Chereads / Pernikahan Kelima / Chapter 17 - Terus melangkah

Chapter 17 - Terus melangkah

"Saya mau ngomong sebentar sama, Mbak Molly."

Aku mengusap lengan Johan meminta pengertian bahwa Arsa membutuhkan ruang tanpa kehadiran orang lain. Meskipun ragu, Johan akhirnya meninggalkan aku dan Arsa berdua saja.

"Lo baik-baik aja?" tanyaku cemas sambil mengusap sudut bibir laki-laki itu yang berdarah.

"Saya baik-baik aja selama Mbak bahagia," jawab Arsa lirih.

"Lo nggak perlu mikirin gue disaat diri lo sendiri terluka, Arsa."

Arsa meringis saat aku membersihkan sudut bibirnya menggunakan handuk kecil yang tadi digunakan untuk mengompres.

"Gue nggak punya plester luka, mungkin lo bisa beli setelah pulang dari sini," ucapku cemas.

"Saya seneng lihat mbak akhirnya bisa sama orang yang mbak mau. Sebagai orang yang cuma mampir sebentar di hidup mbak, saya nggak mau berharap lebih dari ini. Jadi, mbak harus bahagia ya, sampai saya dengar soal kabar baik kalian."

Aku tidak begitu mendengarkan ucapan Arsa karena cemas melihat lukanya yang terus mengeluarkan darah. Setelah menimbang sebab dan akibat, aku meminta Johan untuk memberikan plester luka di minimarket terdekat.

Johan tidak banyak protes dan melakukan perintahku begitu diminta. Selama menunggu Johan kembali, aku mencari baju ganti untuk Arsa karena biasanya ada salah satu bawahanku yang meninggalkannya di loker.

"Mbak cari apa?"

Aku terlonjak kaget melihat Arsa tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Sepertinya laki-laki itu baru saja dari toilet karena letaknya memang berada dekat dengan loker.

"Gue cari baju ganti buat lo," jawabku masih sibuk membuka setiap loker.

"Baju saya udah agak kering, kok, Mbak."

"Nanti lo masuk angin belum lagi muka lo pucet gitu."

"Lho wajar, kan saya lagi demam mbak."

Aku meraba kening Arsa yang masih panas, lalu meneliti wajahnya yang pucat. Luka di sudut bibirnya sudah tidak mengeluarkan darah, tapi ada bekas memar di sana. Bekas pukulan Johan tidak bisa dikatakan baik karena laki-laki itu pemegang sabuk hitam taekwondo.

"Gue minta maaf soal Johan, ya," ucapku setelah menurunkan tanganku dari kening Arsa.

Kegiatan mencari baju ganti pun terhenti beralih menjadi percakapan singkat.

"Mbak nggak perlu minta maaf sama saya. Sesama laki-laki saya paham kenapa dia begitu," balas Arsa.

"Kenapa lo yakin soal Johan yang bisa buat gue bahagia?"

Arsa terdiam.

"Lo nggak mungkin pergi setelah ini, 'kan?"

Arsa tetap bungkam hingga akhirnya Johan kembali sambil membawa sekantong plastik besar berlogo minimarket tidak jauh dari sini.

"Mol, malam ini gue nggak bisa nginep di rumah lo. Ada kerjaan yang belum kelar, tapi besok gue janji bakal masakin makan malam."

***

Kesibukan mengurus toko menjadi rutinitasku sejak Arsa pergi dari hidupku. Kemudian hubunganku dengan Johan nyaris tidak ada perkembangan. Intan yang dulu sering menghubungiku, kini menghilang entah ke mana.

Johan juga terkadang membuatku ragu tentang perasaan ini. Setelah apa yang terjadi di antara kami tidak membuat hubungan itu melangkah lebih jauh.

Sebutan aku dan kamu bahkan tidak pernah terucap dari bibir Johan. Namun, aku masih percaya suatu hari nanti Johan akan melihatku sebagai perempuan layaknya perasaan yang pernah diberikannya untuk Intan.

Bulan-bulan berikutnya aku menjadi lebih bersemangat mengawali hari. Toko bunga yang aku bangun susah payah akhirnya mulai terlihat keberadaannya. Semua ini berkat mantan suamiku yang bajingan itu karena menyebutkan nama toko milikku saat acara pernikahannya.

Baru aku ketahui ternyata istri mantan suamiku itu seorang influencer terkenal dan secara tidak sengaja menyeret nama toko bungaku di dalamnya.

"Gue harus terus melangkah, 'kan?" gumamku pada suatu sore di tengah kesibukan mengurus toko.

