"Cher....lo kenapa?" tanya Bia sambil menyerahkan kacamata hitam yang diminta.
Setelah melihat wajah Cherry yang berubah, Bia mundur beberapa langkah. Dia tampak ketakutan, benar saja, wajah Cherry begitu mengerikan, wajar bila beberapa orang yang berpapasan dengannya lari tunggang langgang. Sadar dengan perubahan wajah istrinya yang mengerikan, Bia melepaskan hoodienya dan memakaikannya.
"Buruan ikut gue!" ucap Bia sambil menyeret tangan Cherry dan meninggalkan barang bawaan mereka.
"Liat nih wajah lo!" lanjutnya sambil menunjukan kamera depan yang mengarah ke wajahnya.
"Astagaaaa!" teriak Cherry.
Dia tidak mengira, dampaknya akan semengerikan ini. Bola mata yang kemerahan, gigi yang bertaring dan rambut halus mulai memenuhi wajah Cherry.
"Lo kenapa bisa gini?" Bia bertanya-tanya.
Cherry mulai meredakan emosinya. Semua berangsur normal. Dia sadar, semua ini ada kaitannya dengan Bia. Sebelum ini, dia merasa kesal padanya, tidak lama, tubuhnya berubah seperti siluman.
"Untunglah!" gumam Cherry lega.
"Cher, jujur sama gue. Apa yang udah terjadi sama lo?"
"Udahlah, ga ada urusan sama elo. Lo ga perlu tau!"
"Gimana bukan urusan gue, lo tuh udah jadi istri gue. Jadi, setiap apa yang terjadi sama lo, akan jadi urusan gue!" teriak Bia kesal karena ketidak jujuran Cherry.
Biarpun begitu, tidak mungkin dia membeberkan semuanya. Sebab, yang menjadikannya seperti ini tidak lain adalah kehadiran Bia.
"Gimana, lo mau lanjutin perjalanan ini ga?" tanya Bia memberikan penawaran.
Cherry mengangguk. Bia belum mau membahas kejadian aneh yang baru saja mereka alami. Waktunya tidak tepat. Hati kecilnya merasa takut dengan perubahan Cherry yang tiba-tiba.
***
Paris, negara romantis. Keindahan gaya berpakain memanjakan mata mereka dari bandara sampai ke hotel tempat mereka menginap. Belum lagi arsitektur bangunannya yang begitu megah nan mewah. Musim dingin menambah romantisme suasana di negara itu.
"Coba aja, kita datang bersama pasangan yang tepat, ya?" tanya Bia berusaha menyindir Cherry.
"Apa maksud lo ngomong begitu?"
"Ya, lo artiin aja sendiri. Gadis cerdas kaya elo ga mungkin ga bisa ngartiin kalimat sesederhana ini kan?"
"Bia, lo jangan ngerusak hari pertama kita di negara secantik ini deh!"
"Kenapa emangnya? Lo bakalan berubah wujud lagi, ya?"
Bia dengan sengaja memancing emosinya, karena dia merasa curiga, jika emosi itulah yang bisa membuat Cherry berubah menjadi mahluk yang mengerikan.
"Percuma gue marah sama elo. Sia-sia, tau ga!"
"Nah gitu dong. Nikmati aja, seminggu di sini bersama gue. Lo ga akan bisa ngelupain hari-hari indah bareng gue, Cher!"
"Eh ga sudi ya! Inget perjanjian kita, don't touch me! Okay?!"
"Ya....let's wait and see!"
Bia berjalan di depan Cherry. Sepatu berhak tinggi membuat Cherry sedikit kesusahan untuk mengimbangi langkah Bia yang begitu cepat dan panjang.
"Bia...tunggu. Lo ga kasian sama gue?"
"Kasian?"
"Dasar, cowok ga peka!"
Bia berhenti, kemudian menoleh ke arah Cherry. Melihatnya berjalan dengan terseok-seok sambil menyeret koper kecilnya. Belum lagi, mantel bulunya yang lumayan berat.
"Jadi lo butuh gue?" ledek Bia.
"Gue ga butuh lo, yang gue butuhin cuma bantuan dari elo, buat bawain koper gue. Bawain ga! Kalo engga gue bilangin ke papi nih," ucap Cherry.
"Dasar! Selain galak, lo tukang ngadu juga ternyata!"
"Bodo amat, terserah apa kata lo, Bi... buruan ga!!!"
