Terjadi perdebatan alot di dalam otak Vasilio. Dia tidak menyangka wanita cantik di depannya ini adalah seorang lycan. Jelas dia tidak memiliki ciri-ciri bangsa lycan; seperti bau khas yang bisa diendus oleh Vasilio. Jadi, untuk sementara dia akan mempercayai ucapan Cia.
"Ada syaratnya," kata Vasilio.
"Syarat?" Lucu sekali. Padahal jika aku mau, aku bisa membuatmu jadi debu saat ini juga.
"Menikahlah denganku."
Cia tertawa, menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa sepersekian detik, dan kembali pada posisi sebelumnya. "Menikah denganmu? Aku bukan manusia yang bisa sesuka hati menikah dengan orang. Aku memiliki ikatan."
"Maka putuskanlah ikatan itu," usul Vasilio.
Ha-ha-ha, apa dia pikir semudah itu memutuskan ikatan? Hal itu bahkan bisa membuatmu tersiksa secara perlahan dan jika kau tak sanggup, kau akan mati mengenaskan. Mati tanpa orang terkasih.
"Apa yang akan ku dapat?" tantang Cia.
Seolah mendapat lampu hijau, senyum Vasilio mengembang dan itu membuatnya semakin tampan. "Semua yang ku miliki akan menjadi milikmu."
"Termasuk jantungmu?"
"Tentu." Vasilio menjawab tanpa ragu. Memang dari awal dia telah terpikat akan kecantikan Cia. Selain karena kemiripan wanita itu dengan masa lalunya, juga ada magnet tersendiri yang membuat Vasilio selalu menatap ke arah Cia. "Jadi?"
"Jadi, rebutlah aku jika kau bisa. Aku menantangmu, Vasilio Heraksel."
***
Hari ini, pagi-pagi sekali, Zeno dikejutkan dengan suara Eros yang terus memanggilnya dari luar tenda. Dengan sedikit kesal, Zeno melepaskan pelukannya pada Cia dan bergerak perlahan menuju pintu tenda. "Kenapa?"
"Pemberangkatan sudah siap, Zen," ujar Eros.
Zeno mengangguk, dia melihat beberapa orang sibuk keluar masuk barrier, "Terima kasih, Ros. Kau bisa istirahat sebentar."
Setelahnya, lelaki yang shirtless itu menuju ranjang dan kembali memeluk istrinya. Ingin rasanya dia seperti ini saja dan kembali tertidur, tetapi mereka juga harus bergegas. Zeno mengecupi wajah Cia secara keseluruhan dan sedikit memaksa untuk melumat bibir wanita itu.
Cia hanya mendesah, tapi tak kunjung membuka mata, itu membuat Zeno sedikit tak sabaran. Segera saja dia menurunkan sedikit wajahnya dan tak lama Cia berteriak tertahan karena Zeno menggigit putingnya. Cia melotot, tapi Zeno malah tertawa dan kini dia mengisap puting Cia dengan lembut.
"Ada apa, Sayang?" tanya Cia.
"Kita harus bergegas ke rumah orang tuaku." Cia sedikit panik. Dia segera berdiri, meninggalkan Zeno yang terlihat tak rela menjauh dari dua benda favoritnya. Alhasil Zeno menyusul saat wanitanya mulai mengenakan pakaian. "Sayang, aku 6belum selesai nyusunya."
Gerakan Cia otomatis berhenti, dia menatap pemimpin lycan yang gosipnya dingin dan kasar, tapi sekarang ini Zeno malah merengek bak anak bayi. "Kalau menuruti nafsumu, maksudku nafsu kita, nggak akan selesai-selesai, Zen."
Benar! Kemarin, setelah pertemuan Cia dengan Vasilio, Zeno langsung mengurung istrinya. Tak boleh kemana-mana. Lelaki itu bahkan memandikan Cia dengan bunga-bunga untuk menghilangkan bau Vasilio yang menyengat. Hingga, acara memandikan itu berubah menjadi mandi bersama dan berakhir di atas ranjang.
Zeno menghela napas pelan, "Baiklah. Beri aku satu ciuman dulu sebagai penyemangat."
Cia terkekeh, ingin marah dengan Zeno tapi tak bisa. Sesuai permintaan suaminya, dia mengecup bibir Zeno dengan cepat dan segera berlalu dari tenda Zeno dengan malu. Walaupun sering menghabiskan malam bersama, entah kenapa perasaan menggebu, mendominasi, dan juga malu masih menyelimuti hati Cia.
