Saka—Ayah Zeno berjalan cepat dan langsung memeluk Arlcia begitu saja. Zeno mengepalkan kedua tangannya, sifat posesif akan diri Cia seolah timbul karena merasakan ancaman. Dengan keberanian, dia memisahkan pelukan kedua orang tersebut.
"Papa!" hardik Zeno. "Jangan sentuh-sentuh! Arlcia itu milikku."
Alis Saka terangkat satu, matanya bergantian menatap Zeno dan Arlcia seakan mencari pembenaran. Kemudian tangan wanita yang tadi dipeluknya, melingkar sempurna pada lengan Zeno. Saka yakin jika Zeno tidak main-main. "Benarkah? Ayo kita bicara di dalam, Mamamu pasti sangat senang dia datang ke sini."
Zeno dan Arlcia masuk lebih dulu ke dalam mansion, sementara Saka menatap nyalang pada para perempuan yang tadi bertugas menyambut kedatangan Zeno. "Kalian masih beruntung dia tidak mencabut nyawa kalian tadi."
Saka masuk ke dalam, menyusul anak dan juga istri Zeno? Ha-ha-ha, ini sungguh menggelikan sebenarnya. Di dalam, dia melihat Arlcia duduk dengan Zeno yang terus memeluk wanita tersebut. Saka pun ikut duduk di sebuah single sofa di sisi mereka.
"Jadi, kalian akan mengadakan pesta?" todong Saka.
Zeno menggeleng, "Sebenarnya bukan pesta besar-besaran, Papa. Aku hanya ingin melakukan ritual agar energi kami dan juga kekuatan kami bisa saling melengkapi."
"Di mana Ivory?" sela Arlcia.
Dahi Zeno mengernyit mendengar Cia mengatakan itu. Dari mana dia kenal nama Mamanya? Setahu Zeno, ini kali pertama dia dan istrinya datang ke kediaman 'Red Eclipse'.
"Ivory di atas, dia masih berdandan untuk menyambut istri Zeno." Ada penekanan pada kata terakhir, membuat Cia terkekeh dan Zeno masih kebingungan.
Tanpa meminta izin, Cia naik ke lantai dua mansion ini. Tangannya menelusuri dinding dan bersiul kecil. Ternyata Zeno kaya raya juga. Sesampainya di atas, Cia meraba-raba keberadaan Ivory dan saat ketemu, dia segera membuka pintu yang tertutup tersebut.
"Ivory," sapa Cia.
Wanita yang disapa oleh Cia secepat kilat berbalik badan. Mulutnya menganga, reaksi dari rasa terkejut, dan sesaat kemudian dia menerjang Cia hingga mereka berdua terlempar mengudara. Cia membalik posisi hingga Ivory yang berada di bawah. Tubuh mereka menghantam kerasnya lantai hingga menimbulkan bunyi yang keras.
Zeno dan Saka langsung berlari ke arah ruang tengah di mana Ivory tengah mencekik Cia. Namun anehnya, istri Zeno malah tertawa dan langsung menendang perut pihak lain hingga Ivory terpental membentur tiang rumah. Saka tertawa melihat itu, dia bahkan mengejek istrinya—Ivory karena kalah dari Cia.
Merasa jengkel, Mamanya Zeno itu langsung membaca mantra dan menggerakkan tangan di udara. Seketika cahaya kuning melesat ke arah Cia, tetapi Zeno yang melihat hal tersebut langsung berlari ke arah istrinya. Ivory seorang penyihir, dia tak ingin istri dan anaknya kenapa-napa.
Terkejut karena tindakan Zeno, Cia segera memasang barrier berbentuk lingkaran untuk melingkupi mereka berdua. "Zeno, kau tak apa-apa?!"
Zeno menggeleng, "Anak kita bagaimana?"
"Aman," balas Cia.
Sungguh, Zeno amat geram dengan kejadian yang dia lihat. Emosinya seakan ingin meledak dan dia menarik Cia ke dalam pelukan, menghidu aroma caramel dari leher istrinya. Dikecupnya leher itu hingga ke sudut bibir dan mengulum bibir Cia dengan saksama. Lumatan itu seolah menuntut lebih, apalagi saat tangan Zeno meremas pinggang Cia. Jika saja Saka tidak berdeham, sudah dipastikan mereka akan berakhir di ranjang.
"Kami teman lama," ujar Saka. Saat ini, mereka duduk bersama di taman belakang mansion. "Dulu sekali, kami pernah beberapa kali bertemu."
"Ya, dan Papamu tentu saja menaruh hati pada Cia," sahut Ivory.
"Laki-laki mana yang tidak terpesona dengan Cia? Kibasan rambutnya saja bisa membuat para lelaki pingsan." Saka mengerlingkan matanya ke arah Cia yang kini sedang tertawa. Cia yang sedang memeluk lengan Zeno itu mendongak, menatap suaminya yang sejak tadi diam saja. Dia cemburu, Cia tahu.
"Tapi, Zeno, karena Cia juga kami bisa memilikimu," ujar Ivory.
Cia menggeleng pelan saat melihat orang tua Zeno saling menatap. Dia tidak mau lagi mendengar cerita menyakitkan itu, tetapi sepertinya kenangan harus digali lagi agar Zeno tidak salah paham.