"Minta tolong maksa, ga sopan lagi!" imbuh Bia.
Meski kesal dengan Cherry, Bia tetap memberi bantuan yang diperlukan oleh istri barunya.
"Harusnya, cewek sesangar lo, bawa koper sekecil ini ga ada masalah, Cher!"
Tidak ada tanggapan dari Cherry. Dia sadar, jika dia memang seorang wanita biasa yang butuh perhatian dan pertolongan serta tempat bermanja-manja. Beda cerita, ketika ilmu turunannya sedang menguasai dirinya. Di saat seperti itu, dia tak memerlukan siapa pun, jika perlu, jangan ada yang mendekat agar tidak ada korban seperti halnya nasib Goldi. Seseorang yang seharusnya menjadi suaminya, namun justru hilang nyawa karena ulahnya sendiri. Meski begitu, Cherry belum juga sadar, bahwa kekuatan supranaturalnya bisa memakan korban lebih banyak lagi. Tidak menutup kemungkinan, dirinya sendiri yang akan menjadi korbannya.
Akhirnya, mereka sampai di hotel yang sudah di booking oleh assistan kantornya papi. Pullman Paris Tour Eiffel, salah satu hotel bintang empat terbaik di sana. Hotel itu terletak di kaki Menara Eiffel dan Trocadero. Hotel yang sangat cocok untuk pasangan pengantin baru seperti Cherry dan Bia. Ruangan kamarnya didekorasi dengan gaya kontemporer, menampilkan pemandangan panorama Paris, terutama Menara Eiffel. Pullman Paris terletak hanya 5 menit berjalan kaki dari Menara Eiffel. Hotel itu terletak 600 meter dari Stasiun Metro Bir-Hakeim menawarkan akses langsung ke Arc de Triomphe, Champs Élysées, dan Museum Louvre. Merupakan hotel idaman bagi setiap pasangan. Keindahan dan kenyamanan yang setara dengan harga hotel itu (sekitar enam jutaan untuk satu malam).
"Lo ga salah Bi. Harusnya kita disini dengan pasangan yang tepat!" ucap Cherry sambil melemparkan tubuhnya yang ramping di ranjang berkasur super empuk dengan hiasan mawar merah yang sudah di susun sedemikian rupa, untuk kamar khusus pengantin baru.
"Emang gue tuh selalu bener," jawab Bia sombong.
"Awas, minggir lo!" usir Bia sambil menggulingkan badan Cherry.
Meski dalam hatinya bahagia dan begitu tergoda melihat Cherry terbaring dengan pakaian khasnya, Bia berusaha bersikap dingin untuk menjaga image-nya bahwa ia juga "terpaksa" menikah dengan gadis itu.
"Heh! Tutup pusar lo. Mending bagus aja!" dengus Bia sambil melemparkan selimut tebal di ujung ranjang itu.
"Ih biarin aja sih, gue cape pake mantel berat ini seharian, badan gue pada sakit, pegel!" gumam Cherry sambil terus berguling kesana kemari.
"Cher, pesenin gue makanan, by phone aja kalo lo males turun!"
"Dih enak aja! Pesen aja sendiri. Gue capek, lo ga liat kaki gue bengkak gini!"
"Gue suami lo. Jangan ngebantah! Lo ga liat pundak hue hampir patah karena lo kerasukan!" balas Bia.
Cherry mengalah, dia akhirnya turun ke restoran di lantai dasar. Sedangkan kamar mereka ada di lantai 13.
"Kurang ajar si Bia. Baru juga jadi suami gue 2 hari, udah berani nyuruh-nyuruh gue. Mana jauh lagi! Betis gue bisa-bisa.makin gede kaya tukang becak."
Cherry terus menggerutu, dia lupa kalau bisa pesan makanan lewat telpon di kamarnya. Tiga puluh menit kemudian, dia datang dengan beberapa mwnu uang sangat menggiurkan.
"Biiiaaaa!!!"
Bia yang ketiduran karena menunggu Cherry kembali dengan makanan yang ia bawa, kaget dan langsung dalam posisi berdiri.
"Apaan sih! Bikin kaget aja!"
"Kenapa lo ga bilang bisa pesen lewat service room!" gerutu Cherry sambil membanting makanan itu ke lantai.
"Gue kan udah bilang di awal. Elo keburu emosi, terus turun. Yaudah, dimana salahnya!"
Bia memungut bungkusan yang berisi makanan itu. Seolah-olah tidak peduli dengan ocehan Cherry.
