"Astagfirullah ..." Rif'an berbalik arah ke aku, dan merunduk lebih takut dari ku. Rif'an membaca ayat kursi sangat cepat.
"Tu ... kan merinding deh ..." Aku juga tidak berani melihat ke arah gadis itu.
"Heh kalian ngapain!" teriak penjaga taman. Aku dan Rif'an saling mengangguk, kami lari bersaman kearah yang sama dan petugas itu masih mengejar kami.
Aku dan Rif'an ngos-ngosan. "Heh eh ... Apa penjaga taman masih mengejar?" tanya ku tidak mau menoleh dan mengatur napas.
"Tidak tapi Afkarina." ucap Rif'an belum selesai ku kabur duluan, Rif'an mengejarku.
"Ini semakin horor," kata ku sambil terus berlari.
"Kak berhenti." pinta Afkarina menghadang aku. aku dan Rif'an merasa takut.
"Tolong aku kak ..." pinta Afkarina dengan suara penuh iba, aku sadar dan mendorong kasar Rif'an, Rif'an terjatuh dan telapak tanganku merasakan basah dan bau tidak sedap.
"Ya Allah ... kejamnya kau." Rif'an berdiri dan mengembus bau itu. Benar saja itu kotoran burung, "Iiu..." mengusap kotoran itu di lengan aku.
"Ih ... kamu tidak ada hati apa?" rengek ku manja. Melihat pancuran di taman aku dan Rif'an membersihkan kotoran itu, namun aku kembali didatangi petugas, kami kembali berlari lagi.
"Kita lari ke sana, beli es kelapa muda," ajak Rif'an. aku berlari.
"Hu huhuh. Kenapa d_ia mengikuti kita," tanya ku, Rif'an hanya menaikan pundak yang berarti entahlah.
Kami sampai dikedai es kelapa muda. Aku dan Rif'an duduk. "Dua mas." pinta Rif'an.
Aku ingin menoleh, tapi juga takut. Akhirnya aku melihat Afkarina 15 langkah dariku. Afkarina tidak mendekat wajahnya yang murung membuat aku ikut sedih.
"Rif kasian ..." ujar ku menarik secuil jaket Rif'an.
"Apa dia juga ingin Es kelapa muda?" pertanyaan Rif'an membuat aku melotot. "Aku hanya bercanda, apa dia ingin menyampaikan sesuatu." tebak Rif'an.
"Mungkin. Perasaanku mengatakan kita akan lebih dalam lagi memasuki petuangan waktu ini," gumam ku.
"Semoga aku bisa menemanimu," ujar Rif'an melambaikan tangan memanggil Afkarina. Afkarina tersenyum.
"Kamu kenapa Mas?" tanya penjual Es.
"Tidak." Rif'an menggaruk kepala.
Aku mengaduk es agar rata. "Aku merasa dia teman gaib dari dua bocah yang hadir kemarin deh," ucap ku memperhatikan Afkarina yang duduk merana di pinggiran trotoar.
"Sejenis apa dia?" tanya Rif'an lalu minum.
"Jin." jawabku, pelan namun membuat Rif'an tersedak.
"Huk, huk, huk. Ehem. Jin juga butuh sekolah ya, kenapa aku baru sadar sekarang. Kalau dia bukan manusia," kata Rif'an kembali minum.
"Apa kita akan menampungnya?" tanya ku, membuat Rif'an tersedak lagi. Aku menepuk keras punggung Rif'an.
"Dia bisa tidur di manapun. Kita bantu saja apa. Dan apa alasan yang sebenarnya hingga membuat dia sampai mengikuti kita. Apa yang dia harapkan dari kita?" Rif'an mulai berpikir.
"Mana aku tau kalau tidak tanya," jawab ku, sambil menikmati es lagi.
"Jujur saja Rif aku lelah banget, capek tau hidup seperti ini. Massa usiaku akan aku habiskan dengan menghitung waktu dan mencari jawaban yang benar dari angka-angka ini. Ini semua membuat aku tidak bisa melanjutkan cita-cita. Bagaimana aku bisa mendapat uang untuk hidupku yang berlanjut. Aku tau rejeki dan jodoh itu sudah ditulis oleh sang Ilahi. Namun ..., jika aku aneh seperti ini apa akan ada pria yang mencintaiku dan mendampingiku. Dalam keanehan ini. Ah ... apa kamu nanti akan segera menikah? Dan meninggalkanku," tanya ku serius.
"Mungkin," jawaban ssingkat dari Rif'an.
"Ih kamu jahat. Jangan dulu ya, plis," pintaku memohon sambil mengerutkan kening.
"Makanya menikahlah denganku," ucapan Rif'an mengejutkan hati, namun itu kuanggap kekonyolan oleh ku.
"He hehe, sudah ah, kita itu saudara, aku akan bertanya pada Afkarina," jelas ku lalu berdiri.
"Heh bayar," tagih Rif'an.
"Kamu kemarin janji tlaktir," tegur ku, Rif'an membuang napas.
"Pergi sana, nanti aku susul." titah Rif'an. Aku melangkah dan duduk di samping Afkarina.
"E ... sebenarnya kamu siapa? Dan kenapa mengikutiku?" Aku sudah berani, karena Gadis itu sangat mirip dengan manusia.
