Radit menatapnya, ruh Zifa memeluk kedua orang tuanya dari belakang. Radit tersenyum ia berbalik dan melangkah pergi.
"Semoga Zifa bisa hidup kembali dan bahagia bersama kedua orang tuanya. Tapi kenapa aku tidak protes ketika dipanggil Om? Apa aku memang sudah Om, Om? Ah ... jadi kangen Oma. Oma akankah aku menjemputmu atau aku akan hidup kembali bersama Disya? Ya Allah hamba berharap Engkau memberi kesempatan."
*****
Waktu berlalu, Radit mengunjungi kantornya. "Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk melihat kejujuran kariawan."
Radit melihat-lihat para kariawan yang tetap kerja. "Di mana Rayyan?" gumamnya dan segera mencari sahabatnya yang sekaligus sekertarisnya.
Radit tidak melihat Rayyan di kantor, pengusaha ini terus mencari. Mobil hitam Avanza berhenti di depan kantor, Radit segera menghampiri Rayyan.
"Pak, bagaimana keadaan Pak Radit?" tanya salah salah satu kariawan.
"Belum membaik. Doakan saja," jawab Rayyan lalu berjalan masuk ke kantor.
"Dia memang sahabatku," puji Radit. Radit lalu mengikuti Rayyan.
"Tenanglah, sebentar lagi kita akan sampai pada tujuan kita," kata Rayyan di dalam telepon.
Kalimat itu membuat Radit berfikir, dia terus mengikuti Rayyan. Rayyan masuk ke ruangannya melihat gelagat dari sahabatnya itu Radit merasa curiga. Rayyan meletakkan ponsel dan pergi ke kamar mandi.
Dreeet!
Drettt!
"Disya ..." Sangat ingin menerima panggilan telepon itu, namun jelas saja tidak bisa karena kini ia hanya sebuah bayangan yang tidak tersentuh.
Rayyan keluar dari kamar mandi, melihat panggilan tidak terjawab ia segera menelpon Disya. Radit terus memperhatikan Rayyan.
"Ada apa dengan Disya?" gumam Rayyan setelah panggilan teleponnya tidak terjawab.
"Kenapa aku merasa curiga, tidak mungkin orang terdekat dan orang yang sangat aku cintai mengkhianatiku." Radit lalu mengikuti Rayyan.
Rayyan pergi ke satu desa yang asing bagi Radit. Memasuki rumah kecil itu, Radit yang penasaran mengikutinya.
"Terima kasih atas pekerjaanmu. Bahkan kamu sampai rela menderita seperti ini. Ini uang untukmu, setelah ini kita tidak akan berhubungan lagi."
Melihat dan mendengar secara langsung Radit sedikit terkejut sambil mengamati orang yang berbaring di ranjang dengan wajah yang diperban.
"Den, Rayyan ini minumnya," kata seorang wanita paruh baya.
"Maaf, saya buru-buru, dan setelah pembayaran ini kita tidak akan ada urusan lagi." Rayyan pergi sementara Radit tetap tinggal.
Wanita paruh baya mengantarnya ke depan, Radit mengamati orang yang sedang sakit itu.
"Jika sakit kenapa tidak dibawa ke rumah sakit, apa karena faktor biaya? Banyak orang yang lebih membutuhkan disekitarku. Ah ... kenapa aku malam mencurigai sahabatku. Lagian urusannya jelas bukan urusanku." Radit hendak pergi.
"Tuan Radit maafkan aku ..." Suara pelan itu menahan langkah Radit. Radit menoleh.
"Dia jelas menyebut namaku, apa aku mengenalnya? Dan kenapa dia meminta maaf?" gumam Radit terus berfikir.
"Mas ... kamu sampai rela dianggap mati. Sampai sakit seperti ini hanya demi anak kita yang tidak kunjung sembuh, demi anak kita kamu rela mencari uang dengan cara jahat. Kamu sampai tega menyelakai pengusaha bernama Radit itu. Ini tidak adil Mas. Ini tidak adil. Jika den Rayyan semakin membayakan Radit itu bagaimana?"
"Keadaan kita terpaksa jangan menyalahkanku terus. Saat ini pun aku masih sangat bersalah kepada tuan Radit."
Mendengar itu semua, Radit menampar pipinya sendiri, tamparan yang tidak mengenai wajahnya. "Mana mungkin aku bermimpi? Jadi bukan paman? Melainkan Rayyan? Oh ..." Radit sangat syok. Dia terlihat sedih dan sangat kecewa.
