-Terjebak Menjadi Simpanan-
Nita bergegas mengambil tas kecilnya ketika pekerjaannya selesai. Restoran sudah tutup sejak lima belas menit yang lalu.
Ia sudah meminta izin pada atasannya untuk pulang terlebih dahulu tanpa membantu bersih-bersih restoran sebelum tutup.
"Mau menjenguk Kirana?" tanya salah satu rekan pelayan restoran.
Nita mengangguk. Yang lainnya menganggap ketidakhadiran Kirana karena sakit. Padahal tidak sama sekali.
"Sampaikan salam kami padanya. Kami mungkin tidak bisa menjenguknya."
Nita mengangguk lagi. Wanita itu tersenyum tipis sambil melirik ponselnya. Tidak ada satu notifikasi pun dari Kirana.
Temannya itu benar-benar menutup diri semenjak pertemuan dengan keluarga Rafael malam itu.
Nita menghela nafas pelan. Menolah lagi keraha rekannya yang tengah bersih-bersih.
"Maaf ya Mbak, Nita gak bisa bantu-bantu. Takut kemalaman soalnya," ucapnya pelan.
"Kamu ini, sudah sana. Kami aman-aman saja di sini. Lagi pula cuciannya tidak terlalu banyak kok."
Nita semakin tidak nyaman. Wanita itu hampir kembali membuka suaranya jika seseorang tidak memanggilnya.
Ia menoleh. Matanya membulat beberapa saat ketika menatap sang bos yang sudah berdiri tidak jauh dari mereka.
"Bisa titip ini ke Kirana." Rian berseru seraya menyerahkan bingkisan yang penuh dengan buah dan obat herbal.
Semuanya yang berdiri di sana langsung membeku. Mereka menatap tanpa berkedip. Pasalnya bos mereka itu tidak pernah perhatian sama sekali pada karyawannya. Jangankan perhatian bahkan bos mereka itu cenderung dingin namun tegas.
Yang paling parah bos mereka itu sering marah-marah jika karyawannya melakukan kesalahan.
"Errr- an-ano, baik Pa," ucap Nita terbata. Ia bahkan tidak bisa menghilangkan rasa terkejutnya.
"Sampaikan salahku. Jangan selalu sakit, nanti ada yang repot," lanjutnya.
Setelah mengatakan itu Rian langsung meninggalkan karyawannya yang kebingungan dengan sikap si bos.
Tidak ada yang berani bicara lagi. Walau semuanya berpikir sama tentang hubungan apa antara si bos dengan Kirana.
Bahkan setelah pembicaraan itu Nita langsung bergegas menuju halte dan mengambil bis terakhir. Wanita itu sudah berniat untuk bermalam di rumah Kirana.
*****
Sesampainya di rumah Kirana. Nita mengetuk pintu rumahnya. Tidak berlangsung lama decitan pintu terdengar. Menampilkan sosok Nina, kakaknya Kirana yang menyapanya dengan membawa nampan berisi piring yang sudah kosong.
"Err ... kak Nina!!" panggil Nita.
Wanita cantik dengan rambut hitam terurai itu tersenyum kecil saat melihat Nita. "Baru sampai?" tanyanya.
Nina menggeser tubuhnya ke samping agar Nita bisa masuk ke dalam rumah.
Nita mengangguk, "Baru dari restoran Kak, baru tutup soalnya."
"Kau bawa bingkisan?"
Nita mengikuti arah pandangan Nina. Wanita itu langsung tersadar jika ia membawa barang titipan sang bos.
"Err, ini bos kami yang memberikannya. Katanya untuk Kirana."
Nina tidak langsung mengambilnya. Wanita itu mengamati beberapa saat sebelum ia menghela nafas pelan.
"Rian selalu seperti ini." Nina mengambil alih bingkisan yang Nita bawa. Manik hitamnya dengan cepat menilai betapa mahalnya bingkisan itu.
"Dia bicara apa lagi?"
"Siapa? Errr bos Rian?" Nita berpikir beberapa saat. "Sepertinya tidak ada. Bos bilang supaya Kirana cepat sembuh biar gak ngerepotin orang."
Nina mengangguk paham, "Mau cari Kirana? Dia sudah mau ditemui, ini dia juga sudah mau makan tadi. Sana gih, temui," saru Nina.
Nita membelalakkan matanya, terdiam beberapa saat seperti mencerna semua yang diinformasikan oleh kakaknya Kirana.
Dua hari sebelumnya, Kirana bahkan menolak menemuinya meski ia selalu datang sehabis pekerjaannya di restoran selesai.
