"Gue nggak tahu kalau lo pernah jadi guru privat."
Aku sedang memainkan ponsel saat Johan berkata seperti itu. Tanpa menatapnya, aku menjawab pertanyaan tersebut.
"Lo nggak sepenuhnya tahu tentang gue, Jo."
"Gue nggak paham lo dari mananya sih, Mol?"
Suara Johan terdengar kesal membuatku terpaksa mengalihkan tatapan dari ponselku menuju wajahnya.
"Apa lo pernah lihat gue bukan sebagai sahabat?" tanyaku sontak langsung membuatnya terdiam.
Aku tersenyum miris. Johan tidak pernah memahamiku seperti aku memahaminya.
Mobil yang kami tumpangi akhirnya berhenti di depan rumah. Aku tidak langsung turun dari mobil, melainkan menyandarkan kepalaku di kursi.
Sejenak aku terdiam dan merasakan Johan mengusap bahuku.
"Gue peduli sama lo, Molly. Bagian yang barusan lo sebut, gue beneran nggak paham," ucap Johan pelan.
"Ya gue paham, Jo," balasku enggan.
"Gue minta maaf, Mol."
Aku tidak menggubrisnya dan membuka pintu mobil. Mengabaikan segala bentuk emosi yang ada di kepala. Aku melangkah cepat menuju rumah.
Ketika mobil Johan berlalu, aku jatuh berlutut di lantai.
Malam ini aku baru saja mengungkapkan perasaanku. Hebatnya Johan menolaknya tanpa berpikir panjang.
***
Suara musik mengehentak keras ditambah aroma alkohol dan rokok yang begitu pekat. Malam ini aku mendatangi bar sebagai bentuk pelampiasan. Aku duduk di salah satu kursi yang menghadap bartender dengan segelas wiski di hadapanku.
Aku tidak suka minum alkohol, tapi malam ini aku ingin sekali melakukannya.
"Bodoh," gumamku pelan.
Aku tidak peduli lagi ketika seorang lelaki asing membawaku menuju lantai dansa. Tubuhku sudah berada di luar kendali akibat pengaruh alkohol. Sehingga aku tidak begitu memperhatikan lelaki yang berada di hadapanku dengan jelas.
"Mbak Molly ngapain di sini?!"
Perlahan aku mengenali lelaki itu.
"Kamu!" pekikku keras.
"Ya saya, Mbak!"
Suara musik yang memekakkan telinga membuat kami harus berteriak satu sama lain. Aku tidak suka berada di tempat ini bersama bocah menyebalkan itu. Dengan cepat aku keluar dari bar dan mengabaikan teriakan di belakangku.
Ini sih namanya bukan mencari pelampiasan, tapi memancing emosi ketika melihat bocah menyebalkan itu.
Sebelum aku mencapai pintu keluar, lenganku di tarik dengan kuat. Tubuhku menempel di tubuh bocah itu dan sialnya alkohol mempengaruhi kewarasanku. Alih-alih menjauh aku justru menarik tengkuk bocah itu dan mencium bibirnya.
"Mbak Molly!"
Aku meredam suaranya dan mengalungkan lenganku di lehernya. Entah setan apa yang mempengaruhiku, aku mendorong tubuhnya menuju dinding. Lalu mencium bibirnya lebih dalam dan mengabaikan segala bentuk keterkejutan dari bocah itu.
"Temani gue malam ini," ucapku sesaat setelah ciuman itu terlepas. "Habis itu lo bebas pergi kemana pun."
"Saya takut pacar Mbak datang kemari terus hajar saya."
"Gue nggak punya pacar." Aku menatap tajam bocah menyebalkan itu. "Tolak atau pergi dari hadapan gue sekarang."
Bodohnya aku masih memeluk bocah itu. Alkohol ternyata membuatku berlipat lebih bodoh dari biasanya.
"Saya antar pulang setelah itu terserah Mbak mau ngapain saya," ucap bocah menyebalkan itu lalu membawaku keluar dari bar.
***
Keesokan harinya aku benar-benar dibuat terkejut ketika mendapati seorang lelaki terlelap di sampingku. Berulangkali aku mengusap mata memastikan bukan hantu yang memeluk tubuhku.
Apa yang sudah aku lakukan semalam?
Perlahan aku menyibak selimut dan bernapas lega mendapati pakaianku masih lengkap. Artinya aku dan bocah menyebalkan itu tidak melewati malam panas.
Kepalaku masih berdenyut akibat efek alkohol semalam dan bagusnya aku tidak muntah seperti biasanya. Namun, tidak ada yang bagus mendapati bocah menyebalkan itu berada di kamarku. Bodohnya pula aku membiarkannya tidur di sampingku.
