"Pi ... perasaanku ga enak. Coba Papi telpon Cherry deh, kalau aku yang telpon pasti dia ga angkat telponnya," pinta Bia.
"Ga aktif Bi!"
Mereka menjadi cemas karenanya. Papi mencoba menghubungi istrinya yang menyusul Cherry.
"Mi, udah di rumah? Cherry udah sampai?" tanya Papi bertubi-tubi.
"Baru aja sampai. Tapi kata security Cherry belum sampai."
"Ok ... Mami hati-hati di rumah, ya!" pesan Papi.
Tanpa menaruh curiga atau pertanyaan lainnya. Mami begitu santai menjawab pertanyaan suaminya. Pikirnya wajar saja kalau Cherry belum sampai rumah.
"Paling dia mampir shopping dulu atau duduk di cafe sama temen-temennya dari pada stress mikirin Papi."
Bia makin tidak tenang.
"Pi, apa malam inibaku udah boleh pulang?" tanya Bia.
"Ya, seharusnya siang tadi kita bisa pergi, tapi ...."
"Ok, bagus kalo gitu."
"Bi ... ta-tapi ...."
Bia begitu bersemangat mengemasi barangnya yang tidak banyak. Mereka berdua segera pergi. Bia mengambil alih mobil papi.
"Kamu yakin? Nanti kamu ga bisa konsen loh, kepalamu masih harus rileks."
"Aman, Pi!" Bia memaksa.
Seperti biasa, Papi pasti menyetujui apa pun keinginan Bia.
"Jangan terlalu cepat!"
Bia mengabaikan saran papi. Hanya ada satu rute menuju rumah mereka. Tapi feeling Bia sangatlah kuat. Dia mengikuti nalurinya. Entah apa yang membisikinya, hingga ia memilih jalur lain, jalur yang dilewati Cherry dengan sopir taxi online itu.
"Eh ... ini bukan arah pulang loh!" seru Papi.
"Iya, Pi. Aku tahu!"
Semakin kencang mobil itu melaju.
"Bia, pelan! Kepalamu belum sembuh bener loh!"
Sambil terus mengemudikan mobil itu, mata Bia dengan jeli melihat setiap mobil yang berhenti di tepi jalan. Tidak banyak mobil yang mau melewati jalur itu lantaran kondisi jalan yang begitu rusak.
"Bia ... ini jalan terburuk di kota ini loh. Ngapain kamu lewat sini sih!"
"Bentar, Pi!"
Ciiiiit ....
Mobil itu tiba-tiba mengerem mendadak.
"Aduh!"
"Maaf, Pi!"
Bia bergegas turun dan menghampiri mobil yang terparkir di pinggir jalan. Harusnya di ruas kiri, tapi sebaliknya. Mobil itu tampak normal dan biasa saja di mata papi atau mata orang lain. Tetapi berbeda dengan Bia. Dia menemukan beberapa kejanggalan.
Tok tok tok ....
Bia mengetuk kaca mobil dan menempelkan mukanya ke kaca. Papi hanya melihat Bia dari dalam mobil, tanpa curiga bahwa yang di dalam mobil yang terparkir itu adalah putrinya.
"Cher ...!"
Bia mencoba membuka mobilnya, namun gagal. Terpaksa ia mencari sebuah batu yang cukup besar untuk memecahkannya.
Pyar ...!
"Berhasil!"
Bia segera membopong Cherry yang sudah tidak sadarkan diri. Papi ikutan panik melihat Bia yang tiba-tiba menggendong Cherry.
"Cherry!"
Kali ini, Papi mengambil alih kemudi. Bia memangku Cherry di kursi belakang. Bia sengaja menutupi wajah Cherry yang masih bertaring.
"Gimana kondisi Cherry, Bi?"
"Masih pingsan sepertinya."
"Kita kembali ke rumah sakit?"
"Jangan, sebaiknya ke rumah aja, Pi!"
Tanpa berdebat, Papi meluncur menuju arah rumahnya. Sudah pasti jalan terdekat yang ia pilih. Sepanjang perjalanan, Bia berusaha membangunkan Cherry dengan pelan. Akhirnya usaha Bia berhasil.
"Bi ...," ucapnya lirih.
"Sstt ...."
Bia memberikan isyarat pada Cherry agar Papi tidak mengetahui bahwa Cherry sudah siuman. Bia tidak ingin Papi melihat Cherry dengan wujud lainnya. Bia memberikan kamera ponselnya. Cherry segera sadar, bahwa kondisinya sangat buruk. Ia segera menutup area mulutnya agar tarinya tidak terlihat oleh Papi. Perjalanan yang begitu singkat, membuat Cherry tidak mempunyai waktu untuk mengubah wajahnya menjadi normal kembali. Sebisa mungkin ia menutupi wajahnya. Begitu sampai di rumah, Bia langsung membawa Cherry ke kamarnya.
