"Ada apa? Kau tidak suka dengan gaunnya?" tanya Alodie menatap Ferisha yang sedari tadi hanya diam di depan pantulan kaca.
Tak ada jawaban dari Ferisha, mungkin karena terlalu fokus pada pikirannya sehingga tak menyadari tutur kata yang Alodie lontarkan.
Ya, sepagi ini keduanya sudah bersiap melakukan segala aktivitas. Tentunya dengan bantuan lima pelayan, hairstylist dan juga desainer terkenal di negara kelahiran mereka.
Alodie dengan gaunnya sedangkan Ferisha hanya menggunakan dress di atas lutut, Ferisha mengatakan tak ingin terlihat lebih mencolok dibandingkan Alodie, mau bagaimana pun juga Alodie lah pemilik acara disini.
"Apa kau tak suka dengan make up atau tataan rambutnya?" Alodie kembali bertanya.
Tiba-tiba saja Ferisha mengalihkan arah pandangnya pada Alodie, "Apa? Kau mengatakan apa?" Ferisha balik bertanya membuat Alodie berdecak sebal.
"Kau menyukai penampilan mu, bukan?" tanya Alodie sekali lagi.
Ferisha tersenyum dan mengaggukan kepalanya, "Tentu saja aku suka, aku terlihat berkali-kali lipat lebih cantik," guraunya.
Apa yang Ferisha katakan memang benar adanya, wanita itu terlihat berkali-kali lebih cantik. Hanya saja, dress tanpa lengan dan berada satu jengkal di atas lutut itu terlalu terbuka. Jelas saja Ferisha tak keberatan dengan hal itu, toh dirinya sendiri yang memilihnya.
"Baiklah, kau akan di dampingi beberapa pelayan untuk pergi ke rooftop. Aku harus menunggu semua tamu tiba," keluhnya.
Ferisha mengagguk lantas bangkit dari duduknya, namun sebelum itu Ferisha mengambil sesuatu di dalam tasnya, kotak beludru berwarna hitam.
Lalu Ferisha menyodorkannya ke hadapan Alodie, "Sebenarnya aku ingin memberikan ini tengah malam, akan tetapi aku tak ingin membangunkan mu, lagipula acara pagi ini hingga dini hari, kau perlu tidur cukup," ucap Ferisha tak pernah melunturkan senyumnya.
Melihat itu, dengan senyum gembira Alodie menerima kotak beludru itu, membukanya perlahan.
Kedua matanya membulat sempurna kala melihat sebuah jam tangan dengan brand ternama, "Kau membelikan ku hadiah yang mahal," gumam Alodie tak percaya.
Salah seorang pelayan mengambil alih kotak jam tangan itu dari tangan Alodie, membiarkan Alodie mengenakannya sendiri.
Ferisha lagi-lagi tersenyum sembari memeluk Alodie dengan anggun, tak ingin merusak tataan rambut keduanya, "Selamat ulangtahun, Alodie. Ku harap kau berumur panjang," kata Ferisha setelah itu melepaskan pelukannya dari Alodie.
"Nona, Tuan Gavino akan segera tiba," ucap salah seorang pelayan berseragam khas memberitahu.
Deg!
Tiba-tiba saja Ferisha merasa nafasnya tercekat, ia hendak berjalan meninggalkan ruangan, akan tetapi—
Tiba-tiba saja seluruh pelayan keluar dari dalam ruangan, termasuk orang-orang yang bertugas merias Alodie dan juga Ferisha.
Dan pintu yang menjulang tinggi itu terbuka lebar, salah seorang pria dengan tubuh kekar masuk ke dalam ruangan.
Seorang diri tentunya.
"Astaga, mengapa kau baru datang, kak!?" kesal Alodie berjalan mendekat ke arah Gavin dan memeluk pria itu sebagaimana seorang adik yang merindukan kakaknya.
Gavin membalas pelukan Alodie, lantas menjauhkan tubuhnya, "Aku sibuk."
Mendengar itu, Alodie berdecak sebal, "Kau selalu saja seperti itu."
Ferisha benar-benar tengah mencari kesempatan untuk pergi dari dalam ruangan, indera penglihatannya bahkan menyapu ke setiap sudut ruangan, mencari cara terbaik untuk menghilang.
Namun sebelum itu terjadi, Alodie sudah mengalihkan arah pandangnya pada Ferisha, "Kenalkan... Dia teman baru ku, namanya Ferisha Jesslyn."
Alodie berjalan dan menarik pergelangan tangan Ferisha, "Kemarilah! Dia kakak ku, si Mr. Arogan yang sangat dingin," kekeh Alodie.
