Ferisha menghapus air matanya kasar, sembari menatap pantulan dirinya di cermin, entah mengapa— rasanya Ferisha merasa benci pada apapun yang menimpanya, seolah dunia tak pernah berpihak padanya.
Gavin memang tak melakukan apapun padanya, setelah Gavin mengatakan sesuatu hal yang tak pantas, Gavin melepaskan Ferisha begitu saja, membuat Ferisha bergegas meninggalkan Gavin. Namun, apa Ferisha mampu benar-benar lepas dari Gavin? Tentu tidak, Gavin selalu datang dan hadir dalam hidupnya, sangat kecil kemungkinan Ferisha melarikan diri dari Gavin.
Karena, satu-satunya cara agar Ferisha bisa lepas dari Gavin hanyalah satu, memberikan keperawanannya.
Tok! Tok! Tok!
"Ferisha, you okay? Kita akan makan bersama, keluarlah."
Ferisha menghembuskan nafas gusar, ia menarik kedua sudut bibirnya di depan cermin, bersikap seolah dirinya baik-baik saja, "You gonna be okay, relax." gumamnya pada diri sendiri.
Setelah itu berbalik dan berjalan menuju pintu berada, jelas saja Ferisha tak boleh berada terlalu lama di dalam kamar mandi, bisa saja Alodie menerobos masuk ke dalam.
"Feris--
"Ya," tukas Ferisha saat setelah membukakan pintu kamar mandi.
Alodie menghembuskan nafasnya perlahan, "Ku kira ada apa," gumamnya setelah itu menarik Ferisha menuju ruang makan.
Ferisha menatap was-was setiap penjuru ruangan, memastikan Gavin tidak ada diantara mereka. Senyumnya tercetak jelas disana, kala dirinya tak menemukan kehadiran Gavin sama sekali, itu berarti hanya ada dirinya dan juga Alodie saja, setidaknya Ferisha mampu bernafas dengan lega.
"Ah, lapar sekali." gumam Ferisha sembari mengambil posisi duduk.
Alodie yang mendengar itu pun tergelak tawa, "Ya - aku pun seperti itu, rasanya aku melupakan kebutuhan perut ku hanya karena membaca ramalan zodiak di buku yang baru ku beli."
Alodie ikut mendudukan dirinya, sedangkan Ferisha memutar bola matanya malas. Mengapa harus membaca buku di dalam pesawat pribadi? Bukankah di mansion pun sama saja?
"Dimana kokinya Noel?" tanya seseorang dengan suara beratnya.
Ferisha mematung tanpa sepatah katapun, mengapa Gavin ada diantara mereka?
"Kokinya akan datang sebentar lagi, Kak." Bukan Noel yang menjawab, melainkan Alodie.
Tak ada sahutan dari Gavin, pria itu tampak memasang raut wajah datar setelah itu duduk disamping Ferisha, diikuti oleh Noel yang duduk di antara Gavin juga Alodie.
"Apa itu, Nona?" tanya Noel menatap buku tebal yang ada dihadapan Alodie.
Alodie yang menyadari pertanyaan dari Noel, sontak menundukan kepalanya, ikut menatap objek yang menjadi pusat perhatian Noel, "Ini buku zodiak, aku belajar banyak dari sini. Ada banyak ramalan di dalamnya."
Noel mengangguk paham, tak heran jika adik dari Gavin itu sangat menyukai buku-buku tebal berisi ramalan bodoh, ya— Noel dan Gavin mengaggap itu sangatlah bodoh.
"Kalo begitu, ramal aku." kata Gavin tiba-tiba, tangannya bergerak, masuk ke dalam dress milik Ferisha.
Ferisha sendiri tampak tak berkutik, namun tetap saja tangannya ikut bergerak, menyingkirkan tangan kekar Gavin dari dalam dressnya, sekalipun hal itu lagi dan lagi selalu gagal.
Alodie tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya, "Baiklah! Ayo kita lihat."
Tangan Alodie bergerak, membuka buku tebal yang ada di tangannya, sembari terus mencari zodiak sang kakak. Noel fokus menatap Alodie yang sepertinya sangat terobsesi dengan ramalan-ramalan bodoh itu, memangnya apa yang dapat Alodie percaya?
"Apa kau memiliki seseorang di hati mu?" tanya Alodie mendongakan kepalanya, menatap Gavin dengan tatapan bertanya.
