Chereads / Favorite Girl / Chapter 3 - Chapter 3

Chapter 3 - Chapter 3

"Ah sial, mengapa terus berbunyi!" kesal Alodie berusaha mengumpulkan kesadarannya, bagaimana tidak - disaat dirinya tengah berusaha untuk beristirahat agar terlihat fresh di pagi hari, suara dering ponsel terus saja mengusiknya.

Dan Alodie yakin, dering ponsel itu bukan berasal dari ponsel miliknya.

Dengan perasaan yang begitu dongkol, Alodie berjalan ke arah sumber suara berada.

Dan ya, nada dering itu berasal dari ponsel Ferisha.

Kesadaran Alodie seolah kembali sepenuhnya. Alodie tampak mengalihkan arah pandangnya, menyapu setiap sudut ruangan, namun wanita itu sama sekali tak menemukan keberadaan Ferisha.

Jari-jarinya bergerak, menggeser layar, pertanda menerima panggilan.

Alodie lalu menempelkan benda pipih itu ke telinganya, hendak buka suara namun seseorang disebrang sana sudah lebih dulu menyela, "Ferisha dengarkan aku! Aku dan teman-teman ku akan berpesta di rumah, pulanglah dini hari dan bersihkan kekacauan yang terjadi di rumah, kau harus menjadi kakak yang baik untuk ku."

Apa katanya?

Ah shit!

Apa-apaan itu.

Alodie memeriksa layar, dan ternyata nomor itu tidak masuk ke dalam daftar kontak Ferisha.

Dengan menghembuskan nafasnya perlahan, Alodie mulai buka suara, "Hei! Dengarkan aku, sialan! Kau ini bodoh atau memang tak memiliki dasar sopan santun? Dimana etika mu, stupid! Bicara dengan benar, kau adiknya bukan? Mengapa kau berbicara seolah dia adalah pembantu---

"Tunggu! Tunggu! Siapa kau? Dimana kakak ku?" tukasnya disebrang sana.

Alodie sudah siap melontarkan umpatan untuk sang penelepon, akan tetapi lagi-lagi hal itu gagal, kala--

"Ah, itu tak penting. Ku tutup teleponnya dan sampaikan pesan ku padanya."

Tut...

Panggilan terputus secara sepihak, Alodie meremas benda pipih itu dengan begitu kencang, mengapa ada manusia semenyebalkan itu?

Kantuknya seolah hilang, kesadarannya kembali penuh namun energinya terkuras habis hanya karena berbicara dengan seorang perempuan yang mengaku sebagai adik dari Ferisha.

Jujur saja, selama satu bulan ini Alodie tak pernah membahas perihal adik atau hanya sekedar keluarganya.

"Dimana dia," gumamnya.

Alodie menghembuskan nafasnya perlahan, "Ku pikir dia sedang makan malam," sambungnya kembali menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Menatap langit-langit kamar, Alodie banyak menemukan kejanggalan perihal Ferisha.

"Mengapa ada banyak tanda tanya besar dalam hidupnya, namanya yang tak memiliki marga, padahal aku yakin dia berasal dari keluarga berada," monolognya.

Alodie berdecak sembari mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping, "Dan mengapa adiknya memperlakukan dia sangat buruk?"

Tak sampai disitu, Alodie bangkit dari tidurnya, ia meraih IPad miliknya dan membuka kamus zodiak yang dirinya miliki.

Aplikasi premium dengan dana yang lumayan tinggi.

"Tunggu, apa zodiaknya," gumamnya sembari terus menggeser layar.

"Aries," sambungnya saat ia mengingat zodiak temannya itu.

Alodie terus mempelajari perihal kehidupan seorang Aries, ia benar-benar ingin Ferisha menjadi sahabatnya. Karena Alodie yakin, jika Ferisha akan menjadi sahabat yang baik untuknya.

Lagipula, Alodie lelah jika harus bersandiwara dalam pertemanan.

"Tunggu saja, teman. Aku akan membuat mu berkata jujur padaku."

***

Jarak diantara mereka begitu dekat, membuat Ferisha menahan nafasnya, jujur saja - ini kali pertama Ferisha berada di satu ruangan bersama seorang pria dengan jarak seintim ini.

"Baby," kata Gavin, tangannya bergerak - mengusap lembut paha mulus Ferisha penuh perasaan, semakin masuk ke dalam dress yang wanita itu kenakan, "Bercintalah dengan ku," sambungnya.

Ferisha menatap tak percaya ke arah Gavin, ia benar-benar hendak menampar pria dihadapannya itu, namun kedua tangannya di cekal erat oleh Gavin diantara tubuhnya.

Ferisha ingin menangis, dirinya tak suka dengan hal ini.

"Tolong lepaskan aku!" tekan Ferisha menatap murka pada Gavin.

