Setelah mendengar cerita itu, kini Zeno menatap Cia yang juga sedang menatapnya. "Hubungan kita ini, apa nggak ada kaitannya sama masa lalu?"
Senyum Cia lenyap seketika. Dia yang tadi memeluk lengan Zeno, kini menarik diri, dan menjaga jarak. "Serius bertanya hal itu?"
Zeno mengangguk, di kepalanya sekarang ada berbagai macam keraguan. Apalagi saat ibunya berkata bahwa Cia memang memberi sebagian energi untuk janinnya saat itu.
"Aku hanya takut jika hubungan kita ini bukan ikatan mate pada umumnya. Melainkan karena hal di masa lalu," ujar Zeno.
Cia terkekeh mengejek, dia mengulum kedua bibirnya dan wajah perempuan itu berubah menjadi angkuh. "Kalau kau mengira aku merencanakan ini, itu tidak benar sama sekali. Untuk apa aku harus menunggumu selama ini, jika aku bisa bertemu denganmu saat kau masih muda?" Terdengar perih saat Cia mengatakan itu, hatinya tersayat. "Tapi, kalau kamu berkata demikian, apa boleh buat. Mungkin kita memang bukan mate, visi itu hanya sebuah salah paham."
Saka terkejut mendengar itu, begitu juga dengan Ivory. Sementara Zeno masih mencerna ucapan Cia yang entah mengapa amat lambat masuk ke dalam otaknya. Cia tak pernah sesakit ini, mungkin Zeno hanya berprasangka atau mungkin ragu akan beberapa hal. Namun bagi Cia, keraguan itu sama halnya dengan ketidakpercayaan.
Mana mungkin dia bertahan, mencoba meyakinkan, jika pihak lain saja ragu akan hubungan ini.
"Saka, Ivory, maaf, sepertinya ritual ini aku batalkan. Aku pergi."
Cia sudah berada hampir mendekati pintu keluar, tapi dia tersentak saat Zeno menarik tangannya. Tubuh wanita itu berbalik dan Zeno langsung merapatkannya pada dinding.
"Kata siapa kau boleh pergi seenaknya?!" desak Zeno.
Cia meronta, tetapi Zeno mengerahkan hampir seluruh tenanganya. "Kau yang ragu!"
"Aku bertanya, bukan ragu," kesal Zeno. "Aku mencintaimu, Cia. Tak peduli seberapa jauh perbedaan usia kita dan apakah yang selama ini kita jalani salah. Aku juga tak peduli jika visi itu tidak sungguhan. Bahkan jika mateku yang sesungguhnya datang, aku akan mengusirnya dan tetap memilihmu."
Cia terdiam, dia tidak merespons apapun karena air matanya lebih dulu mengalir. Kalimat Zeno sungguh menyentuh hati, entah karena mood dia yanh sedang tidak baik, atau dia benar-benar benci mengenang masa lalu—Alan. Jempol Zeno mengusap bibir Cia yang basah, dia juga mengecup, sedikit menyesap, dan akhirnya melumat dengan lembut. Zeno tak peduli, apakah tindakannya sekarang diperhatikan oleh orang lain atau tidak. Karena yang paling penting adalah, hati istrinya tidak boleh sedih.
"Aku mencintaimu, Arlcia."
Cia yang sedari tadi diam saja, kini malah bertindak agresif. Dia sedikit berjinjit dan melumat bibir Zeno—berciuman. Saat ciuman itu terlepas, Zeno segera menggendong Cia dan bergegas menuju lantai tiga. Tanpa memperdulikan orang tuanya yang bertanya, Zeno segera melesat menuju kamarnya.
Di depan kamar, Cia turun dari gendongan Zeno sembari memutar knop pintu. Zeno yang sudah tidak sabar, mendorong Cia masuk dan langsung melepaskan pakaiannya. Sementara itu, Cia terkekeh, melihat suaminya begitu bernafsu. Dia merapatkan pintu dan langsung berjalan ke arah Zeno yang telah polos.
"Mengapa ini sudah berdiri?" Cia mengelus pelan milik Zeno. Kemudian dia berlutut di lantai, genggamannya pada milik Zeno bergerak naik turun dan itu membuat Zeno mendesah. "Bolehkah benda ini masuk ke dalam mulutku?"
Zeno langsung mendorong kepala Cia agar memasukkan benda itu ke dalam mulut. Rasa hangat dan basah pada mulut Cia membuat kaki Zeno seakan melemah. Kepala Cia maju mundur, sesekali dia mengisap dan memainkan lidah di dalam sana. Saat Zeno mulai menggeram, Cia melepaskan isapan itu.
