Chereads / JANGAN DENDAM, JIKA RINDU / Chapter 20 - IGD

Chapter 20 - IGD

Saat Cherry dengan kondisi yang hampir mati karena membeku di pinggiran balkon di kamar hotelnya, kondisi sebaliknya dialami oleh Wilson dan istrinya. Keadaan semakin memanas seiring waktu keberangkatan mereka dari bandara Soekarno Hatta menuju ke Surabaya.

"Mami yakin mau ke Surabaya?"

"Kenapa? Papi takut?"

Karena istrinya sama keras kepalanya dengan dirinya, tidak ada cara lain untuk menolak keinginan tersebut. Mereka menuju bandara dengan hati yang panas. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Merasa bosan, Mami membuka percakapan, tapi justru membuat suasana makin keruh.

"Papi udah bilang kita mau kesana?" tanya Mami mulai membuka percakapan.

"Bilang siapa?"

"Ya kali aja, barangkali Papi punya rencana lain, agar semua rahasia kalian tetap aman, gitu kan?"

"Mami kok mikirnya begitu?"

Mami membuat jarak dengan Papi. Mereka berdua seperti sejoli muda yang sedang bertengkar karena salah paham. Tidak ada yang mau mengalah. Beruntung, sebuah peringatan untuk semua calon penumpang jurusan Surabaya harus segera menuju security cek, untuk memeriksa boarding pass masing-masing penumpang.

"Biar Mami yang bawa koper sendiri," ucap Mami sambil menarik koper miliknya.

Papi menahannya, merasa tidak pantas membiarkan istrinya membawa koper yang lumayan besar itu sendirian.

"Ga perlu! Kamu masih punya aku, aku suamimu."

Mami mengalah, dia berjalan tepat di belakang Papi. Sambil terus menggerutu tidak jelas. Papi mengabaikan istrinya.

"Anggap aja, aku ga denger apa pun!" gumamnya.

"Kamu memang sering mengabaikan aku, kan?"

Untungnya Papi masih bisa menahan diri, dia sadar, posisi mereka sedang di tempat umum. Mustahil mereka bertengkar lebih hebat dari ini. Yang ada, justru akan membuat malu diri sendiri.

"Mi..Mi, kamu udah tua loh. Kelakuanmu masih aja begini. Dasar keras kepala!"

Entah siapa yang patut disalahkan. Si istri tidak akan bersikap keras kepala, jika suaminya terbuka dan tidak berkhianat, tidak macam-macam dengan wanita lain. Mereka sama-sama tua, dewasa, dan tau mana yang tidak perlu dilakukan. Tapi, ketika setan lebih menguasai, nafsunya yang akan menang, logika tidaklah begitu berarti. Masalah hati, pikirnya bisa diajak berkompromi, tapi nyatanya justru saling menyakiti.

Perjalanan satu setengah jam, membuat Wilson dan istrinya seperti kanebo kering.

"Pak...." sapa seseorang di bandara.

"Ya, kita langsung ke apartemen!" ajak Wilson.

Cak Nun, sopir kepercayaan Papi, sejak 20 tahun lalu. Dia masih setia mengabdikan dirinya untuk Wilson. Meski sekarang bukan lagi menjadi sopir, tapi khusus hari itu, Cak Nun di-booking sebagai sopirnya untuk beberapa hari ke depan.

"Ada urusan penting ya, Pak. Tumben ke Surabaya?" tanya Cak Nun basa-basi.

Rupanya, Cak Nun juga merasakan suasana yang begitu mencekam. Padahal mereka berada di dalam mobil yang cukup nyaman, tapi suasana begitu ngeri, seperti sedang mengendarai mobil dengan rem blong. Hanya terdengar detakkan jarum jam tangan milik Wilson.

"Cak Nun, fokus nyopir aja," pinta Mami.

"I-iya, Bu. Maaf."

Perjalanan 30 menit terasa seperti perjalanan berjam-jam lamanya.

"Silakan, Pak!" ucap Cak Nun sambil membukakan pintu mobil untuk kedua majikannya.

Seperti layaknya seorang sopir pada umumnya, Cak Nun menunggu urusan majikannya selesai sambil ngopi dan merokok di kantin seberang appartemen. Wilson dan istrinya menuju sebuah kamar di lantai 6 gedung itu. Tampak sepi bak tak berpenghuni.

"Mana kuncinya, sini aku yang buka."

Wilson memberikan sebuah kunci duplikat kepada istrinya dengan ragu.