Otakku benar-benar rusak akibat alkohol semalam!
Pelukan di pinggangku mengerat kemudian bocah itu menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Aku bisa merasakan tekstur bibirnya di kulit leherku dan itu bukan pertanda yang bagus.
"Hei!"
Aku menggoyangkan bahunya, tapi tidak mendapat respons. Bocah itu justru melingkarkan kakinya di pinggangku seolah aku ini guling. Matanya terpejam semakin rapat berikut deru napas teratur pertanda bocah itu tertidur dengan nyenyak.
Aku melirik jam digital di samping tempat tidurku yang menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Sekarang bukan akhir pekan dan aku rasa bocah menyebalkan ini tidak datang bekerja. Mengingat malam itu betapa lelah wajahnya, pasti laki-laki bekerja dengan keras. Lalu hebatnya aku masih bertemu dengannya di bar.
"Hei." Aku kembali menggoyangkan bahunya. "Lo nggak kerja, ya?"
Pelukan itu semakin erat dan kali ini wajahnya sejajar dengan wajahku. Dari jarak sedekat itu aku bisa melihat wajahnya yang jauh lebih tampan. Dulu, aku tidak mengingat bocah menyebalkan ini memiliki tahi lalat di bawah mata sebelah kiri. Sekarang aku benar-benar memperhatikannya dengan seksama.
Meskipun masih sama menyebalkan, tapi laki-laki itu sudah tumbuh dewasa. Bukan bocah kecil yang suka mencari masalah denganku dan membuatku hampir gila. Tanpa sadar aku mengusap wajahnya sambil bergumam pelan.
"Bocah tengik yang suka cari masalah akhirnya udah besar sekarang. Gue penasaran gimana kabar keluarga lo dan juga kakak lo itu."
Entah akibat ucapanku atau usapan di wajahnya. Perlahan mata laki-laki itu terbuka dan kedua mata kami bertemu dalam satu garis lurus.
"Mbak Molly?"
Aku mengerjap berusaha menyadarkan diri bahwa saat ini posisi kami masih berpelukan. Namun, yang terjadi aku justru menahan napas saat wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Entah apa yang aku tunggu, tapi aku merasakan bibir lembut itu menyentuh bibirku.
Ciuman lembut dan hati-hati menyebabkan darahku berdesir. Tidak ada tuntutan aku harus membalas ciumannya karena sejak tadi aku hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Namun, ketika laki-laki itu berniat melepaskan ciumannya.
Aku melingkarkan lenganku di lehernya dan membalas ciumannya dengan cepat. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi tergesa dan menuntut.
Kini, tubuhku berada di bawah tubuhnya dengan lengan laki-laki itu yang menjadi bantalan. Aku hampir tergoda untuk melakukan hal yang lebih jauh kalau saja tidak mendengar pintu kamar mendadak terbuka. Kemudian sosok Johan muncul dengan raut wajah syok.
"Molly!"
Aku mendorong bocah menyebalkan itu kemudian mengatur napasku yang masih berantakan. Sebelum Johan melayangkan pukulan terhadap bocah itu, aku lebih dulu mencegahnya.
"Gue yang minta dia datang ke sini tadi malam," ucapku.
Johan menatapku dan bocah menyebalkan itu bergantian. Kemudian tanpa mengatakan apa-apa berbalik meninggalkan kamarku.
Mengenal Johan selama puluhan tahun baru kali ini aku melihatnya begitu kecewa sekaligus marah. Aku nyaris tidak pernah melihatnya dan pagi itu aku seperti orang yang baru saja melakukan kesalahan besar.
"Mbak Molly, saya minta maaf."
Aku menggeleng pelan. "Lo nggak salah."
"Saya hampir perkosa Mbak kalau laki-laki tadi nggak datang."
"Lo nggak salah karena gue yang terbawa suasana. Sekarang udah siang dan lo harus kerja. Sorry udah bawa lo dalam urusan gue sama Johan," ucapku.
"Saya akan tanggung jawab, Mbak."
"Tanggung jawab untuk apa?"
"Untuk semua hal yang sudah saya lakukan semalam."
Aku terkejut dan buru-buru menyibak selimut. Detik itu aku merasa tolol luar biasa karena mempercayai ucapan bocah menyebalkan itu.
"Nama saya Arsa barangkali kalau Mbak lupa. Kedepannya saya akan ganggu hidup Mbak Molly seperti dulu. Siap-siap jadi orang yang sering saya buat sakit kepala ya, Mbak."
Seharusnya aku tahu berurusan dengan bocah menyebalkan bernama Arsa bukan hal yang mudah. Sekarang aku benar-benar mengalami mimpi buruk di usia tiga puluh tahun.
***