Kondisi yang sama pada lintas benua. Sama-sama sedang mempertaruhkan nyawa. Doa dan harapan terbaik tentunya saling di layangkan oleh si penunggunya.
"Cher....please! Apa lo denger gue?"
Badannya yang semakin dingin, membuat Bia semakin ketakutan dengan kemungkinan terburuk yang terjadi. Alat medis yang lengkap dan modern tertempel di badan Cherry. Penanganan dokter di Paris luar biasa cekatan. Dengan alat serba modern dan keprofesionalan mereka, semua pasien ditangani dengan sempurna, tanpa terkecuali.
Tiiiiiiit....
Sebuah alarm dari Elektrokardiogram terdengar begitu mengerikan. Terlihat sebuah grafik lurus yang berjalan dan berbunyi sangat nyaring. Semua dokter yang menangani Cherry segera mengambil tindakan. Perawat dengan sigap mengambil alat pacu jantung. Beberapa kali, alat itu di tempelkan di dada Cherry, tentu dengan kekuatan kejut yang berbeda.
"Monsieur! Pardon!" ucap sang dokter setelah beberapa kali percobaan.
"Oui."
"Mademoiselle est morte."
"Sérieuse?"
"Pardonnez-nous."
Kaki Bia terasa lemas. Dia jatuh tersimpuh tepat di hadapan dokter. Bia menghubungi orang tua Cherry, yang kini juga adalah orangtuanya.
"Mi, angkat dong!" mohon Bia.
Di Indonesia, di Surabaya tepatnya. Situasi yang tidak kalah mencekam juga sedang di rasakan oleh Wilson dan istrinya. Sudah lebih dari satu jam, mereka berada di depan ruangan bertuliskan IGD. Namun kabar belum juga di berikan oleh dokter yang menangani Melani di dalam sana.
"Lama sekali dokternya, mudah-mudahan....semua baik-baik aja," pinta Wilson pasrah.
Tiba-tiba pintu IGD dibuka, seorang dokter yang kelihatannya sudah senior melepas masker dan kaca matanya. Sambil mengelap peluh yang menetes di keningnya.
"Anda keluarga pasien?" tanyanya.
"Iya, Dok. Bagaimana?"
Dokter menarik nafas dalam-dalam sebelum pada akhirnya memberikan sebuah informasi penting yang sedang ditunggu-tunggu.
"Pasien tidak tertolong," sesal dokter.
"Coba periksa sekali lagi!" pinta Wilson.
"Maaf, kami sudah lakukan yang terbaik yang kami bisa. Sebelum kami memvonis kematian pasien, kami sudah melakukan serangkaian prosedur yang biasa kami gunakan di rumah sakit ini. Kami turut berduka cita, atas meninggalnya pasien. Silakan," ucap dokter sambil mempersilakan Wilson untuk masuk ke dalam ruangan tindakan.
Wajah pucat yang kini sudah tak bernyawa. Wanita yang sempat singgah di hatinya, meski hanya untuk sementara dan hanya meninggalkan luka. Wilson begitu terpukul atas kepergian Melani. Dia menciumi tangan wanita yang kini hanya berupa jazad tak bernyawa. Nyonya Wilson hanya bisa memandangi suaminya dari kejauhan. Mengusap air matanya, lalu pergi.
"Lalu, bagaimana sekarang?" gumamnya sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
Kesedihan. Entah untuk kepergian wanita bernama Melani, atau karena sang suami menangisi sebuah jazad yang tak lagi mampu mengungkap kebenaran.
"Mas....apa kamu sadar tentang apa yang kamu lakukan sekarang? Apa kamu juga akan berbuat sama, jika aku yang menjadi dia? Aku sakit, Mas!"
Perawat mendorong ranjang dari kamar IGD menuju ruang jenazah dengan sesosok jazad yang sudah ditutupi dengan kain putih. Wilson keluar dengan wajah tertunduk. Kemudian duduk bersebelahan dengan istrinya.
"Mas...." ucap Nyonya Wilson. Kali ini suaranya lebih lembut.
Tanpa menoleh, Wilson mengisyaratkan kepada istrinya untuk tidak berbicara apa pun. Nyonya Wilson mencoba mengerti keadaan. Untuk membuang waktunya, dia menyalakan ponsel yang dari kemarin sengaja ia matikan. Ada lebih dari 30 panggilan tak terjawab dari Bia. Ada sebuah notifikasi pesan masuk lewat salah satu aplikasi chatting.
