Unknown Number - just now || Kau tak perlu pulang malam ini, lagipula Ayah dan Ibu berada di luar kota hingga esok pagi, aku muak melihat mu.
Ferisha berdecih kala membaca pesan yang seseorang kirimkan, hanya dengan menyimpan nomornya saja Ferisha enggan.
Ia melirik Alodie yang sudah pulas tertidur, temannya itu mengatakan akan tidur lebih awal, mengingat acara ulangtahunnya akan digelar besok pagi hingga dini hari, tak heran jika Alodie begitu bersemangat hingga meninggalkannya sendirian.
Ah, yang benar saja.
Tok!
Tok!
Ferisha mengernyitkan dahinya bingung kala mendengar dua kali ketukan pada pintu, Alodie sempat bercerita padanya, tentang etika mengetuk pintu di mansionnya.
Jika lebih dari dua kali, itu berarti yang mengetuk merupakan orang luar, bukan pelayan dari kalangan mereka.
Bisa saja penyusup.
Alhasil, Ferisha tak perlu takut, toh itu sudah pasti pelayan mansion ini.
Dengan gerakan pelan, Ferisha membuka pintunya perlahan, dan benar saja - dirinya melihat salah seorang wanita paruh baya tengah berdiri sembari menundukan pandangannya.
"Ada apa?" tanya Ferisha sembari keluar dari dalam kamar, kemudian menutup pintunya kembali, ia tak ingin mengganggu Alodie saat ini.
Biarkan temannya itu tertidur dengan pulas.
"Nona, ku harap kau mau membantu kami. Aku kepala pelayan disini, aku ingin kau melihat sesuatu untuk Nona Alodie kenakan nanti, aku yakin kau bisa menilainya secara langsung. Nona Alodie akan sangat marah jika kita membangunkannya," kata wanita paruh baya itu menerangkan.
Ferisha diam sejenak, tampak memikirkan atau lebih tepatnya menimang sesuatu yang akan dirinya putuskan.
Namun tak lama kemudian Ferisha mengagguk setuju, "Baiklah... Kemana kita harus pergi?" tanya Ferisha.
Lagipula bukan ide buruk jika Ferisha memilih sesuatu untuk Alodie kenakan.
Dirinya sangat mahir dalam hal fashion.
"Di lantai lima, Nona. Mari!" ajaknya.
Ferisha mengagguk, mereka kembali berjalan menyusuri lorong, kemudian masuk kedalam lift, menuju lantai lima, dimana kepala pelayan itu akan menunjukan sesuatu pada Ferisha.
"Bukankah mansion ini ada 6 lantai?" tanya Ferisha tiba-tiba.
Kepala pelayan itu mengangguk, "Benar, Nona."
Mereka berada dalam lift dalam keheningan, hingga bunyi lift membuyarkan lamunan mereka, membuat Ferisha dan juga kepala pelayan itu bergegas keluar dari dalam lift.
"Dimana--
"Nona, masuklah ke dalam kamar itu," tukasnya menunjuk sebuah pintu hitam yang berada di ujung lorong.
Ferisha mengernyitkan dahinya bingung, "Lalu kau?"
Bukan apa, jelas kepala pelayan itu yang akan menunjukan sesuatu padanya, bukankah sangat mencurigakan jika Ferisha datang sendiri ke dalam ruangan?
"Ada banyak pelayan disana, ada hal yang harus aku lakukan, kau tak keberatan bukan?"
Awalnya Ferisha ingin menolak, namun jika dipikirkan lagi tak ada gunanya pula.
Dengan ragu, Ferisha mengagguk, "Baiklah! Aku akan datang sendiri," kata Ferisha.
Kepala pelayan itu tampak menundukkan kepalanya, mempersilakan untuk Ferisha pergi terlebih dahulu.
Dan ya, Ferisha berjalan menuju pintu hitam yang berada di ujung lorong.
Ah, mengapa Ferisha memiliki firasat buruk?
Pikirannya seolah melayang, bahkan hingga kini Ferisha berdiri tepat di depan pintu itu.
Tangannya terulur, meraih gagang pintu, mendorongnya perlahan dan--
"Akhhhhhh!!!" pekiknya kala seseorang menariknya masuk kedalam lalu menutup pintunya kasar.
Tak lupa pula menguncinya dari dalam.
Ferisha menatap pria dihadapannya itu dengan tatapan yang begitu sulit diartikan, ia tak tau siapa pria dihadapannya kini.
Tubuh tegap, lengan berotot, perawakan tinggi, hidung mancung, dan jangan lupakan rahangnya yang terukir sempurna.
