Tatapan yang penuh CINTA.
Mungkin saat itulah, mulut Bia tidak bisa berucap apapun, hanya mata yang berbicara. Pandangan yang saling bertemu. Sejak kejadian itu, Cherry menjadi bersikap lembut pada Bia. Meski itu tidaklah tulus dan bukan dari hati nuraninya, setidaknya Bia bisa merasakan kelembutan dari Cherry.
"Lihat dia! Sekarang dia adalah calon suamimu. Apa kamu senang, sayang?"
"Entahlah Mi.... Cherry bingung."
Mami paham dan memaklumi, sebenarnya perasaan Mami pun dilanda keraguan. Bia anak yang belum pasti memiliki hubungan darah dengan suaminya, kini akan menikahi putri tunggalnya. Mami memeluk Cherry, menetes air mata mereka. Entah sedih atau bahagia.
"Silahkan kesana!" bisik WO.
Digandeng Mami, Cherry melangkah, duduk di samping Bia yang sudah bersiap melantunkan ijab qobul. Sebuah meja kecil dengan cover putih di hiasi mawar putih. Ada Papi dan penghulu yang duduk berhadapan dengan mereka. Banyak pasangan mata yang menatap mereka. Semua pandangan tertuju pada Cherry yang tampak ayu dan anggun dengan kebaya berpayet kristal swarovski. Baik Cherry ataupun Bia menarik nafas panjang.
"Siap?" tanya penghulu.
Semua mengangguk, kecuali Cherry.
"Ya Tuhan.....inikah takdir gue? Kenapa perasaan gue ga bahagia. Apa gue terpaksa menikah dengan Bia? Apa sebenarnya yang terjadi, kenapa gue ga bisa inget semua yang udah gue alami sama dia," batin Cherry.
"Cher....kami siap?" tegur Papi.
"Ya." (Jawaban yang begitu pasrah namun belum ikhlas)
"Saya nikahkan, anak saya, Cherry Mozaiq Wilson binti Wilson Abraham dengan Bia Arkanda Putra bin...(terjeda) bin Melani dengan mas kawin perhiasan 100 gram emas 24 karat dan sejumlah uang sebesar dua belas juta dua ratus dua puluh dua ribu rupiah dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Cherry Mozaiq Wilson binti Wilson Abraham dengan mas kawin tersebut di bayar tunai."
"Bagaimana, saksi, sah?" tanya penghulu.
"SAAAAAH!"
"Alhamdulillah..... (doa untuk pengantin dari penghulu yang di-aamiin-kan oleh semua yang hadir dalam acara ijab qobul)."
Waktu begitu cepat berlalu. Satu kali ikrar, Bia sudah sah menjadi suami Cherry. Air mata Mami bercucuran, melepas anak satu-satunya di tangan laki-laki yang pernah dan masih dibencinya. Begitu pula Cherry. Tidak seperti pada umumnya para pengantin baru yang melakukan ritual first kiss, Bia masih tidak yakin bahwa sekarang ia resmi menjadi suami dari seorang gadis yang menaruh benci padanya. Dengan ragu, Cherry meraih tangan Bia untuk dicium. Tapi, begitu Bia mengusap kepala Cherry dan mencium keningnya, dia menjerit kesakitan.
"Awwww.....!" teriak Cherry.
Semua kaget.
"Pelan-pelan, Mas Bia!" ledek penghulu.
Otomatis semua yang menyaksikan tertawa, menyambut gurauan si penghulu.
Saatnya Cherry mengganti kebayanya dengan gaun pilihannya (dengan Goldi) waktu mereka fitting baju. Tentu saja, kali ini dibantu oleh Bia, laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya.
"Mas Bia, nanti bantu Neng Cherry untuk memakai gaunnya ya...."
"Tapi, Tan..." sangkal Bia.
"Ga apa-apa, kalian kan udah jadi suami istri. Itung-itung belajar ngelepas baju istri, persiapan nanti malam," ledek MUA.
Bia dan Cherry malu-malu. Pipinya memerah. Mereka masuk ke kamar ganti.
"Mau gue bantu?" tanya Bia menawarkan bantuan.
"Ga, bisa sendiri kok!" jawab Cherry dingin.
Pertama-tama Cherry melepas kebayanya, tidak terlalu sulit untuk dilakukan sendiri. Kemudian, saatnya ia mengenakan gaun berwarna merah maroon, kali ini, Cherry tidak bisa melakukannya sendiri. Mau tidak mau, dia memanggil Bia yang juga sedang berganti jas. Dari jas putih menjadi jas yang senada dengan gaun Cherry. Belum sempat jas itu di pakai, salah satu kancing teratas di kemejanya tersangkut di benang pada gaun Cherry.
