"Mol, jangan deketin bocah itu, lagi."
Usapan lembut Johan di pipiku terasa menenangkan. Kami baru saja melewati sesi bercinta yang panas melebihi apa yang pernah aku lakukan pada Arsa.
Johan mungkin sudah terbiasa melakukan hal seperti ini sehingga aku merasakan kepuasan luar biasa. Bisa dikatakan aku hampir melayang di angkasa ketika mencapai pelepasan dan Johan menyebutkan namaku.
"Gue nggak mau lo sama dia punya hubungan," ucap Johan dengan suara serak.
Aku memeluk pinggangnya dan laki-laki itu balas memelukku erat. Jika hanya ini yang bisa kulakukan untuk Johan, aku rela untuk mengulang sesi bercinta selanjutnya. Johan bukan hanya lelaki yang aku cintai, tapi lebih dari itu.
***
"Mbak Molly, kok, cerah baget, sih."
"Wah, skincare yang dipakai cocok ya, Mbak?"
Aku baru saja memasuki toko saat mendengar ucapan usil bawahanku yang melihatku tampak bahagia pagi itu. Johan tadi mengantarku setelah semalam penuh aku menghabiskan waktu di apartemennya dan pagi tadi kami kembali bercinta untuk kedua kalinya.
"Saya sampai kaget tumpangan mbak Molly ternyata beda sama yang kemarin."
Aku memberi isyarat berupa pelototan tajam, tapi diacuhkan oleh sebagian besar bawahanku yang mengenalku sejak lama. Katanya tidak mempan ancaman seorang Molly yang sering cekikikan ketika melihat ponsel.
"Tadi kayaknya saya lihat cowok yang biasa nganter mbak lagi ngopi di kafe seberang."
Arsa lumayan nekat juga. Namun, aku sedang tidak ingin melihat laki-laki itu setelah melihatnya pergi bersama Intan. Johan benar, seharusnya aku tidak memiliki hubungan apa-apa terhadap bocah ingusan seperti Arsa.
Sore harinya aku sengaja menutup toko lebih cepat karena Johan mengajakku nonton di bioskop. Rencananya laki-laki itu akan menginap di rumahku sekaligus memasak makan malam. Aku senang dengan rencana itu membayangkan akan menghabiskan waktu bersama Johan sekali lagi.
Hanya saja hujan turun tepat ketika aku berdiri di emperan toko. Tidak mungkin Johan menjemputku tanpa terjebak macet karena aku tahu jelas laki-laki itu sangat sibuk. Berbeda dengan Arsa yang sering muncul tanpa alasan seolah tidak memiliki pekerjaan.
Secara tidak langsung aku membandingkan dua lelaki yang tidak pernah sudi disamakan.
"Mbak Molly."
Panggilan itu membuatku mencelos, Arsa berdiri di bawah hujan dengan pakaian basah kuyup dan bibir membiru.
"Saya minta maaf."
Setelah itu tubuh Arsa ambruk membuatku panik dan langsung menghampiri laki-laki itu yang tergeletak tidak sadarkan diri.
Aku bahkan mengabaikan pakaianku yang basah kuyup akibat hujan deras. Tidak ada waktu memikirkan pakaian di tengah kondisi Arsa yang pingsan tanpa sebab.
"Bocah tengik! Jangan bikin gue senam jantung!"
Sayangnya, Arsa tetap memejamkan mata seolah ucapanku dan suara berisik hujan hanya alunan lagu pengantar tidur.
***
"Jo, lo udah sampai mana?"
Aku memberitahu Johan tentang kondisi Arsa yang masih pingsan di ruang kerjaku. Begitu mendengar nama Arsa disebut, Johan langsung meninggalkan pekerjaannya menuju tokoku.
"Bentar lagi, gue masih berhenti di pom bensin," jawab Johan dari seberang.
"Apa gue panggil ambulans aja, Jo? Arsa kelihatan pucat banget terus suhu tubuhnya dingin banget. Gue cemas dia kenapa-kenapa kalau nunggu lo sampai sini."
"Jangan ngambil keputusan sebelum gue sampai ke sana."
Panggilan itu berakhir sepihak membuatku panik melihat Arsa tak kunjung sadar. Aku meletakkan ponsel di meja dan mendekati laki-laki itu yang berbaring di sofa. Butuh usaha keras membawa Arsa yang sedang pingsan sampai kemari.
"Lo harus sadar sebelum Johan sampai ke sini. Gue nggak mau lihat kalian bertengkar karena masalah yang nggak gue tahu. Terus lo masih hutang penjelasan soal Intan yang jelas tunangan Johan."
Aku mengusap kening Arsa menggunakan handuk kecil yang kebetulan tertinggal di ruanganku. Perlahan aku mendengar suara erangan kecil dan berikutnya mata terpejam Arsa terbuka. Ada kilat kecewa serta kebingungan menyadari bahwa laki-laki itu tidak berada di tempat tadi.
