"Hai, Jo."
Johan membalas sapaanku dengan senyuman, tapi aku tahu senyuman itu tampak dipaksakan.
"Lo langsung ke sini?" Johan bertanya sambil menyodorkan minuman kaleng yang aku balas dengan gelengan. "Sejak kapan lo nggak minum soda?" tanyanya heran.
"Sejak dulu," balasku lirih.
Johan tidak menanggapi ucapanku dan sibuk memainkan minuman kalengnya. Aku bangkit dari sofa yang berada di lobi kemudian berjalan menuju meja resepsionis untuk melakukan check-in.
"Lo tidur di kamar gue aja, Mol."
Johan sudah menyeret koperku mengabaikan tatapan penuh selidik resepsionis yang sejak tadi berniat melayaniku. Setengah berlari aku menyusul Johan yang saat ini sudah masuk ke dalam lift.
"Lo kenapa, sih, Jo?" tanyaku dengan napas tersengal.
"Apanya?"
Aku berdecak kesal kemudian menarik koperku dari tangan Johan. Sebelum lift tertutup, aku melangkah keluar dan meninggalkan Johan di belakangku.
Kali ini aku tidak ingin Johan mempengaruhi perasaanku. Namun, suara Johan terdengar dari balik punggung membuatku bimbang.
"Gue butuh lo, Mol."
***
Kamar Johan hanya terdiri dari ranjang single yang cukup untuk menampung dua orang. Dengan kaku, aku meletakkan koper di sudut ruangan kemudian melirik Johan yang duduk di ranjang.
Ini bukan saat yang tepat untuk terbawa perasaan. Johan sedang membutuhkanku dan seharusnya aku menghiburnya.
"Lo bisa cerita sama gue," ucapku lantas duduk di samping Johan.
"Gue nggak tahu mau cerita dari mana," balas Johan pelan.
"Yang menurut lo penting aja."
"Semua yang menyangkut sama Intan penting buat gue, Mol."
Aku langsung terdiam seakan menyadari posisi Intan di hati Johan sangat penting.
"Tapi itu dulu," sambung Johan.
Aku memilih diam sementara Johan menarik napas berat.
"Gue baru tahu kalau ternyata selama ini, lo orang paling tulus sama gue, Mol."
Deg!
Jantungku berdetak kencang, tapi berusaha keras menjaga sikap agar terlihat biasa saja.
"Karena lo sahabat gue, Jo," balasku lirih.
"Ya."
Kami terdiam cukup lama hingga dering ponselku memecah keheningan. Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan melihat nama Intan di layar. Johan sempat melihatnya, tapi tidak berkomentar apa-apa.
"Molly."
Belum sempat aku membuka mulut ternyata Intan lebih dulu menyapaku. Posisiku masih duduk di sebelah Johan dan bisa dipastikan laki-laki itu mendengar pembicaraan kami.
"Ya, Intan?" balasku dengan suara sedikit serak.
"Kamu udah ketemu Johan?"
Aku melirik Johan sekilas, lalu melihat laki-laki itu menggeleng pelan.
"Gue belum ketemu Johan."
"Oh, gitu ya?"
Suara Intan semakin mengecil dan sesekali aku mendengar suara batuk. Kondisi Intan terlihat jauh lebih buruk dibandingkan sebelumnya.
"Gue usahakan bawa Johan pulang dan jaga kesehatan sampai tunangan lo balik."
Aku memutuskan sambungan itu kemudian menatap Johan sinis.
"Udah puas lo sekarang?"
Johan tidak merespons dan menarikku ke dalam pelukannya. Jantungku berpacu lebih cepat menyadari Johan memelukku. Tangannya mengusap rambutku memberikan rasa nyaman yang selama ini aku dambakan.
"Seenggaknya gue masih punya lo, Mol."
Aku mendongak sehingga tatapan mata kami bertemu. Johan tampak ragu, tapi perlahan wajahnya semakin mendekat. Hembusan napas Johan terasa hangat dan detik berikutnya bibir kami bertemu.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun mencintai Johan dalam diam.
"Mol, gue butuh lo," bisik Johan di sela ciumannya.
***
Nyaris saja jantungku melompat keluar tatkala Johan membaringkan tubuhku di ranjang. Bibir kami saling bertautan sesekali melumat dan menghisap. Bahkan tangan Johan sudah membuka satu per satu kancing kemejaku.
"Molly."
