Chereads / Pernikahan Kelima / Chapter 13 - Melewati malam panas

Chapter 13 - Melewati malam panas

"Ayo masuk."

Arsa terlihat seperti orang tolol ketika aku memintanya masuk ke dalam rumah. Biarlah untuk malam ini aku mengalah dan membiarkannya menginap di rumahku. Sekali pun menolak, aku sudah siap menyisihkan waktuku membujuk bocah ini.

"Kalau nggak mau masuk, gue tutup sekarang," ucapku sontak menyebabkan Arsa melangkah ke dalam.

"Lo bisa nginep."

"Serius mbak minta saya tidur di sini?"

"Gue cuma cemas lo balik tengah malam begini."

"Sebelumnya saya pulang tengah malam mbak juga nggak peduli."

Aku melangkah ke dalam kamar dengan Arsa mengekor di belakangku. Kondisi kamar yang sedikit berantakan akibat terburu-buru membuatku merasa cemas Arsa berpikir yang tidak-tidak.

"Gue nggak sempat beresin kamar," ucapku sambil meletakkan tas di meja. "Sorry kalau berantakan."

"Saya nggak mikir sampai ke sana, Mbak."

Arsa bergerak mendekat sambil memelukku dari belakang. Aku yang merasakan hembusan napasnya membelai leherku langsung merasa was-was. Jika aku kehilangan kontrol bisa saja kami akan berakhir di ranjang yang sama keesokan harinya.

"Anting mbak nyangkut," bisik Arsa lirih.

Aku menatap pantulan kami di cermin lalu menyadari bahwa tidak ada jarak. Tubuh Arsa melekat di tubuhku dengan posisi memelukku dari belakang. Aku tidak bisa melepaskan diri dengan mudah selama Arsa terus memerangkapku.

"Lo bisa geser?" ucapku gugup. "Gue mau lepas anting."

Arsa menyibak rambutku dan memindahkannya ke samping kanan. Anting sebelah kiriku tersangkut kerah baju dan itu membuatnya sulit untuk dilepaskan.

"Saya bantu," bisik Arsa tepat di telingaku.

Aku menahan napas selama Arsa melepas antingku. Ini tidak baik bagi kesehatan jantung bila berlama-lama bersama bocah ini. Tindakan seperti melepas anting ini mempengaruhi kewarasanku.

"Mbak bisa tolong miring ke samping?"

Aku memiringkan kepala ke samping sesuai permintaan Arsa. Lima menit kemudian anting itu berhasil terlepas dari kancing bajuku.

"Udah saya lepas, Mbak," ucap Arsa.

"Makasih."

Arsa semakin erat memelukku. "Saya mau lebih dari itu," bisiknya.

"Lo mau apa?"

Arsa tidak menjawab melainkan mengecup leher belakangku lembut. Darahku berdesir merasakan tekstur bibirnya di kulitku.

"Saya mau, Mbak."

"Apa yang lo mau dari gue?"

Arsa melonggarkan pelukannya kemudian membalik tubuhku agar menghadap ke arahnya. Perlahan, wajahnya menunduk dan detik berikutnya aku merasakan bibirnya mendarat di bibirku.

Hangat dan lembut.

Aku mencengkeram erat kemejanya saat merasakan bibirnya melumat bibirku. Tidak tergesa-gesa atau menuntut. Aku yang sudah lama tidak mendapatkan perlakuan seperti ini membalas ciumannya hati-hati.

Bibir kami bertaut, saling melumat, dan menghisap.

Tanganku yang tadi mencengkeram kemejanya berpindah memeluk erat lehernya. Sedangkan lengan Arsa memeluk erat pinggangku.

Darahku berdesir cepat saat bibir Arsa berpindah mengecup daun telingaku. Tangannya berpindah menuju kancing kemejaku berniat untuk melepaskan kancingnya. Namun, aku mencegahnya dan melepaskan diri dari darinya.

"Gue mau mandi dulu," ucapku lantas masuk ke dalam kamar mandi.

Aku tidak bisa menahan diri jika perbuatan tadi diteruskan. Tidak mungkin aku menyerahkan diri semudah itu pada bocah yang pernah menjadi murid privatku.

Masalahnya keberadaan Arsa di sini cukup membuatku gerah.

***

Selesai mandi aku tidak melihat keberadaan Arsa di kamar. Bergegas aku melangkah menuju dapur dan melihatnya sedang duduk termenung di meja makan. Secangkir kopi berada di hadapannya dan aku rasa baru saja diseduh.

Aku duduk di sampingnya dan melihatnya tampak muram. Entah apa yang terjadi selama aku mandi. Wajahnya tadi tidak seperti itu.

"Saya boleh bersandar sebentar?" pinta Arsa dengan nada pelan.

Aku menggeser kursiku agar lebih dekat. Arsa menjatuhkan kepalanya di bahuku sementara tangannya menggenggam erat tanganku.

"Mbak nggak keberatan saya begini?"

