Chereads / JANGAN DENDAM, JIKA RINDU / Chapter 22 - Kebusukan Yang Terbongkar

Chapter 22 - Kebusukan Yang Terbongkar

Sampai detik ini, Bia belum mengetahui tentang berita kematian ibu kandungnya. Yang dia tau, ibunya memang sudah lama sakit keras. Yang ternyata, di akhir hayatnya, ia di vonis mengidap kanker rahim stadium akhir dan flek paru-paru. Namun, semasa hidupnya, ia enggan menerima bantuan dari putranya, Bia. Bahkan wanita itu, kerap kali mengusir Bia dengan kasar. Mungkin demi menjaga perasaan Bia agar tidak semakin tersakiti, baik olehnya atau oleh suami sirinya yang sekarang telah mengabaikan dirinya. Bahkan dia tidak ada di saat-saat terakhir hidupnya.

"Kenapa gue keinget Mama ya?" gumamnya di suatu malam menjelang tidur.

Bia membuka dompet kulitnya. Sebuah foto wanita yang masih terlihat sangat cantik dipandanginya dengan penuh cinta. Satu-satunya foto Melani yang ia punya. Foto saat Melani, ibu kandungnya tengah mengandung dirinya.

"Ma ... aku kangen!"

Bia merencanakan akan melakukan penerbangan esok hari, tentu saja tanpa sepengetahuan Papi, terlebih Cherry. Meski Cherry tidak ingin mengakhiri pernikahannya dengan Bia, bukan berarti ia menerima Bia begitu saja. Bahkan, belakangan, setelah mereka pulang dari Paris, Cherry bersikap lebih dingin. Seolah-olah menganggap Bia tidak ada, padahal dia sendiri yang ingin mempertahankan kelanjutan pernikahan itu.

"Kalo bukan gue sayang dan ngehormatin Papi, pasti gue udah nyerein Cherry!" gumamnya kesal, setiap kali diacuhkan oleh istrinya.

Cherry akan selalu memutar balikan fakta ketika Bia mencoba menyalahkan semua keputusannya.

"Semua butuh proses! Begitu juga perasaan gue, cinta ga bisa dipaksain kan! Lo sendiri yang udah ngucapin janji di hadapan semua orang, sekarang lo mau ninggalin gue begitu aja!?" Kata-kata itu adalah jurus andalan Cherry.

Jika sudah begitu, otomatis Bia akan segera diam dan memilih untuk mengalah. Mana mungkin dia tega menyakiti hati Papi, orang yang sudah dianggapnya sebagai papi kandungnya. Cherry terlihat lebih mengerikan dari sebelumnya. Dia seperti mayat hidup. Dingin, tidak berperasaan.

***

Bia sampai di Surabaya, dengan tekad yang bulat, ia mengunjungi appartemen yang biasa mamanya tempati.

"Loh ... ga biasanya, pintunya dikunci ganda begini," gumamnya.

"Om ... penghuni kamar ini, dimana ya?" tanyanya pada salah seorang yang menempati appartemen di sebelahnya.

"Ibu Melani kan udah meninggal, seminggu yang lalu lah. Waktu itu, sempat diantar ke rumah sakit sama Pak Wil, sama satu perempuan, paruh baya lah, ga jauh beda umurnya sama Bu Mel. Orangnya cantik, putih, rambutnya segini (sambil memeragakan perawakan Nyonya Wilson). Emang situ siapanya Bu Mel?" tanyanya.

"Meninggal?"

Belum sempat Bia menjelaskan siapa dirinya, dia sudah menghilang dari hadapan si penghuni appartemen sebelah. Hancur hati Bia mendengar kata-kata itu. Sebuah kata yang paling mengerikan saat ini. Ia masih teringat, saat dokter ahli di rumah sakit Paris mengatakan hal yang sama atas Cherry. Saat itu dunianya hancur, tapi ternyata, kali ini lebih menyakitkan. Dia tidak membersamai di waktu terakhir ibu kandungnya.

"Anak macem apa gue. Dimana gue saat Mama sekarat?"

Bia menampari wajahnya hingga memerah. Tidak ada yang lebih menyedihkan, selain anak yang tidak sempat meminta maaf pada orangtuanya. Tidak ada yang lebih menyedihkan ketika seorang anak tidak bisa menemani waktu-waktu terakhir ibunya di dunia ini. Dengan langkah yang berat, Bia berziarah di pemakanam umum dekat appartemen itu.