Aku menatap mata Johan yang berkabut, percuma saja menyangkal karena aku benar-benar menginginkannya sekarang.
"Gue mau lo," ucapku lirih.
Johan kembali mencium bibirku dan melempar kemejaku ke sembarang arah. Aku sendiri berusaha melepas kaos yang dipakainya dan ini merupakan hal paling gila yang pernah aku lakukan bersama Johan.
Napasku tertahan ketika merasakan tangan Johan membelai kulit punggungku dan melepas kaitan bra itu dengan mudah. Aku tidak perlu bertanya dari mana Johan mempelajari hal tersebut. Seingatku Intan selalu menginap di apartemennya dan bisa dipastikan keduanya sering menghabiskan malam bersama.
Sekarang tubuh bagian atasku benar-benar polos. Johan berkali-kali meneguk ludah membuatku tidak bisa berpikir jernih. Jangan melihat seperti apa reaksiku sekarang.
Johan benar-benar membuatku hampir gila.
"Jo," panggilku lirih.
Johan menatap wajahku lalu beralih menatap dadaku yang tidak tertutup apa-apa. Sebelah tangannya bergerak maju, tapi akhirnya tertahan di udara.
"Gue nggak bisa ngelakuin ini, Mol."
Gairahku yang tadi memuncak secara perlahan memudar. Aku menatap Johan kecewa kemudian meraih selimut untuk menutupi bagian atas tubuhku.
"Kenapa?"
"Karena gue nggak mau jadi cowok brengsek."
"Lo nggak pernah ngelakuin ini sama Intan?" tanyaku memastikan.
"Gue nggak tertarik tidur sama dia, Mol," jawab Johan muram.
"Kenapa?"
Johan menatap wajahku kemudian menggeleng pelan.
"Nggak kenapa-kenapa," ucapnya lantas menjatuhkan tubuh di sampingku.
Aku memiringkan tubuh dan memperhatikan wajah Johan dari samping. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, aku selalu melakukan hal seperti ini pada laki-laki itu.
"Lo bisa cerita tentang Intan."
"Kalau gue cerita sama lo, apa lo bakal bawa gue pulang ke Surabaya?"
"Tergantung lo," ucapku ragu Johan akan menyetujui ajakan itu.
"Gue nggak bisa cerita sekarang, tapi yang jelas masalah ini bukan hal sepele. Gue sama Intan nggak bisa sama-sama dan saat waktunya tepat, gue memilih untuk menyerah."
"Apa artinya sekarang lo masih berharap sama Intan?"
Johan tidak menjawab dan aku tahu apa arti diamnya laki-laki itu. Puluhan tahun bersahabat, aku tahu disaat Johan sedang meragukan sesuatu.
"Gue dukung apa pun keputusan lo, Jo."
Aku bangkit dari ranjang lalu meraih bra dan kemejaku yang berceceran di lantai. Hampir saja aku menyerahkan diri dan akhirnya kecewa.
Sekarang aku ingin sekali melampiaskan rasa sesak itu dengan alkohol.
***
Alkohol nyatanya tidak seratus persen mengobati perasaan tidak enak karena Johan. Aku masih mengingat kejadian tadi tanpa melewatkan satu bagian mengenai Johan yang terus menyebut nama Intan.
"Brengsek!"
Aku meneguk isi gelasku hingga tandas kemudian meletakkan selembar uang di meja. Lalu berjalan sempoyongan menuju pintu keluar. Begitu tiba di hotel, kakiku seakan membeku di tempat.
Johan sedang bersama Intan dan tampak membicarakan sesuatu yang serius. Aku bisa melihat Intan menghapus air matanya sedangkan Johan berkali-kali mengusap wajahnya kasar.
Kepalaku yang berdenyut semakin berdenyut, tapi ada hal lain yang membuatku semakin berdenyut nyeri.
Johan memeluk Intan dan perempuan itu balas memeluk Johan dengan erat. Aku menghapus air mata yang menetes kemudian berbalik. Namun, aku bisa mendengar suara Johan memanggil namaku. Sayangnya, aku sudah tidak memiliki tempat untuk kembali.
Johan menolakku karena Intan masih memiliki tempat spesial di hatinya.
Malam itu aku menginap di hotel yang berbeda dengan Johan. Meninggalkan koper yang masih tertinggal di kamar laki-laki itu. Percuma saja mencoba mencintai Johan sekali lagi.
Sebab, dalam hatinya aku hanya seorang sahabat.
Tidak lebih.
***