"Tumben Bia menelponku sebanyak ini. Ada apa ya, perasaanku jadi ga tenang. Mas.... Bia nelpon kamu?"
"Ponselku mati, Mi. Lowbat, kenapa?" tanya Wilson.
"Ga tau, dari kemarin nih. Eh ada chat juga. Sebentar!"
Hanphone Mami terjatuh, tiba-tiba menangis histeris, sejadi-jadinya. Wilson yang bingung dengan tangisan istrinya, segera memungut ponsel yang terjatuh di dekat kakinya.
"Astaga!!"
Ekspresi Wilson begitu depresi dan sulit percaya dengan kabar yang baru saja ia terima. Ia segera menghubungi Bia. Namun sayang, nomer Bia tidak bisa dihubungi, panggilan selalu dialihkan.
"Ya Tuhan! Ujian macam apa ini, baru saja kabar Melani meninggal terdengar di telingaku, kini Engkau panggil Cherry, putri kesayanganku! Apa ini hukuman untukku, Tuhan!" batin Wilson.
Tidak tahan dengan semuanya, Wilson menumpahkan air matanya. Akhirnya mereka saling berpelukan, meluapkan kesedihan yang sama.
***
Pukul 20.00 (Waktu Bagian Paris)
"Mami nelpon, gue harus gimana, ya?" ucap Bia sambil memegangi jidatnya. Dia masih bingung apa yang haru Bia tenggelam dalam kesedihannya selepas kepergian Cherry.
Dalam ruangan yang sama, Bia masih belum yakin bahwa Cherry telah tiada. Dia belum rela, petugas mengurusi jenazah istrinya itu. Tangan Bia masih erat menggenggam tangan lentik milik istrinya. Perawat dan dokter yang bertugas sengaja meninggalkan Bia dan jasad untuk memberikan waktu, mungkin sekadar memberikan ucapan atau kata-kata terakhir. Meski sebenarnya, secara medis, itu sudah tidak berguna. Barangkali, secara spiritual, bisa saja, ucapan itu akan sampai.
"Cher... kalo emang lo ga bahagia dengan pernikahan ini, gue rela melepaskan elo! Asalkan lo jangan pergi, kembali Cher... Mami sama Papi lebih membutuhkan kehadiran lo. Pasti mereka belum siap kehilangan lo! Banyak harapan-harapan yang mereka gantungakan pada elo, Cher! Please ... lo harus bangun!"
Air mata Bia menetes tepat di wajah Cherry.
"Cher... tangan lo!"
"Dok-dokter!" teriak Bia histeris memanggil dokter yang sudah meninggalkan ruang tindakan terlebih dahulu.
Mendengar sebuah teriakan, dokter langsung memutar haluan dan segera kembali.
"Cette femme n'est pas morte!"
"J'ai vérifié la santé de cette femme."
"Oui."
Sepertinya sebuah keajaiban telah datang. Mungkinkah ini karena ketulusan cinta Bia pada Cherry. Air mata yang terjatuh itu, bisa jadi adalah asal mula keajaiban itu.
"Elle vit."
Dokter itu meneteskan air matanya, dia ikut terharu dan takjub dengan sebuah keajaiban yang ia lihat di depan matanya sendiri.
"Ouh....Cherry!" seru Bia yang langsung memeluk tubuh Cherry yang mulai kembali terasa hangat.
"Happy rebirth!" ucap dokter sambil menyalami Bia.
"This is magic!" timpal Bia.
Selang oksigen segera dipasang untuk membantu pernapasan Cherry yang masih belum stabil. Cairan infus dan alat-alat medis lainnya juga segera dipasang untuk membantu Cherry menuju proses kestabilan jaringan darahnya yang sempat berhenti total selama beberapa jam. Perlahan, Cherry membuka matanya. Dia ingat semuanya. Termasuk ketika ia terjatuh saat di balkon. Ingatan tentang Bia, semua tergambar jelas di memorinya. Bahkan dia juga tau, janji Bia sewaktu dia dinyatakan telah meninggal oleh dokter. Tangannya bergerak perlahan, menghapus air mata Bia yang sempat menetes dan membasahi pipi Cherry.
"Bi...lo nangis?" lirih suaranya terdengar.
Bia tidak memberikan jawaban. Rasanya masih seperti mimpi, melihat Cherry yang baru saja ia tangisi atas kepergiannya, sekarang, gadis yang terbaring di hadapannya bisa kembali berbicara dengannya.
"Bia, gue mau pulang ke Indo."