Seketika suasana ruangan begitu hening, tak ada yang buka suara diantara mereka. Ferisha yang awalnya sibuk menyingkirkan tangan kekar Gavin yang tengah mengusap paha mulusnya, kini hanya diam tanpa melakukan perlawanan.
Penasaran dengan jawaban yang akan Gavin lontarkan.
Sebelum menjawab, Gavin menggapai tangan mungil Ferisha di bawah meja, menggenggamnya dengan begitu erat, seraya berkata, "Ya."
BRAK!
"Sudah ku katakan! Ramalan ini benar-benar berguna!" pekik Alodie saat setelah menggebrak meja, merasa senang dengan apa yang menjadi ramalan buku ditangannya.
Alodie kembali membuka halaman selanjutnya, Ferisha sendiri masih sangat kebingungan, hingga dirinya membiarkan tangan mungiilnya itu ada dalam genggaman tangan besar Gavin.
"Namun...
Alodie menggantungkan ujarannya, ia mendongakkan kepalanya - menatap Gavin dan Noel bergantian, "Cinta mu ada di dekat mu, Kak. Kau normal bukan?"
"Nona, apa maksud mu?" Noel balik bertanya pada saat Alodie menatap Gavin dan juga Noel bergantian.
"Menurut ramalan di buku ini, orang yang kakakku cintai, berada sangat dekat dengannya. Namun, hatinya terpisah jauh. Bukankah itu berarti kau dan juga kakak--
"Nona, tidak." tukas Noel mencoba untuk menyangkal apa yang Alodie katakan.
Ferisha tiba-tiba saja terkekeh dibuatnya, "Hal itu bisa saja terjadi." celetuk Ferisha tanpa sadar, bahkan kini Ferisha menyadari cekalan ditangannya semakin terasa mengerat.
"Apa maksudmu?" tanya Gavin dengan suara rendah, namun tersirat ancaman di dalamnya. Tatapannya terfokus penuh pada Ferisha, jelas Ferisha gugup.
Alodie yang menyadari jika teman satu-satunya itu terkena ancaman dari tatapan dingin Gavin, segera berdehem, mencairkan suasana, "Baiklah, Kak. Itu hanya ramalan, dan itu hanya lelucon."
Percayalah, Alodie mengatakan itu hanya demi menyelamatkan Ferisha.
Melihat tatapan penuh ketakutan yang Ferisha pancarkan, Gavin mengusap lembut tangan mungil Ferisha di bawah meja, kemudian kembali mengalihkan arah pandangnya, kali ini— ke arah dimana koki baru saja datang.
"Mr. Stevenson? Senang bertemu dengan mu," sapa koki itu riang.
Gavin tak memberi tanggapan apapun, dan koki itu tau jika ini akan terjadi.
"Nona Alodie, dan Noel. Apa kabar?" tanyanya beralih pada Alodie juga Noel.
Alodie tersenyum sembari menganggukan kepalanya, "Ya— aku baik."
Noel pun ikut mengagguk, "Bagaimana dengan mu?" Noel balik bertanya.
"Tentu saja baik, ak-- ah! Apa ini kekasih Mr. Stevenson?" Koki itu menatap Ferisha dengan tatapan penuh tanya.
Gavin yang menyadari itu menoleh ke arah Ferisha, Ferisha dapat melihat tatapan teduh yang Gavin pancarkan, dan hal ini jarang sekali Gavin lakukan.
"A-- tidak! Aku Ferisha— teman Alodie," balas Ferisha gugup.
Shit! Mengapa pula Gavin harus ada disebelahnya?
"Ah, maafkan aku, Nona. Aku pikir kau kekasih Mr. Stevenson. Kalian sangat cocok," kekehnya seolah tengah bergurau, sedangkan Ferisha hanya menanggapi itu dengan senyuman.
"Berhenti mengoceh, dan mulailah sajikan hidangannya!" desis Gavin kala menyadari jika Ferisha merasa tak nyaman dengan kata demi kata yang koki itu lontarkan.
Mendengar penuturan dingin yang Gavin lontarkan, koki itu merubah raut wajahnya menjadi lebih serius, menundukan kepalanya sembari buka suara, "Maafkan aku, Tuan. Aku akan mulai mendeskripsikan makanan yang akan ku hidangkan."
Koki itu mulai berbicara panjang lebar, mengenai hidangan yang akan disajikan, sedangkan Gavin, masih fokus dengan tangan mungil Ferisha di bawah meja, entah mengapa pula Ferisha tak memberi perlawanan sedikitpun.