Ferisha masuk ke dalam mansion, dengan langkah pelan sembari menyeret kopernya, baru saja beberapa langkah menuju tangga, tiba-tiba saja seorang wanita yang tampak lebih muda darinya, dengan rambut pendek berwarna cokelat tembaga, berjalan menghampiri Ferisha dengan tergesa.
"Kau!!" panggilnya kemudian berdiri tepat dihadapan Ferisha, berusaha menghadang jalan.
Ferisha melipat kedua tangannya di dada, ia menatap wanita yang lebih muda darinya itu dengan tatapan yang begitu sulit diartikan, "Berhenti memanggilku seperti itu, Jesy! Aku lebih tua dari mu!"
Wanita yang kerap disapa Jesy itu tersenyum sinis sembari memutar bola matanya malas, "Persetan dengan hal itu," ujarnya membuat Ferisha menghembuskan nafasnya pelan.
Enggan berbicara dengan Jesy yang merupakan adik angkatnya itu, tangan Ferisha bergerak hendak meraih kopernya kembali, namun--
BRAK!
Tiba-tiba saja Jesy menendang koper itu hingga terjatuh, menimbulkan suara yang begitu nyaring.
"Mengapa kau tidak pulang dini hari? Kau harus menyelesaikan kekacauan yang terjadi!" geramnya.
Ferisha berusaha untuk tetap sabar, dirinya menatap Jesy dengan tatapan yang begitu sulit diartikan, "Kekacauan apa? Aku bahkan baru saja kembali."
"Aku berpesta bersama teman-teman ku semalam, dan pagi ini ibu dan ayah akan pulang, sekitar lima menit lagi, dan kekacauan itu benar-benar belum ku selesaikan," kata Jesy menjelaskan apa yang terjadi, meski dengan suara yang begitu ketus.
Ferisha bersimpuh, mengambil kopernya yang sempat di tendang oleh Jesy, kemudian kembali berdiri tegak dan menatap Jesy dengan tatapan datar, "Itu masalah mu dengan Ibu dan Ayah, mengapa mengatakan i--
PLAK!!
"Kau harus membereskan itu, sialan! Seluruh maid sedang cuti pekan ini!" geramnya saat setelah menukas ujaran Ferisha dengan tamparan keras.
Ferisha menyentuh sebelah pipinya yang baru saja di tampar keras oleh Jesy, tatapannya begitu dingin, setelah itu Ferisha melepas tawa gemetar, "Mengapa harus aku? Aku anak kandung di mansion ini, sedangkan kau hanya anak angkat. Seharusnya aku yang menjadikan mu pelayan di--
"BERHENTI SIALAN!!" teriak Jesy tak terima.
Ferisha terkekeh sinis, "Mengapa? Enggan menerima kenyataan jika kau hanya dipungut oleh keluarga Jones? Membuatku di benci oleh Ibu dan Ayah ku sendiri, hingga tak diakui disini?" tanya Ferisha dengan sorot mata yang begitu dingin.
Ferisha tampak menyipitkan matanya, lalu kembali berkata, "Setidaknya kau memiliki malu, kau hanya orang asing yang hadir diantara keluarga ku."
Tiba-tiba saja Ferisha melihat kedua mata Jesy yang berkaca-kaca, "Maafkan aku, Kak. Aku tidak tau jika kau akan semarah ini hanya karena aku yang tak ingin membereskan kekacauan yang kau buat dengan teman-teman mu," isak Jesy.
Ferisha mengernyitkan dahinya bingung, "Apa maksud mu?" tanyanya.
"Ayah tak tau jika kau akan bersikap seburuk itu pada adik mu, Ferisha! Ayah bahkan tak pernah mengajarkan mu untuk berperilaku seperti itu!" tegas seorang pria dengan suara beratnya, membuat Ferisha sontak mengalihkan arah pandangnya.
Disana, sudah berdiri seorang pria paruh baya, Daniel Jones dan wanita paruh baya yang berdiri disamping Daniel, Rivera Jones. Mereka menatap Ferisha dengan tatapan yang begitu sulit diartikan, tersirat kekecewaan yang begitu dalam disana.
Ferisha memejamkan matanya sejenak, permainan macam apa yang Jesy lakukan ini.
"Ibu semakin merasa kecewa pada mu," timpal Rivera.
Ferisha menggelengkan kepalanya berkali-kali, "Ibu… Ayah, aku tak melakukan itu," cicit Ferisha seolah sudah terampau putus asa dengan apa yang dilaluinya.
