"Hai ... Bi, kamu kemana aja, aku cariin loh dari tadi," ucap Cherry sambil bergelayut manja ke pundak Bia.
"Che-Cherry!"
"Kamu mau bilang apa ke Papi?"
"Mmm ... itu, ga jadi ya Pi."
"Apa? Kamu mau bilang apa?"
"Ah ga jadi, ini Cherry udah ketemu. Tadi aku mau nanya Cherry ke Papi."
"Oo... ternyata kalian sudah ada kontak batin ya. Papi senang liat kalian akur. Yaudah, Papi pergi dulu ya, mau ke apotek sebentar. Obat Mami habis. Bi ... pulanglah dengan Cherry, Papi minta maaf ya, please!"
"Bia ... pulang ya!"
Jika sudah Cherry yang meminta, tidak mungkin ia menolak. Secara, Bia sudah tau betapa mengerikannya Cherry ketika sudah berubah menjadi sosok yang lain. Papi pergi meninggalkan mereka. Kini hanya ada Cherry dan Bia.
"Bi!" panggil Cherry ketika Bia hendak meninggalkannya.
"A-apa?"
"Lo kenapa, kayak ketakutan gitu. Abis liat setan?"
Bia tidak langsung menjawab, dia mengamati Cherry, lebih dekat lagi. Dipegangnya pipi itu. Sambil mengangguk-angguk kemudian menggeleng, beberapa kali ia melakukan gerakan yang sama.
"Bia!" Cherry menjerit kesal.
Karena kaget, Bia sampai berjingkrak. Mungkin bayangan Cherry sebelum ini masih jelas terekam dalam otaknya. Bahkan cengkraman tangan Cherry di lehernya pun masih terasa begitu jelas.
"Lo ga berniat bunuh gue lagi, kan?"
"Tergantung!"
"Eh, serius Cher!"
"Berhubung lo udah tau semuanya, sekarang lo ikut gue!"
"Ta-tapi mobil gue?"
"Lo lebih sayang mobil apa nyawa?"
Tidak ada pilihan lain, sedikit tergesa-gesa ia mengikuti langkah Cherry yang sudah lebih dulu berjalan ke tempat dimana mobilnya diparkir. Mereka berdua kini berada dalam mobil yang sama. Bulu kuduk Bia tiba-tiba berdiri, melihat serpihan kaca spionnya yang masih tercecer di dalam mobil.
"Cher ... ini ulah lo ya?"
"Bukan!"
"Serius, gue nanya ini!"
"Kalo iya kenapa?"
"Mmm ... nanti gue bawa ke bengkel biar di ganti aama dibersihkan pecahan kaca ini."
"Good. Gue suka Bia yang seperti ini!"
Cherry mencium punggung tangan kanan Bia. Tangannya dingin dan basah.
"Kenapa lo?"
"G-gue ...."
"Tenang, gue ga berniat bunuh lo, Bi!"
"Cherr... sumpah deh! Kita cerei aja ya, gue mau balik ke Surabaya!"
"Kan gue busa ikut lo ke Surabaya!"
"Ng-ngapain. Lo kan ga suka sama gue."
"Suka atau engga, cinta atau engga, semua bisa diciptakan Bia. Kita bisa mulai dari sekarang."
Jari telunjuk Cherry mengangkat dagu Bia yang ditumbuhi rambut-rambut tipis. Bia sungguh gemetaran. Dia tidak bisa menolak lagi. Dia tidak mau membuat Cherry marah dan berubah menjadi monster yang mengerikan seperti di hutan tadi.
"Gimana Bi?"
"Terserah lo Cher!"
"Ok! Kita makan sebentar ya. Ada yang perlu gue sampein ke elo, Bi!"
"Hmm ...."
Sampailah mereka di sebuah restoran yang tidak jauh dari rumah Cherry. Setelah mereka memesan makanan, Cherry menyeret kursinya, menempel di samping kursi Bia.
"Bia, udah ga ada lagi yang patut gue sembunyiin. Udah ga ada rahasia lagi. Semuanya udah lo tau. Bahkan sisi terburuk dalam hidup gue. Sekarang, semua terserah lo. Lo mau menjaga rahasia ini atau ga, dan lo pasti tau akibatnya kan?"
"Jadi ceritanya lo ngancem gue?"
"Ga juga. Tapi terserah lo sih, kalo lo anggap ini sebagai ancaman, bagus juga!"
"Sebenarnya lo itu kenapa sih Cher? Dari mana lo dapet semua kekuatan lo yang mengerikan begini?"