Ratusan tahun yang lalu, saat Bumi belum ramai seperti sekarang. Ada sebuah perselisihan terjadi, perselisihan karena kekuasaan dan kekuatan. Aura mereka amat kental hingga menembus langit. Ares yang saat itu baru saja pulang dari peperangan di barat, mengaku lelah dan tak ingin lagi mengurusi manusia-manusia serakah.
Alhasil, Ares memohon pada Arlcia agar dewi itu mau menggantikan tugasnya. Cia menurut dan dia turun ke Bumi dengan pakaian perang. Zirah itu menggunakan bahan yang amat ringan, tetapi tetap aman jika terkena pedang. Cia menambahkan jubah sebagai penunjang penampilannya, jubah berwarna rose gold yang begitu manis.
Anak Hecate tersebut memasuki lubang teleportasi dan tiba-tiba saja dia telah berada di sudut kiri peperangan. Cia tahu siapa yang harus dia bela dan siapa yang harus dia bantai. Dengan kekuatan dan juga keterampilannya berpedang, beberapa musuh langsung tersungkur di kakinya. Saat melangkah maju, jubahnya berkibar seiring hembusan angin. Malam itu angin lumayan kencang, bulan bersinar dengan terang sesuai perintah Cia.
Cia menggerakkan pedangnya, memukul seorang prajurit di sisi kanan dengan gagang pedang dan menendang yang lain secara brutal. Kerajaan Red Eclipse mendapatkan bantuan. Saat Cia sibuk menghadapi belasan prajurit musuh, dia mendengar teriakan memilukan dari sudut kiri. Cia menghempas tangan dan hampir semua musuh yang berada dalam jangkauannya terpental.
Kakinya berlari menuju wanita lain dalam peperangan ini, segera saja dia menjadikan pedangnya sebagai tameng saat sebuah pedang lain ingin membunuh wanita tersebut. "Kau baik-baik saja?" tanya Cia.
Wanita itu—Ivory, mengangguk dengan pelan. Mata Cia memindai tubuh Ivory dan dia sangat terkejut saat tau ada kehidupan lain di dalam sana. Setelah dirasa cukup, Cia mengerahkan kekuatan dan langsung melawan pihak musuh yang merupakan sahabat baiknya.
"Kau membela mereka?" tanya Alan—pemimpin Kerajaan Zelava.
"Hentikan semua ini, Alan! Kau salah langkah."
Alan menggeleng, Red Eclipse sudah setengah hancur dan dia tak ingin sia-sia begitu saja. "Kau akan ku bunuh jika berani maju selangkah lagi."
Cia terkekeh, dia tidak akan takut dengan ancaman Alan. Maka dari itu Cia melangkahkan kakinya tanpa ragu, setengah berlari dan mulai mengayunkan pedangnya. Kedua sahabat itu saling serang dan tak sedikitpun ada yang mengalah. Sampai akhirnya Cia terbaring di tanah dengan ujung pedang Alan berada di lehernya.
"Aku begini karena aku menyayangimu, Cia. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai laki-laki."
Tangan Alan bergetar, dia tak mungkin membunuh perempuan yang dicintainya. Itu merupakan kesalahan, karena Cia pura-pura tidak peduli dengan perasaan itu. Dia menendang Alan dengan kuat hingga kini posisi berbalik. Tanpa banyak kata, Cia menghunuskan pedang ke dada Alan.
Dia berbalik dengan angkuh, menyembunyikan perih di dalam hati. Cia juga menghentakan tangan, membuat pasukan musuh menghilang entah kemana. Kemudian dia menuju ke arah Ivory yang sedang bertahan antara hidup dan mati.
Saat Cia berjalan, sebuah pelukan menyelimutinya. Itu Saka, sahabat Cia juga. "Kau baik-baik saja?" Saka meraba hampir seluruh tubuh Cia, memastikan bahwa sahabatnya—orang yang dia sayang baik-baik saja.
"Aku baik, Saka. Kau lupa aku ini siapa? Lebih baik kau urus Ivory." Saka menoleh ke belakang, Ivory tengah menatapnya dengan sendu. Cia yang mengerti segera bergegas ke sana dan berlutut di sisi Ivory. Dia menekan perut wanita itu yang mengeluarkan banyak darah.
"Beruntung janin ini baik-baik saja," tutur Cia.
"Janin?" ujar Ivory dan Saka bersamaan.
"Ini anakmu, Saka. Anak laki-laki."
"Tapi Cia, aku ...."
"Aku tahu, tapi kau bukan untukku. Bukankah bangsa immortal mempunyai mate?"
Ivory yang sempat membenci Cia pun membenarkan ucapan wanita tersebut. Beruntung Cia bukanlah orang yang egois, dia memandang hubungan persahabatan memang seperti sahabat pada umumnya. Berbeda dengan Alan dan Saka yang memang menyukai Cia sejak pertama.
Cinta berkedok sahabat.
Cia menaruh telapak tangannya pada perut Ivory yang masih datar. Kemudian, cahaya kuning keemasan terlihat menembus kulit Ivory. Rasanya hangat dan tubuh yang semula lemah kini kembali kuat.
"Terima kasih, Cia," ujar Ivory.
Cia menepuk pundak Ivory, "Dia akan jadi anak laki-laki yang hebat."