"Benarkah itu Ditia saudaraku?" gumam Radit yang lalu mendekat. Radit semakin mendekat dan tiba-tiba Ditia pingsan, teman-teman Ditia segera membawa saudara Radit itu ke sofa panjang. Ditia bangun sambil memijat keningnya.
Ditia membuka mata. "Aku ada di tubuh Ditia?" gumam kecil Radit.
"Apa Ditia ada di sini?" Suara itu mengundang perhatian. Radit yang ada di tubuh Ditia menatap tajam orang yang menyebut nama sang adik.
'Maafkan aku telah merasukimu Ditia, maafkan juga jika nanti aku balas dendam dengan mengunakan tubuhmu,' batin Radit.
"Ditia, kamu kenapa?"
Suara itu milik Rayyan yang langsung duduk di samping Ditia. Radit keluar dari tubuh Ditia agar tahu bagaimana sikap Ditia kepada Rayyan.
Ditia memijat keningnya lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Ditia?"
"Aku baik-baik saja Ray," jawab Ditia namun seperti orang bingung.
"Apa yang sebenarnya terjadi belasan tahun lalu?" tanya Radit sangat penasaran. Rayyan membawa Ditia keluar dari diskotik itu. Radit mengikuti dan mereka masuk ke mobil.
"Ray, aku senang mendengar Oma sudah meninggal, karena Oma tidak peduli kepada aku. Lalu bagaimana dengan keadaan Radit?" tanya Ditia yang tidak tahu kalau Radit mengikutinya.
"Gila, dia tahu kalau aku koma? Ah ... apa Ditia juga bekerjasama dengan Rayyan?" gumam si ruh Radit.
"Dengan teganya mereka tidak mencariku, dan tidak ingin tahu keadaan ku."
"Makadari itu Ditia, aku juga tidak tahu alasan keluarga Radit, yang terpenting keluargamu sama sekali tidak peduli kepadamu. dan aku rasa kamu perlu balas dendam akan hal itu."
"Dasar provokator!" seru Radit sambil mengingat kecelakaan sang adik. "Kami sudah mencari Ditia, dan menemukan jasad yang tidak kami kenali karena wajahnya rusak parah, kami semua meyakini bahwa itu Ditia setelah mendapatkan hasil forensik yang menyatakan itu Ditia, karena hasil tes DNA memang menunjukkan Ditia juga. Huft ... apakah datanya dipalsukan?" Radit terus bersuara dengan santai karena dua pria yang duduk di jok depan tidak dapat mendengarnya.
"Bagaimana? Kamu setuju untuk balas dendam?" tanya Rayyan kepada Ditia.
"Aku mengenalmu sudah belasan tahun Ray, aku juga tahu ambisi mu. Sebagai tanda terima kasih, karena keluargamu sudah menampung ku, aku akan melakukannya. Apa yang kamu minta aku akan melakukan, asal jangan menyuruhku untuk membunuh Radit. Walaupun Radit sangat tega dan mencampakkan ku, aku tidak akan tega membunuhnya."
"Sepertinya kamu sudah nyaman dengan kehidupannya sekarang?" tanya Rayyan sambil tersenyum penuh maksud.
"Tentu, aku mendapatkan uang, lalu menghabiskan berfoya-foya, aku lalukan yang aku sukai karena hidup cuma satu kali. bukankah kamu juga sudah bermain-main dengan mencintai Disya itu" jawab Ditia sangat ringan.
"Hehehe, kamu benar."
"Dan juga bermain dengan wanita yang lain? Hehehe keren."
Mendengar itu Radit tahu kalau Rayyan tidak akan mungkin setia kepada Disya.
"Ditia, jadi bagaimana kamu siap menjadi pengusaha sekarang?"
"Bagaimana aku bisa menjadi Radit? Itu bukan duniaku. Lagian semua juga tahu kalau Radit sedang koma."
"Itu masalah kecil. Aku akan menukar identitas kalian. Kamu jadi Radit dan Ditia menjadi kamu. Emmm, kalau masalah pekerjaan serahkan kepadaku. Aku akan membantumu."
"Ah kamu, sebenarnya aku yang membantumu bukan kamu yang membantuku."
"Ditia, apa kamu benar-benar tidak ingin memiliki kekayaan Radit?" tanya Rayyan menoleh ke Ditia.
