Ibu guru Lee pun membawa Nian dan Hana ke ruangannya, ruangan di mana Nian sering tidur siang sewaktu dia kecil dulu.
"Duduklah," ucap guru Lee sembari mengambil segelas teh dari atas meja.
"Bu guru, sudah lama aku tak melihat anda, dan anda masih sama seperti dulu."
"Dan kau masih sama saja seperti dulu, masih suka menggoda orangtua sepertiku hahaha," ucap ibu guru Lee, mereka berdua lalu tertawa bersama. Melihat tingkah akrab ibunya itu, membuat Hana sedikit takjub, karena jarang sekali Hana melihat ibunya sesenang ini.
Bu guru Lee lalu melihat ke arah Hana lalu berkata, "Aku dari tadi penasaran, siapa anak kecil cantik yang datang bersamamu ini?"
"Ah, aku sampai lupa memperkenalkan, dia adalah Seung Hana, putriku."
"Putrimu?!" ucap Bu guru Lee setengah terkejut, "maafkan aku karena sedikit terkejut, aku hanya tidak menyangka, kalau kau sekarang memiliki seorang putri yang cantik, matanya mirip sekali dengan kau saat kau masih kecil."
Bu guru Lee tersenyum memandang Hana yang imut, namun senyumannya tak bertahan lama ketika memikirkan masalah yang tengah dia hadapi.
"Bu guru, apa yang terjadi, kenapa tempat ini sepi, kemana anak-anak yang lain?" tanya Nian.
Nampak keraguan sesaat di wajah bu guru Lee, dia lalu menaruh cangkir teh yang dia pegang lalu menghembuskan nafas sebelum mulai bercerita. "Mereka semua ada di dalam sedang belajar ... tapi, kurasa itu hanya sampai bulan depan saja," ucap bu guru Lee terlihat murung.
"Apa maksud ibu?"
"Sekolah Langit, sekolah yang berdiri di sebelah panti ini, telah membeli tanah ini dari si pemilik tanah, dan bulan depan, panti ini akan diubah menjadi kantin baru oleh mereka."
"Bukannya pemilik tanah adalah orang yang baik!? Kenapa dia menyerahkannya begitu saja !?"
Bu guru Lee menghela nafasnya lalu berkata, "Nian, pemilik tanah yang lama telah meninggal. Tanah ini sekarang menjadi milik anaknya."
Benar juga, beberapa tahun telah berlalu, setidaknya pasti ada hal yang berubah di sekitar sini. Aku hanya tak menyangka, kalau pemilik tanah yang sangat menyayangi anak-anak yatim di sini, telah meninggal.
"Lalu, bagaimana dengan nasib anak-anak nanti?"
Saat mereka sedang berbicara, pintu tiba-tiba terbuka, seorang anak laki-laki seumuran Hana berambut hitam masuk sembari membawa daftar absen. "Bu guru Lee, semua sudah diabsen."
"Terima kasih," ucap Bu guru Lee. "Ah benar juga, karena sebentar lagi istirahat, Feng, kenapa kau tak membawa Hana untuk pergi berkenalan dan bermain dengan yang lain."
"Ah, ide yang bagus," ucap Nian bersemangat.
Ini adalah kesempatan bagus untuk Hana mendapatkan teman baru lagi.
"Kalau begitu Mami, aku pergi dulu !" ucap Hana sembari menarik tangan Feng dengan semangat, Feng yang agak kaku tak bisa mengikuti semangat Hana yang selalu memuncak.
"Hana, ingat jangan membuat masalah !"
"Baik Mami."
"Sungguh lega melihat anak-anak selalu bersemangat," ucap bu guru Lee tersenyum. Namun, bu guru Lee segera kembali murung, "Tapi, saat memikirkan mereka akan terlantar membuat hatiku terasa seperti disayat."
"Apa maksud bu guru, bukankah uang donasi cukup untuk menyewa bangunan baru di tempat lain?"
Bu guru Lee menggelengkan kepalanya. "Uang donasi sudah berhenti sejak sebulan yang lalu, dan simpanan kas panti hanya tersisa untuk bulan ini saja. jika bukan karena bantuan dana dari Ivan, mungkin anak-anak di panti takkan bisa makan sampai hari ini."
Ivan ... kau belum berubah jika menyangkut soal panti.