Wanita itu berdiri, melepaskan gaun yang dia kenakan, juga dalamannya. Tubuh indah Cia yang bersih dan mulus, membuat hasrat Zeno semakin naik. Laki-laki itu segera menghampiri istrinya dan melumat dengan terburu-buru. Dengan pelan, dia mendorong Cia hingga jatuh ke atas ranjang.
Desahan demi desahan terdengar dari kamar tersebut. Siang itu, cuaca yang panas semakin membuat orang-orang kepanasan saat mendengar lirih desahan pimpinan mereka. Walaupun suara itu tidak begitu jelas, tetapi bagi bangsa lycan yang memiliki pendengarab lebih tajam, itu amatlah jelas.
***
Malam hari wilayah ini lumayan sepi. Bulan bersinar dengan terang tanpa ada awan yang menghalangi. Bayangan seorang lelaki sedang memandangi bulan, membuat Cia tak tahan untuk tidak berjalan ke arahnya.
"Sayang," panggil Cia.
Zeno menoleh, dia mengulurkan tangan agar Cia juga ikut duduk di sisinya. Tidak ada yang berbicara, mereka berdua menikmati pemandangan di atas sana. Kemudian Cia tiba-tiba saja menegang, perutnya terasa keram, dan dia segera berpegangan pada lengan Zeno.
"Sayaang!" pekik Zeno. "Cia!"
Zeno segera menggendong Cia untuk masuk ke dalam kamar mereka. Tadi mereka berada di balkon kamar dan sekarang Zeno tengah bertelepati dengan Eros. Panglima itu segera datang dengan tergesa dengan kedua orang tua Zeno dan Noya.
Noya segera mendekati Cia dan kepalanya menggeleng pelan, "Dia kehabisan energi, Yang Mulia." Ucapan Noya tidak lembut, melainkan menyindir Zeno yang hampir setengah hari mengajak istrinya bergumul. "Seharusnya Yang Mulia menahan diri. Keadaan di Bumi tidak sama dengan di langit."
Oke. Zeno semakin merasa terpojok sekarang. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
"Dia butuh energi positif, energi murni," tutur Noya.
Di mana mereka harus mendapatkan energi seperti itu di Bumi. Tidak mungkin dalam waktu satu jam energi itu mereka dapatkan. Atas perintah Zeno, Eros menghubungi salah satu lycan di kediaman mereka, meminta pendapat Ive atas kejadian ini. Ive berkata, seseorang seperti Cia akan segera datang ke Red Eclipse.
Benar saja. Tak butuh waktu lama, cahaya bulan seakan lebih terang dari sebelumnya. Sinar ini perpaduan antara warna nila dan tosca. Kemudian, seorang laki-laki dengan kulitnya yang bersinar terlihat menuruni sinar bulan dengan santai. Kemeja hijau muda yang dia kenakan semakin membuat sinar itu terlihat indah.
Para lycan yang melihat sosok itu berusaha untuk tidak mimisan. Ini begitu tampan. Saat kakinya mendarat di kamar Zeno, dia bergerak tergesa ke arah Cia.
"Arlcia," lirih Morgan. Suaranya yang merdu sangat menyenangkan telinga semua orang, kecuali Zeno. "Ada apa dengannya?"
Zeno yang sedari tadi mengambil jarak dengan istrinya, kini mendekat—naik ke tempat tidur. Dia mengelus pipi Cia dengan lembut, menegaskan bahwa wanita ini adalah miliknya. Morgan tahu, dia juga tak berniat merebut Cia, apalagi dilihatnya wanita itu sangat bahagia.
"Angkat sedikit tubuhnya, Zen," ujar Morgan.
Zeno memindahkan tubuh Cia ke pangkuannya. Kemudian, Morgan sedikit membungkuk, dia membuka bibirnya dan keluarlah cahaya berwarna-warni dengan kerlipnya yang indah—menyeruak masuk melalui bibir Cia. Itu cukup lama, sampai Zeno rasa dia ingin mengamuk dan menahan rasa cemburunya.
Morgan menarik diri, kulit Cia tidak sedingin tadi. Dia menggenggam jemari wanita itu dan menatap Zeno dengan sendu. "Segeralah melakukan upacara itu agar dia bisa mendapatkan energi darimu."
Zeno mengangguk, Morgan berdiri, tapi sebelum dia benar-benar pergi, dia kembali menunduk dan mengecup kening Cia. "Jaga dia untukku. Aku orang pertama yang akan merebutnya jika kau membuatnya sakit hati."