Namun, Daniel sudah lebih dulu meninggalkan mereka, sedangkan Rivera menatap Jesy dengan tatapan teduhnya, "Jesy? Kemari, sayang. Ibu membawakan sesuatu untuk mu."
***
"Tuan, Nona sedang berada di taman dekat mansion kediaman Jones, apa kau ingin menghampirinya? Jika, ya. Aku akan menyiapkan mobil untuk mu," kata Noel tiba-tiba memberikan informasi pada Gavin.
Gavin yang tengah memeriksa berkas-berkas yang ada di hadapannya itu tampak berhenti sejenak, ia mendongakkan kepalanya, menatap Noel dengan tatapan penuh tanya, "Seorang diri?"
Suara berat Gavin seolah membuat aura di dalam ruangan yang tampak sejuk tiba-tiba saja memanas, Noel yang mendengar itupun mengangguk atas apa yang Gavin pertanyakan, lantas mengulurkan sebuah iPad yang terdapat gambar Ferisha tengah duduk ditengah kegelapan.
Gavin menerimanya dengan penuh minat, menatap gambar itu secara saksama, "Mengapa kau keluar dimalam hari, babygirl. Hanya membuat ku khawatir saja," gumam Gavin sangat pelan, hingga Noel sendiri pun tak dapat mendengarnya.
Gavin bangkit dari duduknya, saat setelah mengembalikan iPad milik Noel, lalu berjalan meninggalkan kursi kebesarannya, "Siapkan mobil, aku akan pergi seorang diri kesana," kata Gavin yang dapat diangguki oleh Noel.
Noel menyodorkan jas ke arah Gavin, setelah itu menunduk penuh hormat dan berjalan ke arah dimana pintu keluar berada, ya— Noel akan pergi lebih dulu, untuk menyiapkan mobil tentunya.
Di tempat lain, Ferisha tengah duduk seorang diri di kursi yang ada disebuah taman dekat rumahnya. Gelapnya malam, heningnya suasana taman, juga hiruk-pikuk angin yang seolah Ferisha hiraukan. Dinginnya malam ini membuat Ferisha mengerti, arti dari kehidupan yang sebenarnya.
Tak adil, itulah yang terbesit pertama kali di dalam pikirannya, Ferisha benci mengetahui hal itu, Ferisha benci memahami apa yang terjadi, apa boleh buat? Ayah dan ibunya lebih menyayangi anak angkat mereka, dibanding Ferisha yang merupakan anak kandungnya. Mungkin saja, karena ada banyak kesalahpahaman yang terjadi, membuat Ibu juga ayahnya bersikap tak baik pada Ferisha.
Bodohnya lagi, Ferisha tak bisa meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.
Tiba-tiba saja, Ferisha mengusap air matanya yang terjatuh begitu saja, Ferisha tak bisa menahannya lagi, dirinya terisak, seolah tak tau arah. Hatinya seolah teriris kala mengingat Ibu dan Ayahnya yang lebih menyayangi Jesy daripada dirinya saat ini.
Isak tangis Ferisha seolah mendominasi, hingga tiba-tiba saja Ferisha menyadari seseorang yang tengah menyampirkan sebuah jas di pundaknya. Ia mendongak, masih dengan air mata yang berlinang membasahi pipinya.
Gavin, ya— pria yang selalu mengancamnya, pria posesif yang merupakan kakak dari temannya.
"Don't cry, baby. Aku disini untuk mu," kata Gavin dengan suara yang begitu rendah, didasari kelembutan penuh perasaan.
Bahkan kini Gavin membungkukkan tubuh kekarnya, mengusap air mata yang berlinang di pipi Ferisha, tak lama setelah itu - Gavin mendekatkan wajahnya dengan wajah Ferisha, menatap bibir merah muda itu dengan tatapan penuh makna.
Dan…
Cup
Gavin mengecup bibir Ferisha penuh perasaan, hanya kecupan ringan setelah itu Gavin kembali menjauhkan tubuhnya.
"Apa kau membutuhkan pelukan, hm?" tanya Gavin tiba-tiba.
Sadar akan tawaran brilian dari Gavin, sontak Ferisha bangkit dari duduknya, kemudian menarik dirinya ke dalam pelukan Gavin. Menyadari itu, Gavin tersenyum penuh makna, ia membalas pelukan Ferisha sembari mengusap surai wanitanya dengan penuh kasih sayang, "Semuanya akan baik-baik saja, baby. Kau hanya perlu bertahan sedikit lebih lama lagi."