Malam itu, Wilson dan istrinya menuju rumah Goldi. Mereka heran, begitu banyak orang di rumah Goldi. Orangtua Goldi menyatakan putra tunggalnya sudah hilang sejak seminggu yang lalu, dan mobilnya ditemukan dalam kondisi rusak parah. Hari itu, adalah hari dimana, Cherry dan Goldi akan bertemu dengan Wedding Organiser.
"Oh....Papi ingat, waktu itu, Goldi menjemput Cherry di rumah sakit TNI itu, Mi."
"Terus?" tanya Mami.
"Yaudah...mereka pergi ke WO itu, nah habis itu juga kan, Cherry ga pulang, besokannya Cherry ditemukan babak belur di depan gerbang, kan. Pasti ini ada sangkut pautnya. Ada yang ga beres."
"Apa mereka di rampok?"
"Tapi semua barang mereka ditemukan di mobil. Termasuk punya Cherry."
"Jadi bukan tindakan kriminal, ya?" tukas Papa Goldi.
"Udah ada kepolisian yang menyelidiki?"
"Udah, sejak 2 hari Goldi ga pulang, kami langsung lapor polisi. Tidak ada jejak perampokan sih mereka bilang."
Mama Goldi sama sekali tidak bisa ditanya soal bagaimana perasaannya saat itu. Sudah pasti hancur, anak satu-satunya belum ada kabar yang pasti tentang bagaimana keadaannya dan dimana Goldi saat ini. Mama Goldi hanya menangis hingga matanya bengkak dan sembab. Wajahnya begitu sayu, tidak ada semangat sedikitpun. Setiap hari hanya nama Goldi yang disebutnya. Belum ada sedikitpun jejak yang bisa dijadikan sebagai kunci.
"Satu-satunya yang menjadi saksi adalah Cherry. Tapi, kondisi Cherry sampai saat ini pun, bisa dibilang tidak baik. Dia seperti kehilangan sebagian ingatannya."
"Ya, polisi udah bilang bagaimana kondisi Cherry saat ini, dia juga tidak bisa dijadikan sebab, solanya Cherry aja jadi salah satu korban. Hanya saja, nasibnya masih sedikit lebih bagus dari Goldi, putra kami," jelas Papa Goldi.
"Aku turut prihatin dengan hilangnya Goldi. Bagaimanapun juga, 2 hari lagi mereka akan menikah.Tapi sesuatu menimpa mereka berdua, semoga dari pihak kepolisian segera memberi kabar terkait kasus ini ya, Jeng," hibur Mami sambil mengusap punggung mamanya Goldi.
Mami mencoba menguatkan calon besannya. Membayangkan anak satu-satunya hilang tidak berkabar selama seminggu, siapa yang kuat dengan kenyataan yang seperti itu. Mama Goldi menangis di pelukan Mami. Saking lelahnya, dia menangis hingga ketiduran. Suaminya segera membawanya ke kamar.
"Sudah dua hari, dia ga bisa tidur. Setiap dia pejamkan mata, sepuluh menit kemudian, dia berteriak memanggil Goldi. Rasanya aku sudah ga kuat lagi," jelas Papa Goldi.
"Aku paham betul dengan kondisi yang sangat berat ini, jangankan kamu, kami aja yang melihat Cherry dengan kondisi seperti ini, rasanya hati kami hancur. Menerka apa yang sebenarnya sudah terjadi. Karena setiap kali mamanya bertanya kenapa, Cherry selalu menjawab dengan jawaban yang ngelantur. Ga masuk akal banget,"cerita Papi.
"Sampaikan salamku untuk Cherry, maaf sekali, aku ga bisa jenguk dia, Mama Goldi ga bisa ditinggal, kondisinya terlalu mengkhawatirkan untuk ditinggal sendiri," timpal Papa Goldi.
"Ya, nanti aku sampaikan. Sekali lagi, kami turut berduka cita atas hilangnya Goldi. Semoga segera ada kabar baik ya. Kami pamit dulu."
***
"Bi.... Mami sama Papi mana?" tanya Cherry yang baru saja bangun.
"Emmm.... ada urusan bentar, palingan juga bentar lagi balik," jawab Bia.
Sepertinya ingatan Cherry masih belum pulih. Mana mungkin dia bersikap semanis itu pada Bia. Di sisi lain, kondisi ini menguntungan bagi Bia. Namun, ketika nanti kondisi Cherry sudah kembali, ada dua kemungkinan. Pertama dia akan semakin benci pada Bia, atau, kedua, Cherry akan tetap bersikap baik pada Bia.