"Penyebabnya ito lo sama nyokap lo itu!"
"Gue sama Mama? Please, apapun itu, jangan bawa-bawa Mama gue dalam masalah ini. Mama gue udah tenang di alam sana. Gue ga yakin apa yang ngebuat lo sebenci ini sama gue," ucap Bia.
"Yaudah yok pulang, urusan gue udah kelar!"
"Heh! Tapi pesenan kita belum dateng?"
"Biarin aja, ayo buruan!"
Setengah menggerutu, Bia mengikuti Cherry. Kali ini, Bia mengambil alih kemudi sedan silver kesayangan Cherry.
"Loh, kok lurus?"
"Bengkel dulu. Mami bisa kena pecahan kaca kalo naik mobil lo."
Cherry tidak bertanya lagi. Persoal keselamatan Mami nomer satu baginya. Sudah harga mati. Bia membawa mobil Cherry ke salah satu bengkel mobil terbaik di Jakarta Pusat. Lokasinya cukup strategis, banyak juga pengunjungnya. Mereka mendapat antrian yang lumayan membutuhkan kesabaran untuk menunggu.
"Kita kesana bentar ya, daripada borring nunggu disini."
Sebuah taman bunga tidak jauh dari bengkel tersebut.
"Lo sering kesini?" tanya Cherry membuka pembicaraan.
"Lumayan. Ini bengkel langganan gue sama Papi."
"Lo sama Papi?"
"Iya."
"Seberapa sering kalian jalan berdua."
"Mmmm.... lumayan jarang sih. Papi selalu memilih waktu yang tepat buat ngajak gue jalan, sebelum gue tinggal di rumah kalian. Katanya, takut merebut waktu buat lo sama Mami."
"Masa sih? Yang gue liat ga gitu. Papi kalo pergi ya pergi aja. Ada aja alesannya. Yang ketemu klien, yang ini yang itu. Banyak lah."
"Ga gitu tau. Papi selalu cerita semuanya ke gue tentang gimana kondisi rumahnya ke gue. Tentang bagaimana pencapaian lo di kantor. Tentang gimana kondisi Mami saat itu. Malah gue lebih paham kondisi keluarga lo daripada kondisi mama kandung gue."
"Oh ya... soal itu, lo sebenernya penasaran ga sih sama siapa orang tua kandung lo, terutama bokap lo. Lo tau kan, kalo sedarah, ga mungkin kita bisa melanjutkan pernikahan kita."
"Sejak gue tau apa itu tes DNA, gu sering banget minta ini ke Papi, tapi dia selalu nolak dengan berbagai alasan."
"Terus?"
"Terus apa?"
Plaaaak!
"Sorry ada nyamuk di jidat lo!"
"Lo sengaja pengin nampol gue aja kan, bukan karena ada nyamuk beneran?!"
"Astaga ... lo bawaannya curigaan mulu ke gue. Mana mungkin gue nampol lo Cher ... gue kan say--"
"Sayang?"
"Eh ... Cher, darah lo kok ga merah?" ucap Bia yang kaget melihat darah bekas hisapan nyamuk itu berwarna hitam.
Karena penasaran, Cherry mengusap dahinya, melihatnya dengan seksama.
"Bener, darah gue udah ga merah lagi," batin Cherry.
"Cher... lo ga apa-apa, kan?"
"Gu-gue ga apa-apa. Lo apa-apain sih, ini tuh kena nyamuk, makanya kelihatan agak item. Jangan ngaco lo!"
Cherry beranjak dari tempat duduknya. Entah Bia benar-benar percaya dengan ucapan Cherry atau sengaja melupakannya, kemudian mengejar Cherry.
"Cher ... Cherry!"
Cherry tidak peduli dengan panggilan itu. Yang ada, Cherry semakin mempercepat langkahnya, mungkin sengaja menghindari Bia. Daaaan ... sreeeet ... seekor burung gagak mendekati Cherry, bertengger di kepala dan mematuk bekas gigitan nyamuk di dahinya.
"Awww ... tolong!" Cherry berteriak.
Sejak dulu, Cherry memang tidak begitu suka dengan burung. Semanis dan secantik apa pun burungnya, tidak akan merubah pandangan Cherry tentang burung. Bia memotong sebuah ranting pohon kering untuk mengusirnya. Gagak itu justru semakin cepat mematuk dahi Cherry. Cherry sampai berguling-guling untuk mengusir burung itu.