"Pagi, Molly."
Mataku mengerjap memastikan bahwa Johan baru saja menyapaku dengan sebuah senyuman. Sinar matahari pagi membuat wajahnya terlihat bercahaya.
"Pagi, Jo," balasku.
"Masih sakit pinggangnya?"
Aku meraba pinggangku, lalu menggeleng. "Nggak. Lo sendiri nggak capek?"
Johan tersenyum sambil mengusap pipiku yang terkena sinar matahari pagi. Perlahan wajahnya mendekat dan mengecup bibirku sekilas. Mataku terpejam merasakan momen ini selama beberapa detik.
Jika boleh, aku ingin selamanya seperti ini. Bangun di pagi hari dengan Johan berada di sampingku. Keinginan sederhana yang entah kapan bisa terlaksana bila kenyataannya bayangan Intan masih menghantui benak laki-laki itu.
"Gue masih kuat coba sekali lagi," goda Johan. "Lo mau?"
Wajahku memanas lantas dengan cepat menyembunyikannya di pelukan Johan. Kami berdua masih dalam keadaan polos dan bisa saja kembali bercinta sekali lagi.
"Lo harus balik ke apartemen, Jo," ucapku mengingatkan.
"Gue mungkin berubah pikiran, Mol. Masalah gue sama Intan udah selesai."
"Lo yakin?"
Johan tampak ragu membuatku mengerti mengenai posisi Intan di hatinya. Tidak mudah melupakan seseorang yang dulunya pernah dijadikan pilihan terakhir. Jika tidak ada masalah, mungkin Johan dan Intan sudah menikah sekarang.
"Menurut lo, gue harus gimana, Mol?" Johan balas bertanya.
"Kalau menurut gue, tergantung perasaan lo ke Intan gimana. Gue cuma orang luar yang nggak bisa ngasih saran apa-apa buat hubungan kalian."
"Lo bukan orang luar, Mol."
"Dibandingakan Intan, gue termasuk orang luar, Jo. Bahkan saat lo sama gue, bayangannya masih melekat di kepala lo."
Aku dan Johan terdiam. Keheningan itu membuatku tidak boleh berharap lebih akan statusku dan Johan yang hanya sahabat sekaligus teman tidur.
"Gue mau ke toko. Lo bisa istirahat di rumah gue," ucapku lantas bangkit dari ranjang."
***
Kali ini demi memperbaiki suasana hatiku yang buruk. Aku sengaja mengambil liburan selama seminggu tanpa mengabari Johan. Percakapan pagi itu membuatku kembali berpikir tentang hubungan kami.
Bali menjadi pilihan tempat liburanku. Suasana pantai mampu mengusir bayangan Johan dari kepalaku. Sinar matahari yang terik terasa membakar kulit, tapi aku tidak bergeming dari posisiku. Sejak pagi aku duduk di tepi pantai sambil memandang gulungan ombak yang dibawa ke tepian.
Rasanya aku ingin menenggelamkan diri ke tengah laut dan terbangun dalam pelukan seseorang yang tulus mencintaiku. Tentu saja pemikiran konyol itu tidak berani kulakukan oleh seorang pegecut sepertiku.
"Lautnya indah, ya?"
Aku menoleh dan mendapati seorang perempuan mengenakan bikini memamerkan kaki jenjangnya. Kulit eksotisnya membuatku tidak mampu mengalihkan pandangan darinya. Sebagai sesama perempuan, aku mengakui kadar kecantikan perempuan yang duduk di sebelahku mirip seperti model papan atas.
"Tapi yang kelihatan indah belum tentu bisa mengalihkan apa yang mengganjal di hati. Hampir satu bulan gue terdampar di sini dengan harapan kalau beban gue bisa ke angkat. Nyatanya gue masih nggak bisa lupa sama apa yang terjadi di hidup gue," ucap perempuan itu sambil mengulurkan tangannya ke arahku. "Kenalin nama gue, Tyas. Dari pagi gue lihatin lo duduk di sini dan akhirnya gue tertarik samperin lo."
Aku menerima uluran tangan Tyas. "Molly," ucapku singkat.
"Wow, nama yang keren. Lo blasteran?"
"Kelihatan ya?"
Aku mengalihkan tatapanku dari Tyas dan kembali memandang gulungan ombak. Sinar matahari semakin menyengat menyebabkan kulitku seakan terkelupuas saking panasnya. Namun, antara aku dan Tyas tidak ada tanda-tanda ingin mencari tempat berteduh.