Kreeek....
Pintu ruangan dimana Cherry dirawat tiba-tiba terbuka. Tidak ada siapa pun yang masuk, Bia merasa curiga. Awalnya mereka pikir, Mami atau Papi yang sudah kembali. Ternyata tidak. Bia menengok keluar.
"Ga ada siapa-siapa. Tapi gue yakin, tadi seperti ada yang sengaja membuka gagang pintu ini," gumamnya sambil memutar beberapa kali gagang pintu itu.
"Cher... bentar ya, gue cek keluar dulu. Lo tetep di ranjang, jangan kemana-mana sebelum gue balik!" pesan Bia sebelum meninggalkan Cherry.
Dia merasa tidak perlu ada yang di khawatirkan, selain sejauh ini di rasa aman, waktu itu juga pukul 10.00, banyak perawat dan dokter berlalu lalang, kalaupun ada apa-apa, pasti perawat mendengar teriakan Cherry, karena pintu kamarnya sengaja tidak ditutup terlalu rapat oleh Bia.
Begitu Bia agak jauh dari ruangan Cherry, sesuatu terjadi. Sosok hitam seperti asap, menghampiri ranjangnya. Pintu terkunci otomatis, begitu juga dengan semua tirai yang ada di ruangan itu. Seolah dengan sengaja, agar tidak ada yang tau tentang apa yang sedang terjadi di dalma ruangan. Cherry terkejut, dia ketakutan, namun mulutnya terasa dikunci dan gagu. Ia tidak bisa berteriak. Cherry sadar, sesuatu yang buruk akan terjadi. Tiba-tiba saja.....
Cherry sudah di bawa di alam lain, alam yang berbeda dengan manusia.
"Hai, gadis malang! Apa kamu lupa apa tujuanmu?" tanya bayangan hitam itu.
"Tujuan apa?"
"Semua yang sudah kamu mulai, tidak akan berkahir secepat ini. Tidak akan berakhir semudah ini. Masih banyak yang akan menjadi korbanmu!"
Suaranya begitu lantang, disusul tawanya yang begitu menggelegar. Cherry makin ketakutan, dia meringkuk di sudut ruangan. Bukan ruangan, tapi entahlah!
Plak.....
Tamparan keras mendarat di pipi kanannya, membuatnya tersungkur. Sekali lagi.
Plak....
Kini di pipi kirinya. Perih pastinya. Tapi, Cherry berusaha bangkit, dia meminta kejelasan dengan semua yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi, terutama pada dirinya serta keluarganya.
(Tawanya memekakan telinga)
"Dasar gadis pendendam! Apa kamu baru sadar, kalau perbuatanmu salah!"
"Apa maksudmu?"
"Lihat, satu orang yang kamu sayangi, dia adalah korban pertamamu. Akan ada korban-korban berikutnya. Teruslah, teruskanlah dendammu itu. Penuhi hatimu dengan kebencian. Kamu akan menang kemudian menangis!"
Bayangan itu pergi, ruangan kembali normal seperti tidak pernah ada yang terjadi apa pun.
"Lama ya?" tanya Bia yang baru saja masuk.
"Aaaaaak.....!" teriak Cherry sambil memegang bagian hatinya.
"Kenapa? Sakit?" tanya Bia panik.
"Biaaa pergiiii!" Cherry mengusir Bia.
Begitu Bia keluar, Cherry tidak merasakan kesakitan.
"Bi....kok di luar?" tanya Papi yang baru sampai.
"Cherry lagi di periksa dokter, Pi."
"Emang kenapa? Ga boleh di dalem?"
"Iya, Pi."
"Ok, kita tunggu sampai dokter selesai."
Mereka menunggu sampai dokter selesai melakukan pemeriksaan. Katanya, kondisi Cherry sudah membaik, tidak perlu selang oksigen lagi. Tinggal pemulihan saja. Hal yang di rasa bagus bagi orang tua Cherry.
"Pi... bagaimana kalo Cherry tau kondisi Goldi yang hilang, ya?"
"Jangan dulu, Mi. Papi takut dia drop lagi."
"Memangnya kenapa sama tunangan Kak Cherry, Pi?"