"Ma ... apa yang udah terjadi? Kenapa Mama ga bilang ke aku kalo Mama sakit parah? Kenapa ga ada yang ngasih tau aku, kalo Mama sedang sekarat? Kenapa, Ma? Dimana lelaki bajingan itu? Apa dia juga ga tau, kalo Mama kesakitan dan akhirnya meninggal? Harusnya dari awal, aku tau, kalo dia bukan laki-laki yang baik, aku ga akan izinkan Mama buat dinikahi oleh si brengsek itu!!"

Bia memukuli gundukan tanah yang masih merah itu. Mungkin, Melani juga tengah menyaksikan anaknya yang sedang marah padanya. Atau juga, malaikat, turut mengutuk dirinya, yang tidak sanggup merawat anak kandungnya dengan baik. Juga, menghukumnya atas perbuatan-perbuatan Melani semasa hidupnya, yang sudah menghancurkan kebahagiaan sebuah keluarga, dimana sekarang Bia sudah menjadi anak menantunya.

"Tuhan! Hidup ini ga adil! Aku belum sempat berbuat baik pada Mama, tapi, Engkau lebih dulu memanggilnya."

Bengkak matanya seperti habis dipukuli oleh sekerumunan preman pasar. Tapi, siapa peduli penampilan Bia. Hatinya sedang terluka, lebih sakit dari bengkak matanya akibat menangis tiada henti. Ia seperti sedang dikhianati oleh sebuah drama.

"Aaaaaargggghhh!!" teriaknya.

Teriakan terakhirnya di Surabaya, kota kelahirannya. Kota di mana ia dibesarkan dengan penuh drama dan tragedi. Kota di mana ia merasa dinkhianati oleh dunia. Kota dimana ibu kandungnya, menghembuskan nafas terakhirnya tanpa keluarga yang mencintainya dengan tulus.

***

Bia kembali ke Jakarta di hari yang sama. Mukanya lusuh dan begitu pucat. Memasuki rumah, tanpa salam, apalagi senyum. Melihat Bia yang murung, Papi mengikutinya hingga kamar.

"Bi ... are you okay?"

"Yes!" jawabnya berbohong.

"Cerita sama Papi. Kamu dari mana? Kemana saja kamu seharian, pulang selarut ini?" desak Papi.

Bia masih diam. Antara sedih dan kecewa menjadi satu.

Bug!

Sebuah hantaman mendarat tepat di pipi kanan Papi. Papi tersungkur dan menabrak pintu kamar Bia. Cherry yang sedang berada di dapur, tidak sengaja mendengar keributan itu, Cherry mencoba mencari tau tanpa mendekat. Dengan kekuatan yang lebih super, kini Cherry bisa melihat sesuatu tanpa berada di tempat kejadian berlangsung.

"Papi!"

Cherry langsung mendobrak kamar Bia yang tertutup.

"Papi!" teriaknya begitu berhasil masuk ke sana

Tampak Papi yang kesakitan akibat pukulan Bia. Sudah jelas Papi tidak akan melawan perlakuan Bia.

"Bia! Kenapa lo lakuin ini ke papi?" tanya Cherry penuh emosi.

"Cherry, kenapa kamu disini? Tinggalkan kami berdua. Ini urusan laki-laki. Kamu ga perlu tau, please ... keluar."

"Cherry ga akan kemana-mana tanpa Papi. Papi jangan diem aja!"

Sekali lagi, Cherry menggunakan indera keenamnya untuk mengetahui apa yang telah terjadi sebelumnya. Tidak seperti biasanya, Bia yang begitu sopan dan ramah, menjadi laki-laki penuh emosi dan murka. Terlebih emosinya kepada Wilson, orang yang selama ini dianggap sebagai papinya sendirinya.

Plaaaak ....

Cherry melayangkan sebuah tamparan untuk membalaskan papinya.

"Buat lo yang udah nonjok Papi!" gumamnya.

"Pi, kenapa Papi ga ngasih tau aja sih ke Bia. Seenggaknya dia tau kabar kalo mamanya udah ga ada. Kenapa Papi sama Mami harus menutupi ini dari Bia!"

"Kamu tau dari mana, Cher?" tanya Papi heran. Padahal dirinya dan istrinya sudah berjanji belum akan menceritakan hal ini pada siapa pun. Terutama Bia.

"Ga penting, Pi."

Kemudia Cherry pergi meninggalkan keduanya. Baik Papi maupun Bia tampak masih bingung, darimana Cherry mengetahui semuanya. Padahal setelah ia pulang dari Paris, Cherry belum pernah pergi kemanapun.