"Mata lo," ucap Tyas. "Bukan jenis mata yang biasa dipunya orang Indonesia asli. Gue tebak lo kadang terganggu sama iris yang lo punya."
Aku tersenyum menanggapi ucapan Tyas. Jujur saja kehadirannya membuatku merasa terhibur, tebakannya tidak sepenuhnya benar. Namun, aku pernah mengalami bully saat masih kecil akibat iris mataku yang berbeda dari anak-anak lain.
"Gila panas banget Bali," keluh Tyas sambil mengusap lengannya yang berwarna kecoklatan. "Kalau gue balik ke Amerika standar kecantikan gue meningkat."
"Lo tinggal di Amerika?" tanyaku.
Tyas mengangguk. "Gue udah pindah warga negara sejak lima tahun lalu."
"Dan lo balik ke Indonesia setelah jadi warga Amerika," ucapku.
"Ada alasan yang buat gue balik ke sini, Molly. Alasan paling klise yang sering dipakai orang saat dia lagi patah hati."
"Nggak semua orang patah hati datang ke sini."
Tyas tertawa memancingku ikut tertawa pelan. Obrolan kami mengalir seperti teman lama yang sudah mengenal sejak kecil. Selama satu jam aku mendengarkan Tyas bercerita tentang hidupnya dan profesi model yang dijalaninya sejak remaja.
Sayangnya, profesi itu ditinggalkan setelah Tyas menikah dengan lelaki warga Amerika. Pernikahan yang identik dengan perselingkuhan terjadi dalam kehidupan Tyas dan akhirnya perempuan itu melarikan diri ke sini. Katanya untuk mengobati patah hati saat melihat suaminya sedang bercinta dengan sahabatnya sendiri yang ternyata seorang laki-laki juga.
Tyas tidak tahu bahwa suaminya seorang biseksual dan jauh sebelum mengenal perempuan itu, suaminya memiliki seorang kekasih pria. Alasan laki-laki itu menikahi Tyas adalah jatuh cinta pada pandangan pertama. Lalu dihempaskan dengan kejam oleh kenyataan bahwa love at first sight bukan alasan yang cukup kuat dalam sebuah pernikahan.
"Gue dulunya nggak pernah tertarik sama laki-laki. Lo mungkin nilai gue perempuan sakit jiwa."
Aku menggeleng. "Lo berhak mutusin apa pun soal hidup lo sendiri."
"Hal itu nggak berlaku saat gue mutusin nikah sama orang lain dan ninggalin orang yang paling ngertiin gue demi kehidupan normal yang diimpikan orangtua gue. Setelah lima tahun gue akhirnya tahu kalau mantan pacar gue nggak pernah berhenti peduli sama gue. Dia bahkan rela pindah ke Amerika demi mastiin gue bahagia dan lo tahu bagian buruknya?"
Aku menggeleng.
"Dia meninggal saat gue tahu ketulusannya. Gue belum sempat bilang maaf dan dia udah pergi ninggalin gue sendirian. Hidup gue hancur setelah dia pergi, Molly. Orang yang paling ngertiin gue udah nggak ada lagi dan biarin gue sendirian di dunia ini. Coba dulu gue punya pilihan, gue nggak akan lepasin dia dari hidup gue. Sekarang dia udah pergi dan nggak pernah balik lagi."
Tyas menangis di bahuku.
"Menurut gue, hidup yang singkat ini jangan pernah ambil pilihan salah. Sekali lo kehilangan orang yang paling penting, saat itu lo sadar kalau hidup yang lo jalani selama ini sia-sia. Gue udah berulangkali coba bunuh diri, tapi gue nggak pernah berhasil. Bayangan mantan pacar gue selalu dateng saat gue lakukan hal yang salah."
"Lo bisa nangis," ucapku sambil mengusap bahu Tyas.
"Gue udah nangis sampai air mata gue kering, tapi dia nggak akan kembali. Suami gue yang tahu soal masa lalu gue akhirnya minta maaf dan janji bakal ngasih kehidupan normal. Kenapa gue ngerasa hidup gue miris banget? Dikasihani sama orang lain itu rasanya nggak enak."
"Kalau lo dulu nggak punya pilihan, mungkin sekarang lo bisa milih," ucapku.
"Apa hal itu berlaku buat lo juga, Molly?"
Aku menggeleng. "Gue nggak pernah punya pilihan, Tyas."
***