"Dia marah, tapi ga berubah," batin Bia sambil menyantap makanan yang sudah di belikan oleh Cherry.
Bia masih menerka-nerka, apa yang menyebabkan Cherry bisa berubah menjadi mengerikan ketika ia marah, sedangkan sekarang, ia tidak berubah menjadi apapun. Tapi, demi menjaga perasaannya, dia melakukan pengamatan itu dengan diam-diam. Bia mendekatkan wajahnya dengan wajah Cherry. Diamatinya bola matanya yang tetap kecoklatan, dibuka mulutnya, giginya masih rapih, tidak ada tanda-tanda berubah menjadi taring. Tubuhnya juga tetap mulus, tidak muncul bulu-bulu seperti waktu di bandara tadi. Kemudian dia mengangguk-angguk sendiri, kemudian melanjutkan makannya.
"Lo ngapain?"
Bia hanya menggeleng. Berpaling tanpa memperhatikan ekspresi Cherry selanjutnya.
"Apa yang sebenernya terjadi sama dia, apa dia kena kutukan. Tapi, kenapa Papi ga pernah cerita ini ke gue?" gumamnya.
"Lo ngomong apaan, Bia?"
"Enggak, gue ngomong sendiri!"
"Sana mandi!" usir Bia kemudian.
Sebenernya dia mengalihkan arah pembicaraannya saja. Ia tidak mau membahasnya berlarut-larut. Biar ia pecahkan sendiri rasa penasarannya dengan perubahan wujud Cherry yang mendadak. Begitu juga dengan kekuatan aneh yang kadang ada dalam dirinya.
"Shiit! Gue kejebak dalam keadaan yang kayak gimana sih!"
***
23.00 (Waktu Bagian Prancis)
"Nih selimut sama bantal buat lo!"
Cherry melemparkannya dengan kasar. Bia yang baru keluar dari kamar mandi, kaget dan hampir terjatuh.
"Astaga! Kasar banget sih jadi cewek!"
"Terus aja ngatain gue!"
"Apaan nih? Buat apa?"
"Selama kita di sini, lo tidur di bawah!"
"Hellloooooo..... ini Prancis, Cherry!!!! Kalo di Jakarta gue masih terima tidur di lantai, udara sedingin ini, lo nyuruh gue tidur di lantai? Lo mau bunuh gue?!"
"Ya terus, lo minta gue buat tidur seranjang sama elo?"
"Ya emangnya kenapa? Kita kan suami istri yang sah."
"T-tapiii....."
"Udah...ga pake tapi-tapi! Awas lo, geser! Tenang, gue ga akan menyentuh lo sedikit pun!"
Baik Cherry maupun Bia sama-sama tidak bisa tidur. Mereka sama gelisahnya. Satu menghadap ke kiri dan yang lain menghadap ke kanan. Suatu kebetulan mereka dalam kondisi berhadap-hadapan.
"Eee..... sorry, gue ga bisa tidur!" kata Bia.
"Sama!"
Keduanya bangun.
"Gue keluar ya, biar lo bisa istirahat."
"Hm!" jawab Cherry pendek.
Bia memasang ikatan perbannya di pundak sambil menggerutu dan menahan sakit.
"Untung, udah jadi istri gue! Coba kalo belum!"
"Ehm...."
"Kenapa?"
"Elo yang kenapa? Orang kerjaannya ngegerutu mulu," sahut Cherry.
"Engga, gue cuma kesel aja!"
Bia segera pergi meninggalkan Cherry sendirian di kamar. Dia berjalan menyusuri jalanan paris. Berharap bisa menghapus ingatan jelek akan Cherry. Begitu pula Cherry, bukan karena kehadiran Bia di kamar yang membuatnya tidak bisa tidur, tetapi karena hati dan otaknya yang mulai tidak sinkron. Beberapa kali ia melawan sesuatu yang mulai menguasai dirinya, itu membuatnya merasa sakit di bagian jantung dan livernya. Cherry mulai merasakan kesakitan yang luar biasa lagi. Ia mengerang kesakitan sambil meremas bagian dada kirinya.
"Mungkin ini yang dimaksud olehnya, aaarghh..."
Cherry jatuh di lantai balkon, dia tidak sadarkan diri. Dinginnya kota Paris menusuk tulangnya. Membuatnya makin tak bisa berkutik.
"Gue bakalan mati disini, ditengah keindahan Kota Paris!"