"Pi ... kenapa? Kenapa Papi ga bilang kalo Mama udah meninggal?" tanya Bia dengan tangis yang tertahan.

"Maafkan Papi, Bi. Sebenernya Papi ga tega untuk bilang soal hal ini. Kejadiannya begitu cepat. Ini juga bertepatan dengan kabar Cherry yang sempat meninggal waktu kalian di Paris. Kamu aja lagi di luar negeri. Disana kamu mengurusi Cherry yang kondisinya sama dengan Mamamu di Surabaya. Mau gimana lagi, semua sudah menjadi takdir Tuhan."

"Tapi seenggaknya, Papi bisa ceritakan ini ketika aku dan Cherry pulang."

"Hei, Papi punya hati! Mana mungkin Papi tega menambah kesedihanmu setelah sempat kehilangan Cherry saat itu. Papi beruntung masih bisa melihatnya kembali ke rumah ini dalam keadaan sehat. Tapi, maaf bukannya Papi mau merahasiakan ini dari kamu. Papi nunggu waktu yang tepat buat ngasih tau masalah ini."

"Tapi sampai sekarang, belum kan? Malah aku tau kabar meninggalnya Mama dari orang yang tinggal di sebelah appartemen. Sampai kapan Papi mau nyembunyiin ini, seandainya aku ga ke Surabaya, aku ga akan pernah tau. Iya kan, Pi. Papi jahat!"

Bia mengusir Papi dari kamarnya. Cherry bahagia dengan kondisi Bia dan papinya yang sedang berseteru.

"Akhirnya kalian hancur dengan sendirinya! Teruskan saja pertengkaran kalian!" gumam Cherry dari dalam kamarnya.

Deg!

Kepala Cherry tiba-tiba terasa nyeri. Seperti sesuatu memukulnya dan tepat mengenai bagian otaknya.

"Aw!" Cherry menyeringai.

"Kepala gue sakit banget!" lanjutnya.

Mami yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya, melihat Cherry yang kesakitan.

"Kenapa Cher?"

"Ga apa-apa, Mi."

Cherry tau, ini adalah efeknya bila terlalu sering menggunakan indra keenamnya secara berdekatan dan terlalu sering. Sebenarnya itu bukanlah murni indra keenam, itu adalah kekuatan supranatural yang dititipkan oleh kakek buyutnya. Dan kekuatan itu selalu minta imbalan atas apa yang sudah ia berikan. Cherry berpura-pura semua baik-baik saja di depan Maminya.

"Bener kamu ga apa-apa?"

"Iya, Mi."

"Papi lagi berantem sama Bia, Cher."

"Aku tau, gara-gara kematian mamanya yang dirahasiakan sama Papi itu."

"Kok kamu bisa tau?"

"Aku kan tadi di sana, Mi. Biar tau rasa mereka berdua. Liat tuh, Tuhan aja ngehukum wanita penggoda itu kan. Sekarang tinggal mereka saling menyalahkan satu sama lain. Biarin aja, Mi, gausah diadem-ademin!"

Mereka mempunyai tujuan yang sama. Namun perilaku mereka berbeda. Yang satu bisa menahan amarahnya. Yang satu menanam dendam yang begitu mendalam, hingga kekuatan dari luar tergoda untuk mengendalikan dirinya.

"Mi...Mami dapet apa sepulang menemui wanita itu?" tanya Cherry penasaran.

"Ga banyak, tapi cukup membuat Papi marah padanya."

"Soal?"

"Bahwa dia juga tidak benar-benar yakin, kalo Bia adalah anaknya dengan Papimu. Soalnya si Melani itu bilang, kalau di saat bersamaan dia juga mengencani beberapa laki-laki. Dan itu, baru diceritakannya di ujung nafasnya. Bahkan hingga anaknya sebesar ini."

"Jadi?"

"Ya belum tau, siapa bapaknya."

"Sesusah itu buat tes DNA antara Papi dengan Bia, ya?"

"Ga tau, Papi nolak mati-matian. Yaudah, kamu istirahat. Jangan begadang! Ingat kesehatanmu, ya! Mami pergi."

Kreeek.....

"Bia, ngapain lo ke kamar gue? Lo kan punya kamar sendiri!"

"Tenang, gue ga akan lama! Gue cuma mau ambil barang-barang gue aja."

Bia mengemasi bajunyanyang berada di lemari. Dimasukannya di dalam koper besar.

"Lo mau kemana?"

"Peduli apa lo sama gue?"

Senyum penuh kemenangan menghiasi wajah Cherry.

"Ga perlu susah-susah gue ngusir dia dari rumah ini!"