"Apa kau membutuhkan pelukan, hm?" tanya Gavin tiba-tiba.
Sadar akan tawaran brilian dari Gavin, sontak Ferisha bangkit dari duduknya, kemudian menarik dirinya ke dalam pelukan Gavin. Menyadari itu, Gavin tersenyum penuh makna, ia membalas pelukan Ferisha sembari mengusap surai wanitanya dengan penuh kasih sayang, "Semuanya akan baik-baik saja, baby. Kau hanya perlu bertahan sedikit lebih lama lagi."
Tak tahan dengan perasaan yang begitu sulit diartikan, Ferisha akhirnya menangis sejadi-jadinya, menenggelamkan wajahnya di dada bidang Gavin tanpa peduli kemeja Gavin akan basah karena air matanya nantinya, Gavin pun hanya diam sembari terus mengusap surai Ferisha penuh kasih sayang.
Perasaan ini,
Entah mengapa rasanya sangat nyaman, Ferisha tak bisa membohongi dirinya, Ferisha sangat senang berada di pelukan hangat ini.
Untuk beberapa saat, Ferisha hanya menangis tanpa memperdulikan apapun, sadar akan apa yang Ferisha lakukan tidak benar, ia segera melepaskan pelukannya, menundukan kepalanya sembari berusaha menghapus air matanya, "Maafkan aku, aku–
"Look at me, baby." tukas Gavin sembari menyentuh dagu Ferisha, membuat Ferisha mau tak mau mendongakan kepalanya, menatap Gavin dengan tatapan sendunya.
Gavin tersenyum, kemudian mengusap air mata Ferisha dengan penuh perasaan, tak hanya itu— Gavin bahkan melangkahkan kakinya, semakin mendekat ke arah Ferisha, menyatukan dahi mereka berdua, "Sudah cukup kau menangis, baby. Kali ini kau harus menjadi wanita yang tegar, sebelum semuanya selesai," bisik Gavin tepat didepan bibir Ferisha.
Ferisha hanyut, dalam manisnya kata demi kata yang Gavin lontarkan, perasaan apa ini? Ferisha merasa benar-benar dilindungi sekarang.
Tangan Gavin kembali terulur, melingkar di pinggang ramping Ferisha, sembari sesekali mengusapnya dengan gerakan pelan, "Apa kau ingin pergi ke suatu tempat, hm?" tanya Gavin. Tutur katanya begitu lembut, sentuhannya membuat jantung Ferisha menggila, tanpa sadar Ferisha mengakui jika dirinya tertarik pada Gavin.
Ferisha pikir, Gavin adalah pria mesum yang hanya menginginkan keperawanannya saja. Ferisha pikir, Gavin hanya memanfaatkannya saja. Namun, sisi baik Gavin berhasil Ferisha temukan disini, seberapa baik Gavin padanya dan seberapa peduli Gavin padanya.
Ferisha menyukai nya.
"Ah, maafkan aku." kata Ferisha kembali menyadarkan dirinya jika ini semua tak benar.
Ferisha mencoba untuk mendongakan kepalanya, menatap Gavin dengan tatapan yang begitu sulit diartikan, "Aku harus pulang ke--
"Aku akan mengantarmu, baby." tukas Gavin.
Panggilan itu seolah semakin sering Gavin lontarkan, mungkin Ferisha akan terbiasa.
***
"Aku sebenarnya enggan mengatakan hal ini pada kalian, mau bagaimana pun juga Kak Ferisha adalah kakak ku," kata Jesy sembari mengunyah, mulutnya penuh.
Mereka, tepatnya; Jesy, Rivera dan juga Daniel tengah melakukan acara makan malam keluarga, tanpa Ferisha tentunya. Bukan tanpa alasan mereka tidak mengikutsertakan Ferisha, hanya saja— pada saat Rivera hendak memanggil Ferisha, anaknya itu tidak ada di dalam kamar, entah dimana.
Rivera tampak mengulas senyum lebar, sekalipun dalam hatinya Rivera masih merasa sangat kecewa dengan tingkah Ferisha, "Kau harus memaafkannya, sayang. Mungkin Kakak mu memerlukan waktu," kata Rivera.
Mendengar itu, Daniel berdehem, meletakan sendok dan garpunya kemudian meneguk air dalam gelas, "Sampai kapan?" tanyanya sembari meletakan gelas, Daniel menghembuskan nafasnya gusar, "Kau selalu mengatakan jika putri kita memerlukan waktu, namun kenyataannya, dia selalu bersikap seperti itu dibelakang kita," sambungnya.
