"Tetapi kamu pengusaha terkenal, bahkan sering muncul di televisi," kata Nadira sambil menaikan wajah menikmati malam berbintang dan angin sejuk.
"Apa kamu masih sempat nonton televisi dan melihatku?"
"Hehe, para perawat heboh saat kamu masuk rumah sakit."
"Ya, seperti di televisi mungkin aku terkenal, tetapi hidup dengan kekayaan juga tidak mudah."
"He, e. Aku tahu. Ada surga ada neraka, ada orang baik ada pula orang munafik. Seperti itulah dunia."
"Kamu benar, orang terdekat pun bisa dengan mudahnya menjadi musuh dibalik selimut. Saat ini aku pasrah akan kehidupanku."
Nadira menatapnya, "Kenapa tiba-tiba menyerah apa Disya berkhianat?" Pertanyaan Nadira membuat Radit tidak terima.
"Jangan asal bicara kamu soal Disya!" Radit sampai bangun dan kesal. Dia menatap tajam Nadira. "Kamu tidak mengenal Disya jadi jangan menuduhnya tanpa alasan!"
"Kalau cinta buta ya seperti itu," gumam Nadira lalu bangun.
"Kamu bilang apa?" Radit menatapnya sengit.
"Tidak ... huft, aku minta maaf. Aku merasa tidak enak. Jadi apa yang perlu aku bantu."
"Ah ... jujur saja sekarang ini aku bingung akan meminta bantuan seperti apa, karena Oma baru saja meninggal. Awalnya aku ingin oma dan Disya tahu kalau aku masih hidup. Tapi setelah oma meninggal rasanya pun, aku mulai berfikiran kalau aku tidak akan hidup lagi." Radit kembali duduk.
"Kamu tidak ingin Disya tahu tentangmu?" tanya Nadira sambil melipat kedua tangan di depan perut.
"Lihatlah orang-orang memperhatikanmu yang seperti bicara sendiri."
Nadira menoleh dan melihat orang-orang itu memang sedang membicarakan nya. "Hehe, biarlah."
Nadira merespon santai membuat Radit mengriyitkan dahi dan menatap dokter muda itu. "Kamu belum memberikan jawaban kamu tidak ingin Disya tahu tentangmu?" tanya Nadira lagi lalu menatap Radit.
"Aku hanya ingin Disya tahu kalau Rayyan bukan orang baik."
"Rayyan? Jadi kamu masih bersahabat dengan dia?" tanya Nadira terkejut, Radit menatapnya dan Nadira memutar bola matanya. "Sungguh konyol."
"Apa kamu bilang?!" Radit menatap tajam Nadira.
"Konyol! Kamu itu, dulu. Sangat keren, banyak gadis yang tertarik kepadamu banyak teman laki-laki yang juga ingin akrab denganmu. Tetapi, ya ada kelebihan dan kekurangan. Kekurangannya kamu angkuh. Karena apa?! Karena orang disekitarmu. Kamu berteman dengan orang yang salah."
"Jadi menurutmu aku bodoh dalam memilih teman?"
tanya Radit lalu berdiri di depan Nadira. Keduanya saling dan Nadira mengangguk.
"Wah ...." Radit terlihat memikirkan dirinya.
"Memilih seseorang teman yang tidak membawa ke arah positif seperti halnya mencintai seseorang juga begitu itu adalah terbodoh. Setelah kamu mempermalukan ke waktu itu aku sadar, jatuh cinta kepadamu itu adalah kerugian terbesarku! Aku sampai tidak terkendali dan tidak punya harga diri. Kesalahan besarku. Namun aku berterima kasih kepadaNya, lantaran aku bucin kepadamu aku sadar, aku harus diet untuk kesehatanku, dan banyak hikmah lainnya."
"Sudah cukup ceramahmu! Sekarang, apa pendapatmu tentang Rayyan?" tanya Radit menatap Nadira, Nadira tertawa remeh.
"Jika aku bicara kamu juga tidak akan percaya kepadaku. Jadi percuma, yang terpenting sekarang kamu tahu kebusukan Rayyan. Hikmah dari kamu koma itu ada, dan pasti banyak, jadi tunggu saja hikmah lainnya. Emmm Jadi sekarang hutangku adalah menemui Disya dan mengatakan kalau Disya harus menjauhi Rayyan?" tanya Nadira.
"Iya. Tapi aku ingin tahu, apa hal yang tidak akan membuat aku percaya itu?"