Setelah sadar Nita langsung bergegas.
Nita menghela berat, ia melangkahkan kakinya, menaiki undakan tangga yang menuju ke kamar Kirana. Temannya itu selalu berada di kamar loteng ketika sedang sedih.
Krak …
Nita menggigit bibir bawahnya ketika pintu kamar Kirana bisa ia buka, kepalanya menjulur lebih dahulu untuk memastikan keadaan.
Nita mengamati kondisi kamar temannya yang terlihat rapi, hanya saja terlihat lebih gelap karena jendela dan gordennya dibiarkan tertutup.
"Err … halo, Kirana. Ini aku Nita … emh … boleh masuk?" gumamnya pelan.
"Masuklah …" suara serak itu terdengar.
Nita membuka pintunya, membiarkan cahaya yang lebih banyak untuk masuk ke ruangan itu. Langkahnya pelan, menyusuri lantai kayu yang berdecit.
Diam-diam ia mengamati sosok Kirana yang duduk di atas kasurnya, mengenakan gaun renda dan sweater abu-abu, tangannya saling bertautan, tergenggam kuat. Pandangannya diam, terfokus dan kosong ke arah jendela kaca yang masih ditutupi gorden.
Di atas meja ada sisa-sisa cemilan yang sedikit berserakan. Juga beberapa buku yang dibiarkan terbuka.
Nita menghela berat. Setidaknya Kirana mau makan.
Ia langsung duduk tepat di sebelah Kirana, menepuk bahunya pelan agar empunya menoleh.
"Kau baik-baik saja?" tanya Nita.
Kirana menoleh dengan cepat, bibirnya tersungging kecil di antara guratan kecil di pipi pucatnya. Rambut panjangnya disanggul rapi dengan sedikit menyisakan anak rambut di sini kanan dan kirinya. Kulitnya semakin pucat. Mungkin bobot tubuhnya juga berkurang, terlihat jelas saat urat-urat kecil yang ikut menonjol di jari jemarinya.
"Hm …" guman Kirana rendah.
Nita hanya bisa menghela berat, ia yakin jika semuanya tidak baik-baik saja. Namun ia tetap berusaha terlihat santai dan tersenyum kecil, setidaknya di depan Kirana yang berusaha kembali bangkit dari keadaan yang sempat terpuruk.
Hanya ia yang mengetahui perihal masalah sakit hati yang Kirana rasakan. Bahkan kak Nina yang notaben kakaknya Kirana sendiri tidak tau.
Temannya itu bungkam ketika ditanya tentang masalah yang ia hadapi. Nina hanya mengetahui jika Kirana baru saja putus dengan kekasihnya. Bukan pengkhianatan dan penghinaan yang sebenarnya tengah dialami Kirana.
"Syukurlah …. setidaknya kau masih baik-baik saja setelah dua hari ini."
Nita menarik jari-jemari Kirana, menggenggamnya pelan. "Kau masih sedih?"
Kirana tidak langsung menjawab. Wanita itu hanya menghela nafas berat dan mengeling.
"Jangan terlalu dipikirkan. Laki-laki brengsek seperti Rafael itu tidak pantas untuk kau tangisi. Hidupmu masih panjang Kirana. Jangan terpuruk hanya karena pengkhianatannya."
"Kau berhak mendapatkan yang terbaik," lanjutnya.
Kirana tidak menyangkal. Wanita itu hanya terdiam sambil sesekali melirik Nita.
"Ngomong-ngomong apa ponselmu mati? Kenapa tidak menghubungiku?"
Kirana menghela napas berat. Wanita itu mengusap wajahnya kemudian kembali menatap Nita.
"Kak Nina yang membawanya. Baterainya memang habis."
Kirana sengaja tidak mengisi daya ponselnya selama dua hari belakangan. Ia menghindari Rafael yang mungkin akan menghubunginya.
Nita mengangguk paham. "Mau aku ambilkan?"
Kirana terdiam beberapa saat, berpikir sebelum ia mengangguk memperbolehkan.
Nita bergegas turun dari tempat duduknya. Melangkah cepat keluar dari kamar Kirana.
"Kak Nina," panggilnya.
Nina yang tengah menonton berita di televisi langsung menoleh ke belakang seraya mengangkat alisnya.
Sementara Nita terdiam mematung ketika pandangannya menangkap dengan jelas berita yang tengah berlangsung.
'PERTUNANGAN PUTRA DAN PUTRI DUA KELUARGA BESAR NEGARA INI.'
To be continued....