Malam itu juga, Bia membooking tiket penerbangan ke Indonesia. Bia segera memberi kabar ke orangtua Cherry.
"Astaga! Gue lupa, gue harus ngabarin Mami sama Papi."
Mami dan Papi yang masih berada di Surabaya, yang masih menunggu kabar lanjutan dari Bia tentang kondisi Cherry akhirnya menerima berita bahagia dari mereka.
"Pi.....lihat, chat dari Bia!" ucap Mami nelangsa.
Tanpa berkata-kata, Wilson memeluk istrinya dengan dekapan yang sangat hangat.
"Keajaiban Tuhan telah datang!" ucap mereka berdua.
Di hari yang sama, Wilson dan istrinya melakukan penerbangan dari Surabaya ke Jakarta. Sedangakan Cherry dan Bia melakukan penerbangan dari Prancis-Jakarta dengan pesawat khusus karena kondisi Cherry dikhawatirkan akan menurun lagi. Sebelum mereka sampai di Soekarno Hatta, Wilson dan Istrinya telah lebih dulu sampai di sana. Mereka sengaja menunggu kedatangan anak-anaknya.
"Cherry.....sayang!!!" seru Mami begitu melihat Cherry yang di dorong dengan kursi roda oleh Bia. Wajahnya kini sudah kembali merona setelah sempat menjadi mayat untuk beberapa jam.
"Bia...apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Papi tidak sabaran.
Tidak ada jawaban dari Bia. Justru dia bersujud di kaki Wilson dan istrinya, seraya menangis tak terbendung lagi.
"Bia kenapa? Jawab Papi, ceritakan semua, apa yang terjadi?" desak Papi.
"Maafkan aku, Pi. Aku ga bisa jagain Cherry dengan baik."
Bia menangis tergugu. Cherry menatap Bia dengan pandangan yang mengerikan.
"Dia nangisin gue?" batinnya.
Sosok laki-laki berbadan tinggi dengan dada yang bidang, wajah tampan, berkulit putih dengan kumis tipis, kini menangisi seorang gadis yang terlahir kembali entah menjadi sosok yang seperti apa lagi.
"Cherry ga bahagia dengan pernikahan ini, Pi. Kini, ingatannya sudah benar-benar kembali, dia bisa mengingat dan menerima kondisi Goldi sebagai tunangannya yang sampai sekarang belum ada kabar. Dia tau siapa aku sebenarnya aku. Barangkali Cherry mau mengakhiri hubungan pernikahan ini, aku siap. Aku rela melepas Cherry, Pi!" jelas Bia bersungguh-sungguh.
Mami dan Papi kaget dengan penjelasan dari Bia.
"Gue ga akan cerai sama elo, Bi!" ucap Cherry tiba-tiba.
Bia yang masih tertunduk di lantai dekat kaki Papi, menoleh terheran-heran dengan keputusan Cherry yang ingin tetap mempertahankan pernikahan mereka. Padahal dia tau, betapa bencinya Cherry terhadap dirinya.
"Papi setuju dengan Cherry. Tetaplah bersamanya. Jaga Cherry sekali lagi. Papi yakin, kamu bisa menjaga Cherry. Bia, Papi titipkan Cherry padamu, berjanjilah, selalu bersama!"
Mami masih bersikap dingin pada keadaan dan situasi yang sedang memanas. Tangannya semakin erat memegang tangan Cherry, meski Mami ragu dengan keputusan Cherry, tapi dia tidak menyela apa pun.
"Ayo, kita pulang. Pasti kamu capek habis perjalanan jauh."
Entah apa yang sedang ada dalam pikiran masing-masing orang. Yang jelas mereka dalam kondisi yang masih saling menjaga satu sama lain.
"Sebaiknya, kita jangan beritau kabar soal ibu kandungnya dulu ya, Mi," bisik Wilson.
Nyonya Wilson hanya mengangguk, dia sungguh tidak berselera membicarakan hal semacam itu. Terlebih dengan kondisi Cherry, putri kandung mereka yang baru saja kembali dari kematian pertamanya.
"Aku tau waktu, Mas. Lagian, aku tidak berniat menceritakan apapun kepada siapa pun."
Satu pintu kebenaran telah hilang, artinya peluang mengungkap siapa Bia sebenarnya makin sedikit. Tidak mungkin juga, Bia bisa tau siapa ayahnya yang sebenarnya. Bia juga hanya seorang anak yang tidak bisa memilih dilahirkan dari orangtua yang seperti apa.