"Kekayaan melimpah namun musuh di mana-mana. Contohnya saja kamu yang sahabatnya malah musuhnya."
Rayyan terlihat tidak suka dengan perkataan Ditia walaupun kenyataannya memang dia adalah musuh Radit. Rayyan lalu menghela napas.
"Yang terpenting aku akan membantu sebagai tanda terima kasih karena ayahmu sudah merawatku. Dari kecil sampai sekarang. Aku juga berterima kasih banyak kepadamu Ray."
Mendengar Ditia, Radit berfikir.
"Ayah Rayyan adalah seorang perawat di rumah sakit tempat kerja Nadira. Mungkin aku bisa mendapat info dari Nadira walau kejadiannya sudah belasan tahun," gumam Radit yang lalu pergi dari mobil Rayyan.
*****
"Enak juga jadi arwah tidak lapar," kata Radit yang melihat Nadira makan. Nadira tersedak karena terkejut dengan kedatangan Radit yang tiba-tiba. Nadira segera minum.
"Kamu bisa membuat aku mati karena jantungan!"
"Maaf."
"Nadira, apa kamu memiliki kelebihan lain?" tanya Radit.
"Jika aku berkata jujur, apa kamu akan percaya?"
"Aku hanya penasaran kenapa aku bisa bersentuhan denganmu, aku juga pernah dengar jika kamu memiliki julukan gadis penghitung waktu."
"Saat SMP, SMA juga kuliah aku sering mengalami hal aneh."
"Ceritakan sedikit saja."
"Ha? Aku sibuk, lagian kamu siapa ku ingin tahu tentangku?" tanya Nadira yang lalu meraih ponselnya dan berdiri.
"Aku akan terus menghantuimu jika kamu tidak menceritakan."
"Huft sangat menyebalkan. Dengar ya. Hari yang sangat cerah di kota Pahlawan, kota julukan untuk Surabaya. Aku selesai kuliah lalu bergegas pulang.
Perasaanku lelah, sangat lelah. Aku bersyukur namun aku juga mengeluh.
"Hai kak." panggil gadis cantik bergaun ping.
"Hai ..." jawabku yang lalu melihatnya.
"Aku boleh ikut Kakak." ucap gadis itu sangat mengejutkan, mata ku terbelalak.
"Aneh. Tidak boleh," jawab ku singkat.
"Ih Nadira makin aneh deh kamu," ujar kedua teman sekelasku. Aku berdiri. Ia merinding.
"Kamu tidak lihat aku bicara sama anak umur 7 tahun?" tanyaku kesal. Mereka hanya bergumam aku gila dan itu sering terjadi."
"MasyaAllah sabar ya Nadira," kata Radit menghentikan cerita Nadira.
"Kehadiran dan terormu juga membuatku seperti orang gila ..." gumam Nadira.
"Lalu siapa gadis kecil itu?" tanya Radit.
"Plis Dek, kamu pergi ya, aku juga akan pulang aku sangat lelah," pinta ku lalu berjalan lemas.
Aku menatap langit biru sambil melangkah. Muncul angka satu, seperti hembusan angin. Aku terkejut. "Apa itu tadi?" gumamku, gadis kecil yang meminta ku untuk membawanya.
"Awas!!!" teriak ku tidak sanggup melihat itu. Deraian air mata ku duduk bersimpuh lemas tiada daya. 'Aku terlambat lagi ... sering mengabaikan lalu menyesal ' seru batinku meronta.
"Kakak kenapa?" tanya gadis itu, aku melihat kaki yang tidak berpijak di tanah. Aku jatuh pingsan.
Rif'an kakak sepupuku melihatku dari kejauhan, Rif'an berlari, dan segera membawa ku ke tempat duduk panjang di taman.
Rif'an memercikkan air, "Dira ... bangun."
setelah 40 detik aku sadar, aku duduk. aku sangat lemas. "Akhirnya, terima kasih sama adik ini," titah Rif'an, aku ketakutan dengan menutup wajah dan merunduk.
"Kamu bisa melihatnya?" tanya ku dengan suara pelan, namun takut.
"Aneh kamu. Iya bisa dia salah satu muridku, namanya Afkarina," jelas Rif'an lalu duduk dan minum.
"Kamu tau juga dia tidak berpijak?" tanya ku.
"Ha ha ha, ngawur kamu. Emang dia apa?" jawab Rif'an santai, namun aku melihat kaki yang mengayang.