"Aku tidak mau dituduh sabagai tukang fitnah. Jadi sabar saja kamu pasti akan tahu," kata Nadira yang lalu melangkah dan Radit masih memikirkan kata-kata Nadira.
"Oh ya, besok aku akan mencoba menemui Disya. Saat dia mengunjungimu dan aku akan mengatakan seperti yang kamu minta," kata Nadira lalu pergi. Radit menatap kepergian Nadira dengan rasa penasaran.
"Apa sebenarnya aku memang cinta buta? Sering kali aku melihat Rayyan dan Disya bermesraan. Ah, tidak mungkin, Disya menganggap Rayyan seorang kakak. Jadi Radit, jangan berfikiran buruk kepada Disya. Di sini yang berkhianat adalah Rayan dan Disya tidak tahu akan hal itu," gumam Radit terus meyakinkan diri jika sang kekasih tidak akan mengkhianatinya.
Rasa percaya kepada Disya sedikit berkurang, namun sangking takutnya Radit terus meyakinkan diri. Dia sangat takut jika memang benar di khianati, mungkin bahkan jika memang dia dikhianati dia akan tetap pura-pura percaya kepada sang kekasih.
****
Embun pagi baru saja menguap, mentari mulai beranjak dan menunjukan sinarnya. Radit memandangi raganya yang terkapar tidak berdaya dengan segala pelaratan rumah sakit untuk menyambung hidupnya.
"Sudah lima hari, Disya tidak menjengukku. Bagaimana kabarnya? Ah, jadi rindu setengah mati." Radit berdiri dan panjang umur. Disya datang lalu memeluk Radit.
"Maafkan aku ..."
"Kenapa kamu minta maaf? Kamu tidak bersalah sayang, jangan berfikiran untuk pergi dariku. Disya bertahanlah, bertahanlah. Aku yang harusnya meminta maaf." Radit terus berkata. Disya menatap Radit penuh arti.
Radit segera mencari Nadira. Radit kesana kemari namun Nadira masih berada di ruang operasi. Radit tidak mungkin egois dan meminta Nadira untuk menemui Disya. Radit menunggu Nadira di depan ruang operasi.
Setelah delapan belas menit akhirnya Nadira keluar. "Kamu_"
"Allahu Akbar!"
Satu kalimat Radit itu membuat Nadira sangat terkejut. Nadira memegang dadanya.
"Maaf. Sekarang Disya ada di ruanganku ayo kita segera ke sana."
Nadira yang masih memegang tempat jantungnya mengangguk.
"Dia tadi minta maaf, padahal dia tidak bersalah. Aku harus memberi pengertian agar dia mau menungguku."
'Orang bucin memang tidak bisa dicegah. Ah ... terserah, yang terpenting setelah aku mengatakan kepada Disya, aku dan Radit tidak memiliki hutang lagi dan kami tidak punya urusan satu sama lain. Masalah cepat clear!' batin Nadira.
"Aku sangat takut dia meninggalkanku. Jika memang itu terjadi lebih baik aku meninggal saja," gumam Radit.
"Stop. Cemen banget sih!" seru Nadira menjadi pusat perhatian orang di sekitar setelah berbicara sendiri.
"Dokter Nadira kenapa?" tanya suster.
"Emmm, kan aku sedang berbicara," kata Dira menunjukan headsetnya.
"Aku kira marah-marah sendiri."
Nadira tersenyum lalu pergi, Radit cenge-ngesan.
"Kalau kamu masih menertawaiku aku tidak akan berbicara dengan Disya!" ancam Nadira dengan menatap tajam kepada Radit. Radit tetap menahan tawa.
Nadira mengalihkan perhatian orang-orang di sekitarnya seperti orang yang sedang berbicara di telepon dengan menggunakan headset.
Nadira masuk ke ruangan kamar inap Radit. Nadira terkejut setelah alat pernapasan Radit lepas. Nadira segera memasang alat pernapasan lagi.
"Huft ... huft ... aku kira akan kenyap. Tadi setelah menertawaimu aku seperti di tarik dengan sangat kecang. Siapa yang melakukan itu kepadaku? Ah ... pasti Rayyan lagi."
"Aku akan mengecek CCTV. Kamu bilang Disya ...." Nadira tidak melanjutkan ucapannya.
"Jangan macam-macam kamu! Awas saja kalau kamu mengatakan yang tidak-tidak tentang Disya."
"Ya, ya ... bucin."