Tiba-tiba tubuh Radit seperti ada yang menarik, hingga ia ada di rumah sakit dan melihat Rayyan melepas memasang oksigen. Berulang kali Rayan melakukan itu dengan tatapan jahat. Radit yang menyaksikan merasa sakit.
"Selama ini kamu selalu menang Radit, walau dengan kebaikan kamu selalu unggul. Itu membuat aku sangat tidak suka. Cukup ini permainanku, aku sudah puas. Radit kamu sebentar lagi akan mati."
Rayan pergi dari kamar inap itu. Radit masih sangat syok, dia berusaha menguatkan diri.
Dengan sangat kesakitan Radit berusaha mencari Nadira. Saat ini fikirannya hanya tertuju kepada Nadira karena hanya dokter itu yang dapat melihatnya.
"Aku masih ingin hidup, aku ingin Disya tahu kalau Rayyan sangat berbahaya. Aku ingin membuat Rayyan sadar bahwa yang dia lakukan adalah kesalahan besar. Aku tidak tahu motif Rayyan apa?"
Radit mencari tahu keberadaan Nadira, dia tidak menemukan dokter cantik itu. Perawat pun sedang memperbincangkannya.
"Kasihan dokter Dira, dia berjuang melawan lelah malah dilabrak oleh keluarga pasien. Keluarga pasien itu sangat egois, jika pasien siuman aku yakin keluarga pasien pasti akan menyesal lalu meminta maaf dan mengucapkan terima kasih kepada Dokter Dira. Operasi itu kan bertujuan untuk kepulihan pasien. Agar pasien tidak mengalami kebutaan."
Mendengar itu Radit berusaha mencari Zifa. Radit tak kunjung menemukan Zifa.
"Bagaimana keadaan Zifa? Ya Allah, hamba menerima kenyataan dan sekarang hamba meminta untuk kehidupan Zifa. Setidaknya selamat Dira Ya Allah," doa Radit sambil mengadahkan tangan.
Radit yang galau pergi ke makam sang Oma. Setelah bermenit-menit dia melihat Nadira keluar dari pemakman. Dia masuk ke mobil Nadira dan sembunyi di belakang kursi supir agar Nadira tidak melihatnya.
"Kali ini terlihat aku seperti pecundang, aku tidak berani menghadapi kenyataan aku tidak sanggup mendengarkan kedua orang tua Zifa. Huft ... rasanya ingin menghilang dari dunia." Nadira menangis.
"Hiks, hiks, huft ... tenang." Nadira menghapus air matanya. "Aku takut gagal, walau yakin Allah membantuku."
"Kenapa takut?" tanya Radit. Seketika Nadira mengerem karena terkejut.
"Huft ... huft ... sejak kapan kamu di situ?" tanya Nadira.
"Dari tadi."
"Jangan ikut campur urusanku." Nadira terlihat sangat kesal.
"Tetapi aku bisa ngobrol dengan ruhnya Zifa. Jika kedua orang tuanya terus akur dan tidak akan berdebat aku yakin Zifa memiliki semangat hidup. Hanya kamu yang dapat memberi pengertian kepada kedua orang tua Zifa." Radit berbicara sangat cepat.
"Apa kamu ingin aku mengatakan itu kepada kedua orang tua Zifa? Lalu aku berhutang budi dan aku harus membantumu menyelesaikan masalahmu? Oh, ternyata kamu itu benar-benar licik."
"Hah ... terserah fikiranmu bagaimana kepadaku. Aku iklas dibilang licik. Jika Zifa siuman kamu akan terlepas dari fitnah kedua orang tuanya yang terus menyalahkanmu. Orang tua Zifa beranggapan Zifa mengalami koma karena operasi walau mereka tahu kalau Zifa mengalami kecelakaan dan cedera dibagian kepala. Nadira, aku memang membutuhkanmu. Tetapi banyak pasien yang lebih membutuhkanmu. Jika pekerjaanmu diberhentikan sementara itu tidak adil bagi pasien yang memang membutuhkanmu." Radit meyakinkan Nadira.
"Huft ... aku pusing. Lebih baik aku keluar dari dunia kedokteran."
"Keputusan macam apa itu?!"
"Stop jangan ikut campur!" Nadira sangat marah.
Drettt
Drettt
Ponsel dokter itu berdering.