Chapter 41 - isi hati Erina

"bagaimana? Ikan ini cukup besar bukan" ujar ku sambil membawa ikan itu ke sisi danau.

"Ikannya besar. Sekarang kita tinggal bakar saja. Perutku sudah keroncongan!" Ujar Adis sambil memegang erat perutnya.

"Aku tidak ingin kembali kepada mereka bertiga. Aku malu" ujarku yang teringat hal yang sudah terjadi.

"Tenang!! Itu tidak di sengaja" jawab Adis sambil mengajak ku untuk mencari tempat untuk membuat sebuah tenda.

Pada akhirnya kami menemukan sebuah tempat yang bagus. Tempatnya bersih dan di kelilingi oleh pepohonan. Selain itu, air juga berada dekat dengan tenda sehingga itu akan memudahkan untuk kami.

"Tempat ini sangat bagus!" Ujar Adis dengan semangat.

"Yap! Mari kita buat tenda"

**************

Hari mulai malam. Aku dan Adis berhasil membuat sebuah tenda dengan di cahayai oleh api unggun kecil. Tiba-tiba Ginny dan Siestina datang menghampiri kami dengan raut wajah khawatir.

"Kalian datang! Dimana Erina?" Ujarku.

"Justru itu! Kami sedang mencari Erina. Ku kira Erina ada bersama kalian" ujar Ginny dengan Khawatir.

"Ok. Sekarang kalian diam disini! Aku akan mencari Erina. Sendirian!" Aku menyuruh mereka untuk tidak ikut bersama ku. Karena aku rasa itu adalah salahku saat tadi.

Aku mencari-cari Erina sambil berteriak memanggil nama Erina. Namun, tidak ada jawaban satu kali pun dari Erina. Pada akhirnya aku terus mengelilingi tempat itu dan ternyata Erina sedang duduk sambil bersandar di samping pohon. Pada awalnya aku ingin memanggilnya. Namun, ketika aku melihat wajahnya, sepertinya Erina sedang bersedih.

"Apa yang ku lakukan tadi siang itu berlebihan?"

Tapi aku tidak bisa melakukan apapun selain menghampirinya. Setidaknya aku akan menghiburnya.

Aku langsung menghampiri Erina dan begitu jelas bahwa Erina sedang menangis. Ketika aku datang, ia secara panik membersihkan air matanya, seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

"Eh! Arth kenapa kamu disini" ujar Erina sambil terus membersihkan wajahnya.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu" aku menjawabnya dengan nada sangat rendah.

Aku langsung duduk di samping Erina dan ternyata cuacanya cukup bagus, bintang-bintang begitu terlihat sangat jelas dan terang. Dan itu mengingatkan ku atas ulah ku tadi siang.

"Erina! Soal tadi, aku ingin minta maaf. Walaupun itu bukan sepenuhnya salahku, tapi itu memang salah ku" ujar ku memohon sambil menghiburnya. Tapi ternyata itu malah gak lucu.

Mendengar itu, Erina malah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak kok! Tidak ada kaitannya dengan itu. Hanya saja, aku ingin bertemu dengan keluarga ku, ibu dan ayah. Mereka satu-satunya yang ku punya. Dan sekarang aku sadar atas keberadaan mereka. Ternyata kenyataannya aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi" tiba-tiba Erina mulai meneteskan air matanya kembali. Namun, ia masih menutupnya.

Ketika aku melihat Erina yang sedang menahan tangisannya, aku menjadi kaku seakan-akan tidak bisa mengeluarkan satu katapun dari motivasi. "Tidak apa-apa! Keluarkan saja" ujar ku.

Tiba-tiba Erina menangis secara terang-terangan. Erina menangis begitu kencang seakan-akan kesedihan Erina sudah menumpuk begitu banyak sehingga tidak bisa tertahankan.

Dengan bodohnya aku malah diam di sampingnya tanpa satu katapun. Tiba-tiba Erina menangis sambil memelukku, wajahnya di sembunyikan di dadaku dan aku mencoba untuk mengelus-elus rambutnya sambil melihat bintang-bintang dan bulan purnama.