"Loh ... Bia, Cherry kenapa?"
"Nanti aku ceritain, aku bawa Cherry ke atas dulu, Mi."
Mami menghampiri Papi yang baru masuk. Cukup tertinggal bila dibandingkan Bia yang sudah masuk lebih dulu.
"Pi ... ada apa ini. Kenapa Cherry bisa pulang bareng kalian?"
"Papi juga ga tau, Papi hanya mengikuti Bia aja. Bia yang nemuin Cherry pingsan di dalam mobil yang terparkir di sepanjang jalan yang berlawanan arah dengan rumah kita."
"Kok?"
"Mungkin itu taxi online yang dipesan dari rumah sakit itu loh, Mi. Papi ga yakin sih, apa yang terjadi dengan mereka."
"Kenapa Bia bisa tau mereka disana?"
Kali ini Papi hanya menggeleng. Bukan karena tidak mau menjawab, tetapi memang sejak tadi mereka bertemu Cherry, belum ada satu pun informasi yang mereka dapatkan.
***
Cherry keluar dari kamar mandinya dengan wajah yang sudah kembali cantik sebagai seorang gadis normal pastinya.
"Gimana perasaan lo?" tanya Bia.
"Better. Gimana lo tau gue ada disana?"
Bia menggeleng, tidak ada yang bisa ia ceritakan banyak pada Cherry. Ia memang hanya mengikuti nalurinya saja. Perkara datangnya dari mana naluri itu, Bia sendiri gagal memahaminya. Ia benar-benar jalan tanpa arah yang jelas waktu itu.
"By the way, thank's ya!"
Akhirnya kata-kata itu keluar untuk pertama kalinya dari mulut Cherry. Bia senyum dan bahagia setengah mati hanya karena ucapan terimakasih dari mulut Cherry, yang ia ucapkan secara sadar.
"Mami dan Papi nunggu lo di bawah, lo mau turun?"
"Gue ga tau harus ngomong apa."
"Mmm... yaudah gue yang turun. Lo disini aja!"
Bia menemui Mami dan Papi untuk memberikan penjelasan yang lebih masuk akal.
"Cherry udah baikan, Bi?"
"Udah Mi. Tapi, dia langsung tidur. Katanya, kepalanya pusing."
"Kenapa dia pingsan?" tanya Papi.
"Mmm... soal itu. Ternyata, sopir taxi yang ia pesan adalah orang minim akhlak, Pi. Cherry sempet berkelahi sama dia. Beruntung, ia yang menang."
"Terus nasib sopirnya gimana?"
"Biarin aja, orang begitu mah, ga usah diurusin. Ga perlu dikasihani!"
Papi dan Mami percaya 100% pada cerita karangan Bia. Bja membawakan segelas susu dan sereal untuk makan malam Cherry di kamarnya.
"Gimana tanggapan Papi sama Mami?"
"Lo ga perlu raguin kemampuan gue, Cher!"
"Jadi, maksud lo, mereka percaya sama cerita lo yang bulshit itu?"
"Jangan gitu. Lo udah berhutang banyak sama gue!"
"Iya."
"Sekarang, giliran lo yang cerita sebenernya ke gue!"
"Mmm ... ga penting buat lo, Bi."
"Gue udah bilang, apa yang lo hadapi, akan menjadi penting buat gue!"
"Ok ... kalo lo maksa. Ini ada kaitannya sama Mami, ada sesuatu yang mengendalikan sopir brengsek itu. Awalnya dia bersikap biasa aja, tapi hati gue memberontak. Lo tau kan, ilmu penjaga gue! Singkatnya, gue berantem sama mahluk jahat yang menguasai tubuh si sopir. Gue ga bisa ngendaliin diru buat ga ngebunuh orang itu. Yaudah, mau ga mau mereka berdua lenyap bersamaan."
"Ja-jadiii ... lo beneran bunuh orang itu? Gue kira dia juga pingsan, sama kaya elo!"
"Lo tenang aja, gerakan gue ga berjejak! Kecuali sidik jari lo yang tertinggal di sana. Maka, udah pasti lo yang jadi tersangka tunggal tindakan pembunuhan ini!"
"Eh gila lo! Gue bahkan ga gau apa-apa soal ini. Gue kan cuma tolongin nyawa lo Cher!"
"Gue tau. Itu kan versi lo. Beda lagi kalo versi polisi. Mereka akan melakuka investigasi pastinya. And ... you know, what happen!"
"Shit! Ini ga masuk akal."
"Lo nyesel udah nolongin gue? Terlambat Bia!"