"Aku teman Qoni' Tutus dan Deni tiga anak dari Desa kecil di Surabaya yang meninggal pada tahun 2015," jelasnya.
"Qoni', Tutus dan Deni," aku mengingat ketiga nama Itu. "Yang tenggelam kan?"
"Kakak tau?" tanya Afkarina. Aku mengangguk pelan.
"Sangat tau, karena Kakek dari Qoni' memiliki Ilmu, dan sudah sangat terkenal di kotanya."
"Iya, kematian mereka sangat misterius. Dan aku juga sebabnya. Sama seperti dua anak dari gelandangan yang kemarin sore kakak tanyakan. Aku menggiring mereka dan mereka tenggelam. Lalu meninggal. Dan aku merasa bersalah, apa aku sudah membunuh?" Afkarina meneteskan air mata penuh sesal.
"Kalau ajal diambil itu memang sudah urusan sang Ilahi, Jika sudah waktunya ya dengan cara apapun bisa terjadi. namun caranya berbeda-beda, membuat orang berfikiran karna tumballah atau karna apalah. Karna tiada kekuatan yang melebihi kekuatanNya. Jika kamu memyesal jangan melakukan itu lagi. Dan maaf, aku tidak bisa hidup denganmu."
"Baik kak, namun kapan-kapan aku boleh meminta sesuatu ya." pinta Afkarina, aku mengangguk, Afkarina pergi.
'Sangat menyeramkan.' batin ku lalu meringkuk tubuh.
***
"Maafkan aku yang mengganggumu," kata Radit menatap Nadira.
"Aku sudah terbiasa. Pernah saat awal aku magang di rumah sakit, waktu itu muncul angka 486, dan kamar 221 "Delapan menit lebih enam detik, kamar rumah sakit 221," gumamku.
Langkahku cepat menelusuri koridor rumah sakit, memasuki beberapa lorong, dan ia menemukan pemandangan yang mengherankan, di sana berdiri empat orang dan Dokter marah karena pertengkaran mereka. Aku mendekat, lalu bertanya kepada Suster yang berpas-pasan.
"Suster tunggu," aku menarik lengan suster itu.
"Iya ada apa?" tanya Suster.
"Apa yang terjadi di sana? Sampai Dokter marah sampai seperti itu?" tanyaku.
"Anak suami istri yang bercerai di sana sedang sekarat, dan kedua orang tuanya, malah membahas pernikahannya masing-masing," jelas Suster.
"Oke makasis Sus," ucap ku, Suster pergi.
"Apa sebenarnya petunjuk itu? Apa aku harus menasehati mereka, siapa aku? Pastilah mereka tidak akan mendengarkanku."
"Mereka saling egois tidak ingat saat mereka menginginkan anak setelah melahirkan anak, mereka malah saling bertengkar, Ya Allah ..."
gumam seorang nenek berjalan mendekat ke mereka.
"Nenek tunggu, mau duduk sebentar sama saya disini?" ajak ku, Nenek itu mengangguk.
"Ada apa Nak ..."
"Begini ada sesuatu buruk yang akan terjadi, tapi saya belum tau apa? Adik di dalam sana akan kritis, dan ... MasyaAllah bagaimana jelasinnya," kataku bingung sendiri.
"Andai kedua orang tuanya mau mengalah dan berbaikan, pasti cucuku baik-baik saja, cucuku, sangat menderita dia trouma dengan pertengkaran ayah ibunya, saat seperti ini pun mereka tidak mau berbaikan. Yang diinginkan anak itu adalah kedua orang tuanya baik-baik saja, namun apa daya aku pun tidak bisa menasehati Ayah yaitu anakku sendiri."
Nging ...
Suara monitor kematian berbunyi, suara tangis memenuhi ruangan itu. aku terkejut syok lalu berlari, Nenek itu bergegas.
"Mbak, Mas, yang kedua orang tuanya, bersediakah kalian baikkan sebelum dia pergi, bicara dengan baik kepada Anak kalian. Dia ingin kalian akur, jadi tolong temui," pinta ku, lalu menghapus air matanya.
Kedua orang tua kandung lari masuk ke dalam ruangan. "Sany ... Mami sama Papi ada ... Untukmu, Sany ... Bangun, maafkan Mami," wanita itu meronta dan mengecupi jasad putranya.
"Ayah juga minta maaf, Sany ..."
"Kalian ini tidak tau malu, lihat surat Sany, baca baik-baik," ujar Neneknya sambil selarik kertas, lalu membacakan.
[Dulu aku anak yang di inginkan, namun karena pertengkaran aku sering tidak di anggap, ya Allah cabut nyawaku, jika dengan perginya aku kedua orang tuaku bisa baikan, aku minta pergi saja. Aku takut mendengar Mami selalu membelaku, karena harta gono gini perceraian. Mami Papi. Baikan ya ...]
****
Air mata Nadira menetes.
"Jangan menangis, aku tidak bisa mengambilkan tisu Hampir sama dengan kisah Zifa."
"Oh ya. Keadaan Zifa sudah membaik, dia sudah siuman."
"Syukurlah, lalu apa dia bisa melihatku?"
"Aku tidak bisa memastikan."