"Yah, sudah jam segini tapi mengapa airin belum pulang juga? Apa ayah tadi jadi menemuinya di sekolah setelah menyerahkan persyaratan sekolah yang belum sempat di kumpulkan?" Tanya Bu Fatma pada suaminya melalui sambungan telpon.
"Apa yang ibu katakan, Airin belum pulang?" Tanya Pak Tara, ayah Airin.
"Iya ayah, Airin belum pulang Ibu khawatir."
Tuan Marcelo yang berada tak jauh dari Pak Tara mengerutkan dahi, bagai manapun Tuan Marcelo hutang budi pak Tara, maka dari itulah Tuan Marcelo tak mengijinkan Pak Tara untuk bekerja di tempat lain, bahkan Tuan Marcelo bersedia membayar dengan gaji yang tinggi agar Pak Tara mau bekerja dengannya.
"Ibu tenang saja, ayah akan mencari Airin." Pak Tara langsung menutup panggilannya, wajahnya menerewang seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Tara." Panggil Tuan Marcelo.
"Iya Tuan."
"Ada apa, sepertinya kamu sedang ada masalah."
"Begini Tuan, Airin belum tiba di rumah padahal saat ini sudah malam, Airin bukan tipe anak yang suka keluyuran, saya menghawatirkan keadaannya." Terang Pak Tara.
"Pulanglah lebih dulu, carilah Airin."
"Lalu anda bagai mana?"
"Jangan khawatirkan aku, nanti biar Aksara yang menjemputku. Kau bawa saja mobilnya."
"Baiklah Tuan, terima kasih atas kemuliaan hati anda."
Pak Tara kemudian berlalu dari ruangan Tuan Marcelo, setibanya di lobby Ia menghubungi anak buahnya untuk segera melacak keberadaan anaknya.
Kereta besi yang di naiki oleh Pak Tara melaju cepat membelah jalanan ibu kota, rasa cemas dan takut menghantui dirinya kini. Walau anak perempuannya itu sudah sangat terlatih, namun ada sesuatun hal yang membuatnya khawatir. Airin takut dengan petir.
"Semoga malam ini tidak hujan." Gumam Pak Tara sambil memutar setir mobil menuju ke gedung sekolah sang anak kesayangan.
Dilain tempat, Tuan Marcelo sed ang menghubungi Aksara untuk menjemputnya di kantor. Aksara dengan senang hati melakukannya karena Ia akan menanyakan secara langsung apa hubungan ayahnya dengan Airin.
"Baiklah papi tunggu." Ucap Tuan Marcelo pada Aksara.
Tuan Marcello merasakan ada sesuatu yang terjadi pada putra kesayangannya itu dapat terlihat dari cara bicara Aksara yang lain dari biasanya.
Tiga puluh menit kemudian, Aksara tiba di kantor sang ayahnya. Langkahnya begitu tegap serta sorot mata yang tajam membuat aura kepemimpinan seorang Aksara sangat menonjol meski usianya yang masih muda.
"Selamat malam, pih.."
"Selamat malam anak papih."
"Tumben papih minta Aksara menjemput papih biasanya diantar sopir atau Pak Tara."
"Pak Tara sedang mencari putrinya."
"Memangnya kemana putri pak Tara?"
"Kamu teman sekolahnya apa kamu tidak kenal? Oya, putri Pak tara baru kelas dua ya, sedang kamu kelas tiga mana mungkin kamu mengenalnya."
Askara hanya diam, meski Ia terkenal di sekolah, namun kepribadiannya yang cuek membuat Ia hanya sedikit mengenal teman di sekolahnya.
"Oya Aksa, kamu tidak acara kan malam ini?"
"Tidak ada pih,"
"Baguslah, kamu duduk lah dulu, papih mau menyelesaikan pekerjaan papih, tangung tinggal sedikit lagi."
"Ok."
"Em, Boleh Aksa bertanya sesuatu pada Papih?" Lanjut Aksa, Tuan Marcelo yang tadi tertunduk menatap berkas di atas meja kini mengalihkan pandangannya pada sang putra.
"Kamu mau bertanya apa?"
"Ada urusan apa papih ke sekolah Aksara tadi?" tanya Aksara langsung tanpa basa basi, memang semenjak kematian sang mamih ayah dan anak itu sudah berjanji untuk saling terbuka satu dengan yang lain, dan tidak boleh ada yang di sembunyikan.
Tuan Marcelo tersenyum, "Oh tadi.. kamu melihat papih rupanya, kenapa kamu tidak langsung menemui papih?" Tuan Marcelo balik bertanya pada Aksara, membuat Aksara kesal.