"Lo bisa sandar," ucapku sambil menatap tautan tangan kami. "Nggak perlu mikir macam-macam soal Johan ataupun Bima. Mereka nggak ada hubungannya sama gue kecuali Johan yang merupakan sahabat gue sejak lama."

"Apa mbak naksir sama Johan?"

Aku bungkam, tapi Arsa tahu jawabannya.

"Saya nggak rela lihat mbak nyiksa diri buat laki-laki seperti itu. Coba sekali aja mbak lihat saya bukan sebagai murid privat yang menyebalkan, mungkin mbak bisa lihat ketulusan saya."

"Lo nggak tahu apa pun soal gue dan Johan," ucapku lirih.

"Saya memang nggak tahu apa-apa soal Mbak Molly," balasnya tak kalah lirih.

"Lo bisa berhenti bahas sesuatu yang nggak penting?"

"Apa mbak keberatan bahas tentang kita?"

Aku tidak ada kaitan apa pun dengan Arsa, tapi hanya diam ketika mendengarnya membahas masa lalu. Selama setengah jam lamanya Arsa menceritakan masa kecilnya, aku menguap karena mengantuk.

Menyadari bahwa aku lelah, Arsa menyudahi ceritanya dan memintaku tidur di kamar. Aku pikir laki-laki itu akan pindah ke kamar sebelah. Namun, nyatanya justru memelukku yang dengan cepat terlelap.

Menjelang subuh aku terbangun dan terkejut melihat Arsa sedang menatapku.

"Lo nggak tidur?" tanyaku memastikan.

"Saya lagi lihatin mbak Molly," jawabnya sambil mengusap pipiku lembut.

"Lo bisa sakit kalau begadang sampai pagi."

"Saya biasa nggak tidur sampai pagi."

Aku menarik napas berat dan membiarkan Arsa membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Hal mengejutkan terjadi saat bibirnya menyentuh bibirku. Kali ini berbeda dengan ciuman semalam karena terasa lebih menuntut.

Aku membuka bibirku dan merasakan lidah Arsa menelusup masuk. Tidak mungkin laki-laki itu ingin bercinta, tapi caranya menciumku terasa berbeda.

"Mbak, saya udah tersiksa sepanjang malam," ucap Arsa kemudian menindih tubuhku.

Telapak tanganku ditekan kemudian bibir Arsa turun menuju leherku. Semalam aku hanya mengenakan gaun tidur tanpa lengan sehingga Arsa dengan mudah melepasnya.

"Saya minta maaf."

Aku tidak bisa mencegah Arsa membuka gaun tidurku dan berakhir hanya mengenakan bra. Tindakan berikutnya ternyata membuatku tidak bisa protes. Bibir Arsa telah mendarat di puncak dadaku dan memberikan hisapan lembut.

Aku mendesah serta meremas rambutnya kuat-kuat. Arsa sengaja membakar gairahku hanya dengan bermain di puncak payudaraku.

"Lo," ucapku dengan napas memburu.

Arsa tidak memberiku kesempatan berbicara karena bibirku sudah dibungkam dengan ciumannya. Tangannya bergerak menuju pahaku kemudian melepas celanaku. Berikutnya aku merasakan usapan halus di pangkal pahaku dan berakhir dengan sentuhan di bagian bawah tubuhku.

Arsa menyentuhnya dengan cepat sesuai dengan ritme yang aku butuhkan. Tidak mampu menolak sentuhan berikutnya, aku memilih untuk memberikan akses pada laki-laki itu.

"Lo bisa lakukan sekarang," ucapku.

Arsa membuka celana dalamku berikut celananya. Setelahnya membuka pahaku lebar-lebar dan aku hanya mampu memejamkan mata.

Dorongan yang diberikan Arsa tidak terlalu kuat, tapi aku tahu laki-laki itu melakukannya dengan hati-hati. Namun, tindakan itu tidak terjadi dengan mudah membuat Arsa sedikit terkejut. Sebelum laki-laki itu merasa bersalah, aku langsung mengucapkan rahasia itu.

"Gue masih perawan," ucapku lirih.

"Tapi—" Arsa terlihat ragu.

"Lo bisa berhenti sekarang kalau ragu."

Aku tidak bisa memaksa waktu kembali seperti halnya yang terjadi di pernikahan-pernikahan sebelumnya. Saat ini aku sudah menyerah akan perasaanku untuk Johan dan tidak bisa menahan diri untuk bercinta dengan siapa pun.

"Saya minta maaf, Mbak."

Aku memeluk erat punggung Arsa saat merasakan dorongan rasa sakit yang luar biasa. Secara mengejutkan sudut mataku berair dan Arsa mengusapnya dengan lembut.

"Saya minta maaf buat Mbak Molly nangis."

Aku tidak mampu menjawab selain memejamkan mata dan merasakan gerakan Arsa. Untuk pertama kalinya dalam hidup aku membiarkan seseorang menyentuhku dengan sukarela.

Hari ini aku melewati malam panas bersama Arsa alih-alih Johan seperti yang selama ini aku impikan. Ternyata aku sudah mencapai batas di mana Johan bukan lagi orang yang aku inginkan.

***