"Lo lagi di ruangan gue," ucapku masih mengusap keningnya. "Lo pingsan di depan toko."
"Mbak, apa saya melakukan kesalahan besar?"
Gerakan tanganku di keningnya terhenti dan aku menatap Arsa kebingungan.
"Gue nggak paham sama yang lo bilang," ucapku jujur.
"Mbak pergi sama laki-laki itu dan buat saya nggak berdaya selain lihat kalian saling tertawa. Saya juga lihat mbak keluar dari apartemen laki-laki itu pagi tadi. Kenapa mbak melakukan ini ke saya?"
Aku diam saat Arsa meraih tanganku dan mengecupnya lembut. Tidak ada perasaan apa-apa selain rasa iba melihat bocah itu terlihat rapuh serta bibirnya yang pucat.
"Saya orang pertama yang tidur sama mbak, tapi bukan orang pertama yang buat mbak Molly jatuh cinta. Kalau saya minta waktu diputar ulang biar kita ketemu sejak awal, apa mbak bakal milih saya?"
Aku menarik tanganku dari bibir Arsa, tapi laki-laki itu menahannya dengan kuat. Kemudian secara tiba-tiba Arsa menarik leherku dan membungkam bibirku dengan ciuman. Tangan laki-laki itu menekan leherku agar ciuman itu bertambah dalam.
Seharusnya aku menolak, tapi bibirku justru membalas lumatan Arsa. Posisiku yang sebelumnya duduk di lantai telah berpindah menuju sofa, lebih tepatnya berbaring di atas tubuh Arsa.
Pakaian kami yang sebelumnya basah kuyup terasa sedikit lembab. Namun, ciuman itu terasa lebih panas setiap detiknya.
Arsa hampir membuatku kehilangan kendali saat tangannya bergerak menuju pinggangku berniat untuk menelusup masuk. Namun, suara Johan menyadarkanku bahwa tindakan ini tidak seharusnya dilakukan.
"Lepasin Molly sekarang juga, brengsek!"
***
Wajah Arsa jauh lebih pucat seolah tidak aliran darah di dalamnya. Johan dengan posesif memeluk pinggangku seolah aku adalah miliknya. Arsa tampak terluka dan berusaha untuk duduk di sofa dengan baik.
"Gue peringatkan sekali lagi, jangan ganggu Molly selama lo masih punya hubungan sama Intan," ucap Johan dengan nada tidak bersahabat.
"Jo," ucapku lirih.
Sayangnya, Johan terlanjur emosi hingga mengabaikan laranganku berbuat macam-macam pada Arsa yang masih lemah. Satu pukulan melayang di wajah Arsa meninggalkan jejak darah di sudut bibir laki-laki itu.
"Jo, udah jangan buat masalah. Arsa lagi sakit terus lo pukul dia tanpa alasan." Aku menarik Johan menjauhi Arsa. "Jangan buat gue marah gara-gara masalah ini, Jo."
"Gue nggak mau dia ganggu hidup lo yang udah hancur gara-gara keempat mantan suami lo yang brengsek. Lo itu berharga, Mol. Bagi gue lo itu lebih dari sekadar tempat yang bisa dijadikan pelarian seperti halnya yang dilakukan bajingan ini."
Arsa tampak terkejut. "Keempat mantan suami?"
"Molly nikah sebanyak empat kali kalau lo mau tahu soal masa lalunya. Dia nggak pernah bahagia sama pernikahannya karena semua cowok itu cuma mau tahu tubuhnya. Terus lo yang bukan siapa-siapa malah buat Molly begini!"
"Tapi mbak Molly—" Arsa menahan kalimatnya.
"Ya, Molly masih perawan sampai akhirnya lo yang buat dia nggak perawan," ucap Johan tajam.
Aku mengusap lengan Johan berusaha menenenangkan laki-laki itu yang terlihat marah besar. Seperti bukan karena masalah cumbuanku dengan Arsa. Namun, lebih dari itu.
Sesuatu yang aku tidak tahu tentang hubungan Arsa dan Intan. Bagaimana kedua orang itu bisa saling mengenal?
"Kalau lo berani muncul di kehidupan Molly, gue pastikan Intan nggak pernah lihat namanya warna dunia. Perempuan itu masih punya masalah yang belum selesai dan gue tahu dia nggak pernah main-main soal perasaannya. Termasuk saat dia minta gue naik ke tempat tidurnya dan gue nolak mentah-mentah permintaannya."
Arsa bungkam begitu pula aku. Masalah ini pasti melibatkan Johan dan rahasia yang disimpan Arsa tanpa melibatkan aku di dalamnya. Lalu Intan yang aku tahu jelas sangat mencintai Johan justru tidak pernah mendapatkan kesempatan tidur bersama laki-laki itu.
***