Namun cepat-cepat Ferisha mengembalikan kesadarannya penuh, ia hendak meraih kunci yang masih tergantung disana, namun seolah mengetahui jalan pikiran Ferisha, pria itu dengan cepat mengambilnya dan melemparnya asal.
Apa dia kakak Alodie?
Tak mungkin, Alodie mengatakan jika kakaknya akan kembali esok pagi.
Lalu, siapa pria tampan ini?
"I'm waiting for you, babygirl."
Deg!
Apa katanya? Menunggu?
Ferisha menelan ludahnya susah payah, ia hendak melangkah menjauh, namun pria itu sudah lebih dulu menarik pinggangnya dan mengikis jarak diantara mereka, "Gavino Stevenson, you know who i am?" tanyanya.
Gavino Stevenson, ya dia kakak dari temannya.
"A-- aku--
"Tenanglah, baby. Relax..." bisiknya.
Tangan Gavin bergerak, menyentuh payudara Ferisha dan meremasnya pelan, membuat Ferisha memejamkan matanya nikmat, bibir bawahnya ia gigit, berusaha mengalihkan perhatiannya dari sesuatu yang membuatnya nikmat.
Ferisha merasa asing dengan perasaan ini, kali pertama dirinya merasa sakit dan nikmat secara bersamaan.
"Kau menikmatinya, hm?" tanya Gavin sembari terus meremas gundukan itu, menahan pinggang Ferisha yang kini sudah memejamkan kedua matanya.
Ini gila, Ferisha bahkan tak dapat menolak.
Gavin menghentikan remasannya pada payudara Ferisha membuat Ferisha membuka matanya kembali, kedua matanya menunjukan jika wanita itu benar-benar kecewa kala Gavin menghentikan remasannya.
Lantas Gavin mendekatkan bibirnya pada bibir merah muda milik Ferisha, "Aku menantikan ini," ucapnya sembari memainkan bibir bawah Ferisha menggunakan ibu jarinya, "Selama dua tahun," sambungnya.
Ferisha berusaha menyadarkan dirinya, ia mendorong tubuh Gavin secara paksa, "Aku tak mengenal mu! Kau pasti salah orang!" tegas Ferisha berusaha untuk tetap santai.
Dengan sisa keberaniannya, ia menatap mata sebiru safir yang seolah terus mengintimidasinya.
"Jangan buat aku marah, baby. Dan kemarilah," ucapnya pelan, sembari mengulurkan tangannya kehadapan Ferisha.
Tangan kekar itu...
Pikiran Ferisha melayang, sebagai wanita normal yang sudah berusia dua puluh tiga tahun, Ferisha membayangkan bagaimana jika tangan kekar nan berotot itu meraba kewanitaannya, menggodanya dan memasuki lubang vaginanya.
Apa itu akan sangat menyenangkan?
Lagi-lagi Ferisha menggelengkan kepalanya, ia mencoba untuk mengembalikan akal sehatnya, "Keluarkan aku sekarang, atau aku akan mengatakan semua yang kau lakukan pada Alodie!" ancamnya penuh penekanan.
Mendengar itu, Gavin terkekeh dibuatnya, "Katakan, baby. Aku tak akan keberatan," ucapnya sembari berjalan mendekat.
Menarik pergelangan tangan Ferisha membuat wanita itu memekik tertahan.
Dan dengan santainya Gavin mendorong tubuh Ferisha hingga terbaring di atas tempat tidurnya.
Satu hal yang Ferisha sadari, jika ruangan ini merupakan kamar milik Gavin.
Apa dirinya salah memasuki ruangan?
Atau kepala pelayan itu yang sudah menjebaknya?
"A-- apa yang kau lakukan?" tanya Ferisha mulai gugup.
Dengan gerakan cepat, Ferisha segera bangkit dari tidurnya, hendak menghindar namun Gavin sudah lebih dulu menarik Ferisha dan mendorong tubuh Ferisha hingga berbaring dengan posisi terlentang di atas tempat tidur, "Kau tak akan bisa melakukan apapun, baby..." bisik Gavin sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar.
Jarak diantara mereka begitu dekat, membuat Ferisha menahan nafasnya, jujur saja - ini kali pertama Ferisha berada di satu ruangan bersama seorang pria dengan jarak seintim ini.
"Baby," kata Gavin, tangannya bergerak - mengusap lembut paha mulus Ferisha penuh perasaan, semakin masuk ke dalam dress yang wanita itu kenakan, "Bercintalah dengan ku," sambungnya.