"Buruan!"

"Iya!" jawab Papi tak mau kalah keras.

Beberapa kali, mami mencoba kunci itu, tapi selalu gagal.

"Kok ga bisa?" umpat Mami sambil membanting kuncinya hingga terpental.

"Makanya jadi orang yang sabar! Jangan gedein emosi aja!" bentak Wilson kesal.

Ceklek..

Benar memang, pepatah mengatakan, wanita mengedepankan emosi dan hatinya sedangkan lelaki menggunakan akal dan logikanya untuk menyelesaikan masalah.

"Begitu aja ga bisa!" lanjut Wilson.

Mereka memasuki apartemen itu. Apartemen yang tadinya nyaman dan asri, kini bau, lembab dan berantakan seperti tidak terurus. Plastik sisa makanan ada di mana-mana. Gelas sisa kopi, menumpuk di wastafel. Belum lagi sampah lainnya yang sepertinya mulai membusuk di pojokan dapur. Baju dan celana yang bergelantungan, sungguh membuat mata menjadi sakit saat memandangnya.

"Ya Tuhann.....jorok banget sih!"

Wilson menyingkirkan tumpukan baju-baju kotor yang menumpuk di atas sofa mahalnya.

"Ini pasti kelakuan si begundal itu!" gumam Papi.

"Hmm...?"

"Suami sirinya Melani," jawab Wilson.

Sepertinya Mami lupa atau bahkan ia tidak tau kalo Melani, ibu kandung Bia telah menikah secara siri dengan seorang pria. Tiba-tiba terdengar suara batuk yang begitu berat dari salah satu kamar. Mereka menghampiru sumber suara itu.

"Mel!" ucap Wilson kaget dengan kondisi Melani.

Mami masih berdiri di ambang pintu, menyaksikan dua insan saling bertemu. Entang saling melepas rindu atau merasa malu karena sudah berbuat dosa.

"Kamu sakit?"

"Iya."

"Dimana suamimu?"

"Minggat!"

Kondisi Melani sangat memprihatinkan, kurus dan kumal. Suaranya begitu berat, barangkali karena batuknya. Rambutnya lusuh, tak beraturan, hanya digulung seadanya menggunakan karet gelang. Bajunya sudah bau apek, mungkin sudah dipakainya beberapa hari yang lalu.

"Dimana laki-laki itu?" tanya Wilson mengulanginya.

"Aku ga tau, m-mas..... hidup atau mati saja, aku u-udah g-ga peduli.... uhuk uhuk uhuk (batuk berdarah). Udah em-pat bu-lan, dia ga ngasih ka-kabar," ucap Melani terbata-bata.

Sedih melihat kondisi wanita itu, tapi Nyonya Wilson tetaplah sebagai korban yang mengalami luka hati yang lebih susah di obati. Dua manusia yang pernah dan sedang melukainya tengah berbincang dari hati ke hati, di depan ke dua matanya. Wilson sebenernya adalah sosok pria berhati lembut, mungkin sampai seterusnya akan tetap begitu. Tapi, kadang-kadang dia mengabaikan perasaan orang terdekatnya untuk menolong seseorang. Seperti saat ini. Bahkan di depan istrinya, ia berani memegang tangan Melani. Hati wanita mana yang bisa melihat suaminya memegang tangan perempuan selain dirinya. Tidak tahan lagi, Nyonya Wilson menangis tanpa suara di balik dinding kamar, tempat di mana si wanita itu terbaring.

"Hiks...hiks....sakit hatiku mas, di depanku aja kamu bisa memegang tangannya, apa yang kamu lakukan jika di belakangku? Apa aku salah, jika aku merasa sakit hati seperti ini?" rintihnya dalam tangis.

Dasar Melani, sekali penggoda, tetaplah menggoda. Meski tengah sekarat, dia masih bisa menggaet hati Wilson.

"Mas Wil...kamu masih sa-ma, tetap ga-gah seperti du-dulu ya.." bisiknya, sambil dibubuhi senyum tipis dari bibirnya yang kering dan pucat.

"Ssttt.....!"

Wilson tau, wanita di depannya tengah di ujung maut. Dia tidak mau mendengar begitu banyak bualan dari mulutnya.

"Mas, Bia sehat?"

Wilson hanya mengangguk.

"Kamu dan is-istrimu ada urusan a-pa mencariku kesini?"

Berat rasanya Wilson ingin memberitau semuanya pada Melani. Tapi, memang itulah tujuannya jauh-jauh terbang dari Jakarta-Surabaya.