***

Jika disuruh memilih, aku lebih menyukai bunga daisy ketimbang mawar. Alasannya tentu saja sederhana. Ada banyak orang yang menyukai mawar, tapi aku lebih memilih corak daisy yang sederhana.

"Gue beli di toko lain biar jadi kejutan buat lo," ucap Johan sambil memberikan sebuket daisy padaku. "Sorry, baru dateng sekarang."

Aku menerima buket bunga daisy itu dan meletakkannya di vas yang kosong. Biasanya aku mengisi vas itu dengan bunga yang kubawa dari toko, tapi entah kebetulan dari mana Johan membawakannya untukku.

"Lo udah jadi cowok sibuk versi majalah bisnis, Jo," balasku yang ditanggapi Johan dengan anggukan singkat. "Sampai janji masakain gue sedikit terlantar."

Johan memelukku dari belakang sambil mengecup bahuku sekilas. Hari itu aku mengenakan gaun tidur tanpa lengan sehingga mengekspos bahuku yang terbuka. Bekas kecupan itu merambat hingga ke jantungku yang berubah menjadi debaran kencang.

"Gue masakin sekarang, tapi tunggu tenaga gue ke isi dulu," ucap Johan.

"Lo bisa masak masakan Timur Tengah nggak?" tanyaku. "Gue bosen makan makanan lokal terus males mau keluar nyari restorannya."

"Bisa kok." Johan membalik tubuhku lantas mengecup bibirku singkat. "Cuma gue butuh makanan pembuka dulu."

"Lo rada mesum deh, Jo."

"Lo yang bikin gue gini, Mol."

Di tengah aktivitas Johan membuka pakaianku, sekelebat bayangan tentang Intan melintas di pikiranku.

"Hubungan lo sama Intan gimana?"

"Kenapa lo tanya soal itu?"

"Gue nggak mau jadi orang ketiga yang ngerusak hubungan kalian, Jo."

Johan menarik diri kemudian merapikan pakaianku yang berantakan. Aku kecewa karena reaksi laki-laki itu tidak seperti yang aku inginkan. Padahal, tubuhnya bereaksi dan bisa saja kami akan bercinta untuk ketiga kalinya. Namun, Johan selalu memiliki cara merusak suasana hatiku dalam sekejap.

"Lo udah belanja bahan-bahannya?" tanya Johan sambil membuka kulkas.

"Belum," jawabku singkat.

"Lo cuma punya telur sama daun bawang."

"Bikin telur dadar aja, Jo."

"Lo bilang mau makan makanan luar," ucap Johan mengingatkan barangkali aku amnesia mengenai menu makan malam yang barusan aku inginkan.

"Gue berubah pikiran," balasku enggan.

"Mol, gue nggak mau lo bahas soal Intan ataupun orang lain selama di sini cuma ada lo sama gue."

Johan menutup kulkas kemudian menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Aku hanya diam saja mendapatkan perlakuan manis dari Johan yang sebelumnya mustahil untuk dilakukan.

"Gue nggak mau kepikiran soal perempuan itu, Mol. Hubungan gue sama dia itu hampir ke dalam tahap pernikahan. Jadi, gue nggak semudah itu lupa sama hal yang dia buat sampai rencana masa depan itu hancur. Gue nggak pernah punya pikiran bakal pisah dari dia, tapi kenyataan itu buat gue sadar kalau manusia cuma bisa buat rencana. Sisanya Tuhan yang ngatur dan gue cuma bisa nerusin langkah, meski tanpa Intan di kehidupan gue ke depannya."

"Lo cinta sama Intan?" tanyaku memastikan.

"Jawaban apa yang lo mau?" Johan balas bertanya.

"Gue mau lo jujur."

"Gue pernah cinta sama Intan, tapi nggak tahu kapan. Rasanya udah lama banget gue nggak jatuh cinta sama seseorang di umur gue yang ketiga puluh tahun ini."

"Jadi, lo pernah suka sama orang lain sebelum Intan?" tanyaku.

"Ya, tapi udah nggak penting lagi sekarang, Mol."

"Jo, apa lo pernah lihat gue sebagai perempuan yang bukan sahabat lo?"

Johan tidak membalas dan memilih untuk memeluk tubuhku dengan erat. Seharusnya aku tidak perlu bertanya karena jawabannya sudah pasti mengewakan.

"Hidup itu terus berjalan, Mol. Jadi, coba melangkah sampai lo ngerasa capek dan pengen berhenti."

***