Kedua sudut bibir Gavin tertarik ke atas, menampilkan seulas senyum yang hanya disadari oleh Ferisha saja, tatapan itu, tangan kekar itu dan juga bibir yang sudah berani menciumnya.
Ferisha jelas mengingat semuanya.
"Kak! Ayolah, sapa teman ku, jangan terlalu dingin dan kaku," kesal Alodie menatap Gavin yang sudah kembali memasang wajah datarnya.
Sebelum itu terjadi, Ferisha sudah lebih dulu buka suara, "Aku ingin pergi ke toilet!"
Tanpa menunggu persetujuan dari Alodie, Ferisha segera pergi meninggalkan adik dan kakak itu di dalam ruangan yang begitu luas.
Tentu saja hal itu tak luput dari penglihatan Gavin.
"Kak--
"Aku harus pergi," tukas Gavin melangkah meninggalkan Alodie yang sudah menganga tak percaya.
Apa katanya tadi?
Ini hari sepesial adiknya, mengapa Gavin pergi begitu saja?
***
Ferisha berjalan memasuki salah satu toilet, ia mencoba untuk menetralkan nafasnya sembari memandang pantulan dirinya di depan cermin.
Sebenarnya Ferisha tak ingin pergi ke dalam toilet seperti sekarang ini, namun tentu saja untuk menghindar dari Gavin Ferisha terpaksa melakukannya.
Jari jemarinya bergerak, membaca pesan yang baru saja masuk, sangat menyebalkan.
Unknown Number || Mengapa kau belum datang? Kau harus di rumah dalam satu jam, ada banyak hal yang harus kau lakukan.
Ferisha menghembuskan nafasnya perlahan, ia kemudian mematikan ponselnya. Masa bodo dengan si pengirim pesan yang terus mengusiknya, Ferisha tak peduli.
Ia kemudian kembali menatap dirinya di depan cermin berukuran besar, sangat amat cantik.
Apalagi dengan balutan dress yang sangat cocok di tubuh rampingnya.
Tiba-tiba saja Ferisha mendengar suara pintu terbuka, lantas dirinya mencoba mengalihkan arah pandangnya ke arah pintu berada.
Deg!
Tubuhnya kembali mematung, nafasnya tiba-tiba tercekat, Ferisha tak menyangka jika Gavin akan masuk ke dalam toilet.
"Mengapa memakai pakaian terbuka, hm? Sudah siap bercinta dengan ku?" tanyanya sembari berjalan mendekat.
Ferisha menggelengkan kepalanya, ia mengambil langkah mundur, berusaha untuk menghindar dari Gavin.
Namun punggungnya sudah lebih dulu menempel di dinding, itu berarti Ferisha sudah tak memiliki jalan keluar.
Dan Gavin sudah berada tepat dihadapannya.
Gavin tersenyum, menarik pinggang Ferisha hingga tubuh mereka saling menempel satu sama lain, sebelah tangannya mengusap paha mulus Ferisha yang terekspos sempurna, "Mencoba untuk memamerkan ini, huh?" tanyanya.
Gavin benar-benar menginjak harga diri Ferisha sebagai seorang perempuan, dan bodohnya lagi Ferisha tak dapat berkutik barang sedetik pun. Ferisha pun tak mengerti, aura yang Gavin miliki sukses membuatnya tak bergeming.
"Mengapa diam saja, hm?" tanyanya.
Tangan kekar itu semakin masuk ke dalam, membelai area kewanitaan Ferisha yang masih tertutup oleh underpants, membuat Ferisha lagi-lagi menutup kedua matanya, menikmati setiap sentuhan yang Gavin berikan.
"Lagi-lagi kau menikmatinya," kekeh Gavin yang sialnya terdengar begitu menyeramkan di indera pendengaran Ferisha.
Dengan sengaja Gavin menghentikan gerakan tangannya, dan--
Cup.
Satu kecupan mendarat di bibir Ferisha.
"Masuklah," kata Gavin entah pada siapa.
Tiba-tiba, salah seorang pelayan paruh baya yang mengaku sebagai kepala pelayan masuk kedalam ruangan.
Ya, pelayan yang Ferisha temui semalam.
"Kau boleh pergi," kata Gavin saat setelah pelayan itu memberikan sebuah dress padanya.
Ferisha masih tak bergeming, bahkan dirinya membiarkan Gavin meraba pinggangnya dengan sebelah tangan kekar itu.
Ia masih mencoba untuk mencerna apa yang akan Gavin lakukan sebenarnya.