"Dia hilang, sejak dia menjemput Cherry waktu Papi berobat ke rumah sakit itu loh, Bi. Katanya mobilnya ditemukan dekat dengan rumah sakit itu. Hancur, penyok, ya gitu lah, ringsek pokonya. Tapi semua barang-barang miliknya, termasuk punya Cherry, utuh, semua ada di mobil."
"Kok aneh ya?!"
"Bia, kamu jangan sekali-kali membicarakan nama Goldi atau semua tentang tunangannya Cherry, ya!"
"Iya, Mi."
Mami dan Papi masuk, Bia tetap di luar. Barangkali itu menjadi waktu bagi mereka bertiga untuk saling memberi pengertian dan memberikan support satu sama lain. Bagaimanapun juga Bia adalah orang baru yang hadir dalam keluarga Wilson.
"Mi....darimana?" tanya Cherry begitu ia melihat Mami dan Papinya datang.
"Emmm....ini, Mami habis nemenin Papi, ada urusan kantor tadi."
"Oh, ini loh Mi. Tadi Sandra nelpon Cherry, katanya seragam bridesmaid-nya belum kebagian. Emang Cherry mau nikah kapan? Terus siapa calon suami Cherry, dimana dia?"
DEG!
"Gimana ini, Pi?" bisik Mami.
"Cepat atau lambat, Cherry akan tau. Lebih baik dia tau dari kita, sekarang."
"Papi yakin? Mami ga tega."
"Biar Papi yang ngasih penjelasan."
"Mi...Pi," seru Cherry, seolah menaruh curiga.
Tiba-tiba Bia masuk, bukan sengaja, tapi karena beberapa wartawan yang memaksa masuk. Sebenarnya Bia tidak mengizinkan, namun, jumlah mereka lebih banyak. Otomatis Bia kalah kuat.
"Oh....jadi itu tunangan Cherry. Kok bisa lupa ya. Dia juga dari tadi di sini, kenapa ga crita. Memang Cherry sama dia baru kenal, Pi?"
"I-iya....kalian memang belum lama kenal."
Mami dan Bia saling tatap, kaget, bingung, sekaligus tidak paham dengan maksud perkataan Papi yang mengiyakan bahwa Bia adalah tunangan Cherry. Wartawan seperti disodori bakso hangat. Berita yang paling up to date, langsung di dapat dari sumber utama. Seketika, ruangan rawat Cherry menjadi ruangan penuh dengan lampu flash.
"Kamu Bia kan?"
"Iya gue Bia."
"Jangan kaku dong, bentar lagi kita menikah loh, Bi."
"I-iya."
Security rumah sakit segera mengusir para wartawan yang sedang meliput. Sudah pasti dengan adanya kehadiran para wartawan, membuat para pasien terganggu, termasuk Cherry.
"Untung aja mereka udah pergi," kata Bia.
"Gimana mereka bisa tau ruangan ini, padahal kan Papi udah merahasikan dari para netizen."
"Maklum lah Pi. Namanya juga netizen, mereka adalah maha tau," jawab Bia.
Sekarang, ruangan itu menjadi hening. Tidak ada suara apa pun, hanya ada empat pasang mata yang saling melempar pandangan. Bia menjadi semakin kaku setelah pengakuan Papi, mungkin keliru, tapi Bia juga merasa sedikit senang. Setidaknya perjalanan cintanya menemukan lampu hijau, meski semua tidak sengaja.
"Bi.... kita harus bicara," bisik Papi.
Bia mengikuti Papi dari belakang. Mami hanya memandang mereka dengan tatapan sinis.
"Haduh..... bakal ada skenario apa lagi ini!" batin Mami.
Mami menggaruk-garuk keningnya yang tidak gatal. Cherry hanya menatap Mami dengan pandangan kosong, tidak menaruh curiga sedikit pun.
***
(Di kantin rumah sakit)
"Bi...maaf, Papi terpaksa begini. Papi bingung, ga tega sama Cherry. Gimana perasaannya kalo sampai tau, calon suaminya hilang, tanpa berkabar. Sedangkan pernikahannya 2 hari lagi."
"Tapi, gimana kalo Cherry inget semuanya?"
"Itu urusan nanti."
Bia sedikit was-was jika sampai pada akhirnya sandiwara yang di susun Papi terbongkar. Bukan hanya membenci Bia, bahkan mungkin tidak akan mau bertemu sama sekali.
"Tapi, aku ga siap untuk menikahi Cherry atau menggantikan posisi tunangannya saat ini."
"Iya, Papi ngerti. Papi bakal atur semuanya."