah buat orang berkuasa seperti cowok itu," komentar Johan lagi.
"Mungkin dia bingung buat keputusan soal cewek yang tepat. Bagi orang kaya, cinta itu nggak begitu penting apalagi cowok itu punya tanggung jawab besar. Jadi orang kaya sekaligus orang jahat itu nggak gampang, Jo," ucapku.
"Duitnya banyak, tapi nggak bisa dapatin cewek yang dia suka. Gue tebak endingnya cowok itu bakal milih kekuasaan daripada ngorbanin apa yang dia punya cuma buat satu cewek."
"Ini film thriller, lo malah bahas sisi romantisnya. Cowok itu punya misi selamatin dunia dari virus yang dibuat perusahaannya."
"Intinya cowok itu nggak bisa selamatkan dua hal sekaligus. Dia harus milih cewek itu atau perusahannya. Ingat soal keluarga cewek itu yang buat cowok itu jadi kambing hitam soal penyebaran virus."
Johan masih membahas tokoh utama pria dan segala praduganya mengenai ending yang tidak bahagia untuk tokoh utama wanita. Aku hanya mendengarkan penjelasannya tanpa sekali pun menyela. Menyadari bahwa aku diam, Johan langsung berhenti bercerita.
"Lo, sakit?"
Telapak tangan Johan menyentuh dahiku menyebabkan getaran yang tidak biasa di hatiku. Sedetik kemudian aku merasa kehilangan saat Johan menjauhkan tangannya.
"Lo sehat, tapi kelihatan aneh. Apa lo kepikiran soal bocah itu?"
"Lo yang aneh, Jo," ucapku lirih. "Bukan gue."
"Gue aneh karena tiba-tiba ngajak lo kencan setelah sekian lama sahabatan. Gue bukan tipe orang yang suka basa-basi, Mol."
"Gue tahu, Jo."
"Kalau gue ngajak lo kencan, artinya gue—"
Ucapan Johan terhenti begitu saja membuatku bertanya-tanya. Namun, hingga film itu berakhir, Johan masih diam. Aku yang kesal memilih berdiam diri di toilet selama dua puluh menit.
Ketika aku berniat mencari Johan, detik itu aku mengerti alasan laki-laki itu terdiam menjelang film berakhir.
Arsa ada di sana bersama seorang perempuan yang aku kenal dengan baik.
Intan sedang bersama Arsa sedangkan Johan terlihat murka.
Aku tidak tahu bahwa dunia memang sesempit ini. Apa hubungan Arsa dengan Intan?
***