"Aduh!"
"Yah, gimana dong, jangan di tarik, nanti gaunnya sobek!"
Otomatis Bia harus melepas dengan paksa kancing kemejanya agar gaun itu tetap indah dan tidak sobek.
"Yah....sorry kancingnya jadi lepas."
"It's okey!"
"Kenapa?"
"Mmmm..... tolong bantu aku untuk memakai gaun ini."
"Oh...." jawab Bia pendek.
"Wait!"
"Apa lagi?"
"Tolong, hati-hati, jangan sampai tanganmu menyentuh punggungku!"
Meski bingung, pada akhirnya Bia menuruti permitaan Cherry. Melihat penampilan Bia yang tidak begitu rapih, menurut Cherry, kali ini, tangan ajaibnya yang turun tangan.
"Tunggu Bi," cegah Cherry.
"Sebentar!"
Cherry mengambil sebuah gunting dari lemari kecil yang berada di dekatnya.
"Cher... lo mau bunuh gue?!" teriak Bia heboh.
"Ya ga lah. Don't stupid! Lihat, it's not good! You look so weird!"
Cherry melepas sebuah kancing kemeja Bia. Sekarang dua buah kancing sudah lepas. Membuat dada Bia yang bidang dengan rambut-rambut hitamnya terpampang nyata di depan mata Cherry.
"Better!"
Bia bercermin. Senyum mengembang di bibirnya.
"Jago juga dia," batinnya.
Penampilan Bia dengan kemeja yang terbuka sedikit di bagian dadanya, membuatnya terlihat semakin gentle. Ditambah jas berwarna senada, membuat mereka berdua tampak sangat serasi. Layaknya sepasang suami istri sungguhan.
"Boleh gue gandeng?" tanya Bia menawarkan bantuan agar Cherry merasa aman berjalan menuruni anak tangga dengan gaun sepanjang itu.
"Mmm...."
"Ok, gue jalan duluan, lo tetap berada di atas gue, lo bisa terguling kalo nginjek gaun yang super ribet itu."
"Hm...!"
Meski mereka seharusnya berjalan bergandengan, sesuai gladi resik (waktu bersama Goldi), mereka tetap terlihat luar biasa dengan berjalan seperti itu. Si pria melindungi wanitanya dengan berjalan di bawahnya sambil mengangkat sedikit gaun bagian depannya. Tepuk tangan riuh menyambut kehadiran mereka yang kini sudah berada di atas panggung pelaminan. Bak raja dan ratu.
"Lakinya si Cherry gantengan yang sekarang ya?" bisik seseorang pada teman yang lain.
"Ssst.....! Diem lo! Jangan ngomong macem-macem, atau lo bakalan raib di tangan Om Wil!"
Semua skenario Wilson berjalan lancar. Cherry tidak menaruh curiga atas apa pun saat resepsi pernikahan mereka berlangsung. Jejak Goldi benar-benar hilang tak bersisa. Mami dengan tatapan dinginnya, melihat putrinya bersanding di pelaminan. Sama sekali tidak bergairah, lain dengan suaminya yang tampak antusias dan bergembira melihat dua anak muda yang merajut kasih dan akan memulai hidupnya berdua.
"Aku harap, pernikahan ini akan jadi yang pertama dan terakhir bagi mereka berdua. Meski sebenarnya ada kontrak yang sudah kutandatangani, tapi tidak ada salahnya, aku berharap, Bia lah yang akan menemani hari-hari Cherry."
Resepsi berjalan sesuai rencana Wilson. Tinggalah Bia dan Cherry yang masih menunggu sebuah mobil pengantin yang khusus disiapkan oleh Papi. Mobil itu akan mengantar mereka langsung ke hotel untuk kemudian keesokannya mereka akan terbang ke Paris.
"Lo, kenapa?" tanya Bia yqng melihat raut wajah Cherry yang begitu datar sejak acara pernikahan dimulai.
Hanya gelengan kepala yang di dapatnya. Meski sebenarnya Bia tau jawabannya.
"Cherry pasti ga bahagia nikah sama gue," batinnya.
"Sorry ya, lo nyesel nikah sama gue?"
"Ga tau, Bi."
"Atau lo punya sebuah permintaan yang ...pasti gue akan kabulkan!"
"Serius?"
"Ya."
"Jangan sentuh aku dulu, sebelum aku ikhlas dan mau menerima kamu sebagai suamiku seutuhnya."
"Hanya itu?" tantang Bia. Walau itu juga sangat berat.