Gavin melihat kedua mata Ferisha yang mulai berkaca-kaca, ia mencoba untuk bersikap seperti biasanya, tak kenal rasa kasihan dan terus mengandalkan egonya.

Namun hal itu benar-benar sulit dilakukan saat ini, bahkan tangan kekarnya Gavin keluarkan dari dalam rok Ferisha.

Ia menatap Ferisha dengan tatapan yang begitu sulit diartikan, "Jangan menangis, baby."

Merasa cengkraman pada kedua tangannya melonggar, Ferisha segera mendorong tubuh Ferisha dan segera bangkit dari tidurnya.

Tanpa peduli lagi, Ferisha berlari ke arah pintu, mencoba menarik gagang pintu, berharap pintu mau terbuka dengan sendirinya.

Ferisha ingat jika pintu kamar ini telah dikunci oleh Gavin.

Dengan sisa keberaniannya, Ferisha membalikan tubuhnya, hingga ia mampu menatap Gavin yang sudah bertelanjang dada, menampilkan otot-otot perutnya serta bentuk tubuh yang begitu profesional, pria itu tengah bersandar di dipan.

Ferisha merasakan tubuhnya panas hanya dengan menatap Gavin.

"Come here, baby!" kata Gavin dengan nada yang begitu dingin, bahkan tatapannya kini berubah menjadi begitu datar.

Tubuh Ferisha mematung, ia tak suka melihat wajah menyeramkan itu. Ferisha akui Gavin benar-benar tampan dengan raut wajah bagaimana pun, namun mengapa harus dalam situasi dan kondisi seperti ini.

"Ferisha Jesslyn, apa kau tak mendengar ku!?"

Deg!

Ferisha menggelengkan kepalanya berkali-kali, "Tolong jangan aku, aku-- aku--

"Ada apa, hm?" Gavin bangkit dari duduknya, mungkin pria itu sudah lelah hanya dengan bersandar menunggu Ferisha datang.

Karena memang pada dasarnya Ferisha hanya mematung ditempatnya.

Dengan langkah lebarnya, Gavin menghampiri Ferisha.

Ferisha benar-benar dibuat mematung, ia terus menggelengkan kepalanya berkali-kali, kedua matanya kembali berkaca-kaca, hendak berlari, namun ia tak bisa pergi.

"Kau sangat cantik malam ini," kata Gavin sembari membenarkan anak rambut Ferisha.

Sebelah tangannya lagi Gavin gunakan untuk menarik pinggang Ferisha hingga tubuh mereka menempel tanpa ada jarak, "Aku sudah menunggu ini selama dua tahun, jadi sebagai gantinya, ayo bercinta dengan ku sebelum aku memperkosa mu," bisik Gavin.

Hidung mereka saling bersentuhan satu sama lain, membuat Ferisha benar-benar ketakutan akan hal ini.

"Jangan lakukan itu, kumohon..." lirih Ferisha dengan sisa keberaniannya.

Air mata Ferisha jatuh tak tertahankan, segera Gavin menghapus air mata itu, "Aku benci air mata mu, baby. Berhenti menangis!" tegasnya dengan begitu dingin.

Gavin menarik Ferisha ke dalam pelukannya, "Kalo begitu, jadilah milikku dan patuhi segala peraturan yang akan aku berikan padamu," ucapnya.

Ferisha mengernyitkan dahinya bingung, mendengar itu kesadaran Ferisha seolah kembali sepenuhnya. Ia mendorong tubuh Gavin hingga menjauh darinya, "Kau ingin aku jadi kekasih mu?"

"Tidak, baby..." balasnya tersenyum tipis, tatapannya seolah tak ingin lepas dari Ferisha, "Aku menjadikan mu, milik ku. Hanya aku yang berhak atas dirimu, mulai sekarang!" sambungnya.

Ferisha lagi-lagi bungkam tanpa sepatah katapun.

Melihat itu, Gavin tersenyum, dia mendongakan kepalanya, menunjuk cctv yang berada di setiap sudut ruangan, "Kau lihat cctv disetiap sudut ruangan ini, bukan? Bagaimana jika aku mengambil adegan pentingnya saja dan menyebarkan ke seluruh dunia, huh? Dan orang yang pertama kali akan melihatnya adalah adik ku, Alodie. Tentunya dia teman baru mu."

Tak ada pilihan lain untuk Ferisha, ia yakin jika Gavin tak akan main-main dengan perkataannya itu, dari raut wajahnya yang menjanjikan, suara berat serta berkharisma membuat Ferisha memberanikan diri untuk mendongakan kepalanya sembari menatap mata sebiru safir itu lekat, "Aku akan menjadi milik mu, tapi ku mohon, jangan sebarkan rekaman cctv itu."