"Aku sebagai orangtua disini merasa malu karena tak bisa melakukan apa-apa, bahkan aku malu meminta kepada Ivan lagi. Tapi demi anak-anak itu, aku rela melakukan apapun bahkan jika harus membuang harga diriku, oleh karena itu Nian, bisakah kau meminjamkan kami uang, tak perlu banyak, setidaknya cukup untuk menutupi biaya makan anak-anak yang lain," bu guru Lee pun mulai menangis, dia lalu menundukan kepalanya pada Nian, air matanya kini jatuh dengan deras di antara pipinya yang sudah tua itu.
Aku mengerti betul perasaan bu guru Lee, menjadi satu-satunya orang yang mengurus panti asuhan ini, pasti sangat sulit baginya, hingga sampai dititik dimana dia harus menundukan kepalanya kepada muridnya sendiri, ini sungguh menyayat hatiku.
"Bu guru Lee, kumohon angkat kepala bu guru. Bu guru tak perlu sampai seperti itu, sebagai seorang murid, sudah menjadi kewajiban bagiku untuk membantu semua masalah yang sedang guru hadapi."
"Hahh, guru adalah sosok pahlawan tanpa tanda jasa, kami mengajar kepada murid-murid kami tanpa mengharapkan balasan. Oleh karena itu, saat meminta seperti ini membuatku menjadi sangat malu, tapi... demi keberlangsungan hidup anak-anak itu, aku akan membuang jauh-jauh harga diriku."
"Bu guru Lee, aku pasti akan membantumu, jangan khawatir, kita pasti akan bisa keluar dari situasi ini." Nian mencoba untuk menenangkan Bu guru Lee yang masih menangis.
"Tapi kau tak perlu memaksakan dirimu Nian, karena sekarang kau juga adalah seorang ibu, kau juga pasti membutuhkan banyak uang."
"Jangan khawatir Bu guru, sekarang aku sudah bekerja, dan tabunganku masih cukup banyak bahkan jika digunakan untuk membantu panti ini."
Uang bukanlah masalah untukku, karena kekayaanku di Klan sangatlah besar. Yang jadi masalah adalah, uang hanya solusi sementara bagi panti ini, saat uang itu habis, panti ini akan mengalami hal yang sama lagi. Aku harus memikirkan solusi jangka panjang.
"Ngomong-ngomong Nian, apa kau datang ke sini karena ingin mendaftarkan putrimu ke sekolah Langit yang ada di sebelah?"
"Dari mana bu guru tau?"
"Kalau bukan karena alasan itu, kau pasti telah mengunjungiku sejak lama, bukan?"
"Bu guru benar, aku ke sini ingin mendaftarkan putriku sekolah—" Nian tiba-tiba saja berdiri dari duduknya, dia mendapatkan sebuah ide cemerlang untuk bisa membuat panti asuhan ini bertahan.
"Itu dia !" teriak Nian, membuat jantung bu guru Lee yang sudah tua sedikit terkejut.
"Kau ini, masih saja suka berteriak."
"Bu guru, aku sudah menemukan solusinya. Kalau begitu, aku pamit dulu, aku harus segera menjalankan rencanaku, sampai jumpa bu guru !" ucap Nian pergi tanpa memberikan penjelasan apa-apa kepada gurunya itu. Meski begitu, bu guru Lee hanya bisa memandangi Nian yang pergi sembari tersenyum.
Waktu memang mengerikan, yang kecil menjadi muda, dan yang tua menjadi lupa... lupa akan indahnya waktu yang pernah dihabiskan bersama yang muda. Setidaknya, yang tua sekarang hanya bisa menjaga senyuman untuk mereka yang kecil dan muda, hingga sampai di waktu di mana merekalah yang harus menjaganya sendiri.
.....
Nian buru-buru keluar dari ruangan bu guru Lee, lalu keluar ke halaman depan untuk mencari Hana. "Hana !" teriak Nian.
Dia lega melihat Hana yang tengah bermain gembira dengan yang lain, namun, wajah leganya seketika berubah ketika dia melihat sosok lain tengah berdiri menatapnya di bawah pohon apel yang rindang. Sosok yang sudah tak asing lagi baginya, rambutnya yang hitam yang menyala dan senyumannya yang khas, sudah terukir jelas di pikiran Nian, sosok itu tidak lain ialah, Ivan. Berdiri tepat di bawah pohon apel, persis seperti saat mereka pertama kali bertemu.