Setelah Cia selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, dia segera keluar dari tenda Ive menuju pintu barrier. Di sana, Zeno dan beberapa orang telah menunggu. Tidak semuanya ikut, beberapa yang terkuat diminta tinggal di sini—menjaga kawanan. Ive juga akan tinggal di kawanan ini, dia lebih nyaman berada di sini ketimbang di rumah sendirian.
Mau mengenakan pakaian apapun, Cia tetap terlihat cantik. Apalagi hari ini, dia mengenakan gaun yang simpel untuk kesan pertama bertemu mertua. Cia pikir, mereka akan berlari menembus hutan atau mungkin lompat dari satu pohon ke pohon lainnya untuk perjalanan ini, nyatanya tidak. Begitu Cia keluar dari barrier dan berjalan sedikit ke tepi hutan, belasan mobil mewah telah terparkir rapi.
"Aku pikir kita akan berlari." Cia benar-benar menyuarakan isi hatinya.
Zeno tidak menyahut, matanya menatap ke segala arah—pengawal-pengawal yang dikirim ayahnya. Aura kepemimpinan Zeno langsung menguar sembari memeluk pinggang Cia tiba-tiba. Cia yang menyadari aura tegang itu nampak tersenyum, tetapi pengawal-pengawal itu cukup tau diri karena kini mereka terlihat menunduk.
"Zeno," bisik Cia. "Aku milikmu."
Tubuh Zeno tidak setegang tadi, dia segera menuntun Cia untuk memasuki mobil, dan mulai membelah jalanan. Cukup lama, sekitar satu jam tiga menit barulah mereka sampai. Mobil mewah itu berhenti pada laman sebuah mansion mewah.
Saat Cia turun dari mobil, matanya menatap bendera yang berkibar di tengah halaman. Cia merasa tidak asing dengan bendera itu. Namun, Cia mengabaikan hal itu, dia menatap pada semua orang yang kini sedang berjajar rapi seperti menyambutnya.
"Apa mereka selalu meremehkan tamu?" tanya Cia pada Zeno. "Lihat para perempuan itu, ada apa dengan wajah mereka?"
Zeno pun menatap jajaran orang-orang itu. Jika yang laki-laki menatap Cia dengan tatapan memuja, maka yang perempuan menatap Cia dengan pandangan benci—sebenci-bencinya. "Akan aku urus."
Cia menahan lengan Zeno, "Biar aku saja, mereka harus diberi pelajaran."
Langkah kaki Cia yang anggun menyentak udara di hadapannya, Zeno berjalan cepat menyusul istrinya. Namun, kejadian berikutnya tidak dapat dicerna oleh kepala Zeno. Dia melihat semua orang yang berada di sana, sedang berdiri kaku.
"Berlutut!" titah Cia. Seolah terhipnotis, semua yang ada di sana berlutut menghadap Cia, kecuali Zeno. Kaki Cia kini sampai pada para perempuan yang menatapnya remeh. "Aku yang berkuasa di sini. Kalian jangan merasa sok cantik, karena aku bisa membakar wajah cantik itu dalam sekejap." Tentu saja Cia marah, dia tidak suka direndahkan. Mereka pikir mereka siapa berani menatap seorang dewi seperti itu.
"Sayaaang," lirih Zeno. Suara Zeno memang pelan, tetapi masih bisa didengar oleh semua orang yang ada di sana. "Sudah, ya. Aku akan menghukum perempuan-perempuan ini."
"Tidak perlu dihukum, aku hanya ingin mereka tau bahwa kau adalah milikku."
Oh, Zeno sangat tahu sekarang apa masalahnya. "Aku milikmu, Cia. Hanya milikmu." Zeno memeluk istrinya, mengecup leher mulus itu beberapa kali. Tidak peduli jika orang di sekitar mereka melihat.
"Ada apa ini?!" pekik seseorang.
Aura yang Cia keluarkan tadi telah menghilang dan orang-orang yang sedang berlutut tadi segera berdiri. Mereka menatap heran pada wanita di sisi Zeno, tapi kemudian membungkuk hormat pada lelaki yang baru saja datang—Ayah Zeno.
"Saka?"
"Arlcia?"