Lelaki mana yang bisa membiarkan wanita yang dicintainya, dibiarkan tanpa di sentuh setelah pernikahan mereka.
"Ya," jawab Cherry yakin
"Deal."
Akhirnya mereka sepakat, tidak akan ada kontak fisik diantara keduanya.
"Gimana cara gue bisa tau, kalo lo udah bisa nerima dan jatuh cinta sama gue?"
"Aku yang akan memulai semuanya!"
"Ok!"
Waktu berlalu begitu lambat, terutama di malam hari. Saat malam pertama mereka di sebuah hotel. Pertama kalinya untuk mereka dihadapkan pada situasi sesulit ini.
"Gue sewa satu kamar lagi, ya?"
"Jangan! Di sini pasti Papi menyuruh orangnya untuk memantau kita."
"Terus?"
"Kita tetap satu kamar."
"Ok, gue tidur di bawah," kata Bia.
Memang tidak ada sofa di kamar pengantin mereka. Pasti pihak hotel lah yang sengaja mendesign kamar semacam itu, untuk pengantin baru seperti Cherry dan Bia. Diam-diam Bia memperhatikan Cherry yang sudah tertidur pulas.
"Kasian dia! Cherry pasti kecapekan setelah seharian menerima tamu-tamu. Pasti dia tersiksa nikah sama gue! Dia ga bahagia."
"Shiit! Bodoh banget gue, cowok macem apa yang bisa nganggurin cewek di malam pertama mereka!"
Semalaman itu, Bia tidak terpejam sedikit pun, selain lantai kamar hotel yang dingin, Bia juga memikirkan masa depannya setelah menikah dengan Cherry. Kemudian bagainana tanggapan ibu kandungnya, jika sampai ia tahu, anaknya menikahi anak dari laki-laki selingkuhannya.
"Bi....ga tidur?" tanya Cherry.
"Gue ga bisa tidur, lantainya dingin," jawab Bia asal. Sebenarnya agak kesal, tapi dia berusaha menutupinya.
Cherry melemparkan selimutnya sebagai alas tidur Bia.
"Aku ga biasa pakai selimut," kata Cherry.
Bia menerimanya tapi hanya menggulungnya saja. Cherry kembali tidur.
"Apanya yang ga biasa? Gue inget di kamar lo, ada dua selimut sekaligus di tempat tidurmu!" gerutunya.
Bia bangkit dan menyelimuti tubuh Cherry yang ramping dan putih dengan selimut yang tadi di lemparkan olehnya.
"Gue bisa gila kalo sampe pagi di sini terus!"
Dia keluar kamar tanpa sepengetahuan Cherry.
"Untung ada cafe yang selalu buka!"
Bia memesan amerikano sebagi teman malangnya. Bercangkir-cangkir kopi di teguknya. Matanya semakin sulit terpejam. Bia memang laki-laki baik, dia bukan tipe laki-laki beralkohol. Dikala sebagian besar pria melampiaskan emosinya pada minuman keras, Bia memilih kopi sebagai obat stressnya.
"Amerikano.....lo emang yang paling ngertiin perasaan gue sekarang. Lo emang the best!" ucapnya memuji secangkir kopi terakhir.
***
Pagi menjelang. Cherry bangun dengan badan yang lebih segar dari sebelumnya. Sadar tidak ada Bia di kamar itu, dia merasa lebih lega dan leluasa.
"Kemana dia? Apa semalaman dia tidur di lantai? Atau malah tidak tidur sama sekali? Rajin amat, sepagi ini dia sudah keluar kamar hotel."
"Bodo amat lah... gue rasanya lebih lega kalo ga deketan sama Bia. Ini aneh sih, tapi gue rasa memang ada yang ga beres sama pernikahan ini. Gue sama sekali ga ada deg-degannya kalo deketan sama Bia."
Tiba-tiba pintu kamar dibuka dari luar. Cherry yang hanya menggunakan handuk mandinya, berteriak. Membuat Bia yang baru masuk juga ikut kaget. Bukannya keluar, Bia malah masuk dan menutup pintu kamarnya.
"Lo ngagetin gue aja, kenapa sih?"
"Lo yang masuk ga pake ketok pintu dulu!"
"Ya ini kan kamar gue juga, ngapain juga harus ketok pintu dulu," elak Bia yang tidak mau disalahkan.
"Ya seengaknya...."
"Halah....udah, kalo mau ganti baju, ganti aja. Gue juga ga nafsu sama elo, Cher!"
Bia berusaha bersikap sedingin mungkin, seolah-olah dirinya tidak mengingin Cherry.