"Aku ingin tau yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Mas Wil?" Dengan suara lantang Nyonya Wilson mengatakannya, tanpa ragu sedikit pun.

"Aku dan Mas Wil sudah ga ada hu-bungan apa-apa, Mba...." jawab Melani.

"Sekarang, mungkin iya. Dulu?"

"Mi....kamu tega dengan kondisinya yang seperti ini?" hardik Wilson.

"Kenapa, Mas? Bukankah tujuan kita kesini itu untuk mengklarifikasi semuanya. Aku ingin tau semua kebenarannya. Aku ingin tau, sampai mana hubungan kalian."

"Ya Tuhan! Mami!"

Seolah tak lagi peduli dengan larangan suaminya, Nyonya Wilson mengeluarkan semua unek-uneknya.

"Apa yang ingin kamu tau, Mba?"

"Seperti apa hubunganmu dengan Mas Wil?"

"Seperti yang kamu lihat."

Nyonya Wilson mulai menitikan air mata.

"Apa Bia anakmu dengan Mas Wil?" lanjutnya dengan suara bergetar.

"A-aku ga yakin."

"Apa maksudmu?"

"Aku ragu, apa Bia hasil perbuatan Mas Wil atau laki-laki lain," jelas Melani.

"Jadi kamu mengencani banyak pria lain di saat yang sama?" tanya Wilson kaget.

"Maaf."

Nyonya Wilson tertawa dalam tangisnya. Itu mengerikan untuk seorang wanita. Membayangkan betapa sakit hatinya saat mengetahui semuanya.

"Kenapa kamu baru bilang soal ini, Mel?!"

"Ka-kamu ga pernah mau denger penjelasan dari aku, kan?"

Wilson tidak kalah terkejut dengan kenyataan pahit itu. Entah siapa yang paling merasa dirugikan.

"Melani...Melani, dasar kamu wanita...." ucapannya terputus mendengar batuknya yang makin menjadi.

Darah merah kecoklatan keluar dari mulutnya. Wilson dan istrinya panik, salah satu dari mereka menelpon ambulans. Lima belas menit setelahnya, ambulans datang.

"Mi, please tunda dulu ya, kondisinya tidak memungkinkan," cegah Wilson.

"Iya, Mami tau diri, kok."

Mereka menunggui seseorang yang menyebabkan keretakan rumah tangga mereka. Di depan ruang IGD, mereka merapalkan doa atau mungkin sumpah serapah kepada Melani. Antara berharap kesembuhannya atau mendoakannya agar cepat mati. Tidak ada raut wajah sedih di wajah Nyonya Wilson. Beda halnya dengan Wilson, dia merasa sangat terpukul dengan keadaan wanita paruh baya itu. Entah sebagai ibu kandung Bia atau sebagai seseorang yang pernah terperangkap dalam jeratannya.

"Huh!" Wilson menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa? Takut ya ditinggal sama wanita itu?" ledek Mami.

"Mi, jangan keterlaluan, kamu ya! Tolong lihat sikon. Jangan ngasal aja. Kamu juga udah tua, harus banyak ibadah, jangan cuma mikirin emosi aja bisanya!"

Tidak tahan dengan sikap suaminya, ia meninggalkannya di depan ruang IGD. Memilih untuk tidak mendengar dan melihat apa pun yang akan terjadi setelah ini.

"Aku ga tau lagi, apa rumah tanggaku dengan Mas Wil bisa bertahan atau akan berakhir dengan cara yang seperti ini."

Sambil menyeruput teh hangatnya, dia membuka ponselnya.

"Bia? Kenapa dia nelpon aku? Apa jangan-jangan ada sesuatu yang sedang terjadi pada Cherry? Telpon balik ga ya?" gumamnya, sambil ragu-ragu untuk menghubungi Bia atau tidak.

****

(Paris)

"Mami kok ga ngangkat telpon gue sih? Ini ponselnya Cherry ga bisa dibuka lagi, apa coba paswordnya, pake di kunci segala sih, emangnya ada yang berani buka ponselnya?" gerutu Bia.

Bukan pertama kalinya, Bia mendapati Cherry dalam kondisi di ambang maut. Juga hal aneh yang kerap kali terjadi padanya.

"Cherry Cherry, baru juga dua hari lo jadi istri gue, tapi setiap saat lo bikin gue jantungan. Mati muda gue! Hey....bangun dong!" Bia menggosok-gosok tangan Cherry yang sedingin es.