Rivera ikut meletakan sendok dan garpunya, ia memfokuskan diri sepenuhnya ke arah Daniel, "Itu hal yang wajar ji--
"Wajar dalam artian apa? Berpesta bersama dengan teman-temannya di malam hari pada saat kita pergi? Ada banyak bekas minuman keras disana, dan dia memarahi Jesy hanya karena Jesy tidak ingin membersihkannya!" gertak Daniel bangkit dari duduknya kemudian pergi begitu saja.
Rivera mencoba untuk tetap tenang, tanpa Rivera sadari, air matanya mengalir begitu saja, hingga Jesy yang melihat itu bangkit dari duduknya, mendekat ke arah Rivera kemudian memeluk Rivera dengan hati-hati, "Bersabarlah, Bu. Kak Ferisha pasti akan berubah," ujarnya pelan.
Sangat terlihat jelas jika Jesy sangatlah picik dalam hal ini.
"Ah, itu dia - Kak Ferisha sudah kembali," kata Jesy tiba-tiba melepaskan pelukannya dari Rivera.
Mendengar itu, Rivera menghapus air matanya, Rivera mencoba untuk terlihat baik-baik saja.
Jangan tanya bagaimana dengan Ferisha, ia menatap heran ke arah Rivera, kemudian berjalan menghampiri sang ibu, "Bu? Ada apa?" tanya Ferisha pelan, hendak menyentuh tangan Rivera, namun Rivera tiba-tiba saja menghindar.
Rivera mendongakan kepalanya, menatap Ferisha dengan tatapan sendu, "Jika kau menyayangi ibu, dan mengakui jika ibu adalah orangtua yang baik bagimu, ubah sikap mu." kata Rivera setelah itu berjalan meninggalkan mereka berdua.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Ferisha pada Jesy, sorot matanya begitu tajam.
Jesy terkekeh sinis, melipat kedua tangannya di dada, "Hanya melakukan apa yang ingin kulakukan saja," balas Jesy setelah itu pergi meninggalkan Ferisha tanpa rasa bersalah.
Drttt...
Ferisha melirik layar ponselnya, tertera nama Alodie disana— tentu saja mereka sudah saling bertukar nomor ponsel, tak sulit bagi mereka melakukan itu.
Dengan tanpa berpikir panjang, Ferisha menggeser layar ponselnya, setelah itu menempelkan benda pipih itu di samping telinga, "Ada apa?" tanya Ferisha sembari berjalan untuk menaiki tangga, menuju kamar miliknya.
"Dengarkan aku, zodiak mu dan zodiak ku sangat beruntung minggu ini— waktu yang tepat pula untuk kita pergi berlibur. Bertepatan dengan itu, esok adalah akhir pekan. Jadi, ayo kita pergi berlibur!" ucap Alodie disebrang sana dengan penuh semangat.
Belum sempat Ferisha menjawab, Alodie sudah kembali berujar, "Ayo kita pergi ke Islandia!" sambungnya.
Ferisha tampak berpikir sejenak, jika dipikirkan lagi Ferisha memang membutuhkan liburan, dari penatnya permasalahan yang selalu dihadapinya.
"Ayolah, kau setuju dengan ku? Kita bisa pergi ke Aurora Borealis, bukan ide buruk untuk kita berburu Aurora. Atau kita bisa pergi ke Blue Dragon untuk melakukan retreat spa dan--
"Baiklah, ayo kita pergi!" tukas Ferisha bertekad bulat dengan apa yang menjadi penawaran Alodie kemudian memutuskan sambungannya sepihak, Ferisha akan segera berkemas.
Drttt...
Alodie - just now || Aku sungguh tak sabar, see u tomorrow, girl!!
Ferisha menarik kedua sudut bibirnya ke atas, Alodie sungguh tidak main-main dengan rencana mereka pergi ke Islandia. Mungkin inilah saat dimana Ferisha mencoba untuk menenangkan dirinya, menjernihkan pikirannya dan melupakan segala hal buruk yang dilakukan oleh Jesy.
Ferisha muak dengan apa yang Jesy lakukan, sungguh - hal itu seolah tak pernah berakhir baik dalam ingatan Ferisha, beruntung Alodie mengajaknya untuk berlibur. Ferisha tak ingin mengemis pada orangtuanya, membela diri jika itu bukan salahnya. Karena Ferisha tau, hal itu jelas sangat sia-sia.
Sama sekali tak berguna, entahlah.