*************

"Ngomong-ngomong, Arth kemana?" Ujar Siestina.

"Aku tidak tahu! Kita harus menunggunya! Karena Arth telah menyuruh kita untuk diam di sini" ujar Ginny yang khawatir.

"Apa maksudmu untuk diam? Sampai kapan kita menunggu? Ikan ini sebentar lagi akan dingin" ujar Adis dengan nada tinggi sambil memegang perutnya yang keroncongan.

*************

Pada akhirnya Erina berhenti menangis karena kelelahan dan Erina bersandar pada ku sambil melihat bulan dan bintang bersama ku.

"Erina! Aku ingin minta maaf tentang yang tadi saat di danau" aku memohon kepadanya.

"Tidak kok! Kamu tidak bersalah. Justru aku malah" tiba-tiba Erina berhenti mengeluarkan kata-katanya.

"Apa?" Ujar ku dengan penasaran.

"Tidak! Tidak apa-apa kok" jawab Erina sambil tersenyum.

Angin menghembuskan aura dinginnya malam dan menjatuhkan dedaunan pepohonan. Aku dan Erina melihat ke atas langit, dimana kegelapan di terangi oleh satu bulan dan bintang-bintang.

Tiba-tiba Erina tidak bersandar lagi pada ku. Aku langsung menoleh padanya dan Erina juga menoleh kepada ku sehingga empat mata saling bertatapan dan sepertinya Erina ingin memohon sesuatu dari ku.

"Arth! Aku ingin memohon padamu" ujar Erina.

"Aku akan berusaha mewujudkannya" jawab ku sambil mendengarkan semua perkataan yang akan muncul dari Erina.

"Kamu sudah tau kan? Bahwa aku sudah tidak punya siapa pun lagi. Jadi, aku memohon kepada mu Arth untuk bisa menggantikan posisi mereka dan menjadi orang yang berarti bagiku. Jadilah bintang yang menemani kesendiriannya bulan. Jika keduanya bercahaya, maka dunia juga akan ikut terang" ujar Erina dengan permohonan besar miliknya.

"Aku akan berusaha. Kamu juga sudah memiliki orang yang akan membantumu aku, Adis, Ginny, Siestina dan Hiuga. Itu adalah orang-orang yang berarti bagi mu" aku mencoba untuk mengerti isi hatinya.

"Aku mengerti tentang itu. Mereka adalah teman terbaik bagiku, akan tetapi seorang teman tidak bisa menggantikan posisi keluarga dan sebaliknya"

"Terus? Aku harus bagaimana untuk memenuhi permohonan mu?"

"Aku ingin kamu menjadi bagian dari keluarga ku" jawab Erina sambil melihat ke bawah dengan wajah yang memerah.

"Maksud mu? aku akan menjadi kakak mu? Kalau itu hal yang mudah" ujar ku.

"Tidak! Itu sama halnya dengan sandiwara karena tidak ada hubungan darah dari kita berdua. Sebenarnya aku ingin kita berdua saling berhubungan. Eh! Bukan! Bukan! Aku ingin kita berhubungan berkaitan dengan keluarga" ujar Erina sambil gugup.

Mendengar itu, aku mengerti apa yang di maksudkan oleh Erina dan aku tersenyum sambil menatapnya.

"Biarkan waktu yang menjawabnya" ujar ku.

Mendengar semua perkataan ku tiba-tiba alis Erina naik. Aku tidak tahu apa yang di rasakannya.

Tiba-tiba perut Erina berbunyi keroncongan.

"Eh kamu lapar? Aku ingat! Bukankah aku menangkap ikan saat tadi siang. Ayo Erina" ujar ku sambil menarik tangan Erina.

"Dia menggenggam tangan ku" ujar Erina di dalam isi hatinya.

"Hehe. Sebenarnya aku juga menyukai mu Erina! Seperti yang ku katakan ketika aku bertemu pertama kalinya dengan mu. Aku menyebutmu malaikat di pagi hari" ujar ku di dalam hati.

Tiba-tiba Erina merasa aneh karena melihat Arth yang tersenyum-senyum sendiri.