"Sudahlah, papih tinggal jawab saja kok kenapa malah balik bertanya?"
Tuan Marcelo menghembuskan nafas panjang, "Tadi ayah mampir kesekolahmu, karena Pak Tara harus mengantar berkasyang di minta oleh pihak sekolah berkaitan dengan berkas kepindahan anak nya kesekolah mu, dan anak itu lah yang hingga kini belum kembali."
"Maksud papih?"
Tuan Marcelo menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kerjanya, pandangannya menatap manik mata sang putra yang nampak kebingungan.
"Tadi pagi pihak sekolah menelpon Pak Tara untuk segera melengkapi berkas – berkas milik putrinya yang baru masuk ke sekolah mu, Putri Pak tara pindahan dari Bandung. Pak Tara terpaksa memindahkan istri dan anaknya ke Jakarta ini, karena Pak Tara akan sangat sibuk dengan Papih sehingga bisa dipastikan tidak akan bisa pulang ke Bandung seperti biasanya, maka dari itu Papih memintanya untuk memindahkan sekolah Airin ke sekolahmu."
"Airin?" Aksara melebarkan kedua mata saking terkejutnya.
"Ya, namanya Airin. Kamu masih ingat? Dulu kamu pernah bertemu dengannya tapi kalian masih kecil."
Aksara termenung, ternyata seseorang yang selama ini Ia kenang adalah orang yang selama beberapa hari ini Ia sakiti, bahkan kali ini ia terang – terangan membiarkannya terkunci di dalam toilet seorang diri.
Setelah kesadarannya muncul, Aksara langsung pergi begitu saja dari hadapan sang ayah bahkan pintu ruangan kerja sang ayah sampai terbuka lebar dan tak tertutup.
"Airin maafin gue.. maafin gue." Gumam Aksara dengan berlari secepat yang ia bisa untuk Ia segera sampai ke halaman gedung kantor milik sang ayah.
Setibanya di halaman gedung, Aksara lalu segera menaiki mobilnya menuju ke sekolah tempat di mana Airin terkunci.
"Ya Tuhan Ampuni aku, tolong selamatkan Airin." Ucap Aksara.
Sementara di sekolah, Pak tara telah berhasil mengeluarkan Airin dari dalam toilet.
"Kamu baik – baik saja, sayang?" Tanya Pak Tara pada Airin yang nampak lemas karena rasa lapar dan haus.
"Aku baik – baik saja ayah, tapi bisakah ayah memberi Airin minum atau makanan? Airin sangat lapar dan haus."
"Astaga. Marko ambilkan minuman."
"Baik Bos." Ucap Marko salah satu anak buah Pak Tara.
"Bagai mana kamu bisa terkunci di dalam toilet? Siapa yang melakukan ini?" Tanya Pak Tara
Namun Airin hanya tersenyum kecil, dan tak lama Marko datang dengan membawakan minuman serta roti untuk Airin.
"Ini Bos."
"Terima kasih Marko."
"Minumlah dulu sayang."
Airin langsung menghabiskan satu botol minuman dan sebungkus roti, Pak tara bersyukur anaknya begitu kuat hingga tak terjadi sesuatu yang membahayakan nyawanya.
"Ayo kita pulang." Ajak Airin.
"Baik lah." Jawab Pak tara.
"Marko kau segera hubungi Tuan Marcelo, tanya kan padanya jika belum ada yang menjemput kau jemput saja beliau, dan tolong sampaikan jika Airin baik – baik saja."
"baik Bos."
Marko segera menjalankan apa yang diperintahkan oleh Pak tara, sedang kan pak Tara sendiri langsung mengajak Airin pulang ke rumah mereka.
"Airin, apa kau tidak mau menceritakan sesuatu pada ayah?" Tanya Pak Tara perlahan pada sang putri.
"Cerita apa ayah, kalau soal aku terkunci di sekolah, itu kesalahaku, aku yang ceroboh salah masuk toilet, sudah tahu toilet itu rusak tapi tetap saja aku masuki, akhirnya aku terkunci di dalam." Jawab Airin.
Pak tara tersenyum kecil, Ia tak mau mendesak anaknya walau ia tahu ada seseoranga yang sengaja menguncinya di dalam kamar mandi, bahkan tas sekolah Airin tergeletak di dalam tong sampah. Mungkin tidak akan ada yang menduga, jika tas Airin telah terpasang GPS agar pak Tara mudah dalam mengawasi Airin.
"Sebaik itu hatimu, Nak..."