Malam itu, Arlcia lemah tak berdaya. Dia sudah satu minggu berada di Bumi dan sepertinya energi naitura yang wanita itu serap, telah menipis. Zeno pun panik, dia hampir saja membuatkan Noya sayap agar lelaki tua itu bisa sampai lebih cepat. Ha-ha-ha lycan bersayap?
"Sepertinya kalian berdua harus segera melakukan ritual." Noya berkata sembari meletakkan telapak tangan pada perut Cia. Cia mengerutkan kening, tak mengerti dengan ritual yang dimaksud oleh alkemis di hadapannya.
"Ritual pertukaran darah, Sayang," ujar Zeno.
Noya berdiri, dia menggeleng kecil, dan menatap sepasang suami istri tersebut. "Aku tak bisa berbuat apa-apa, Yang Mulia. Kau tak bisa memberikan energimu untuknya, kau tak bisa melakukan apa-apa. Kecuali kalian segera melakukan ritual itu."
Hal yang paling Zeno hindari adalah berkunjung ke kediaman orang tuanya. Namun, demi Arlcia, dia akan segera berkunjung untuk melakukan ritual. Sedangkan wanita yang sedang terbaring lemah tersebut, hanya mampu menatap Zeno dengan tatapan ingin tahu lebih jelas seperti apa ritual itu. Zeno acuh, dia segera berlalu meninggalkan Cia.
Tak lama, Ive masuk ke dalam tenda besar tersebut. Tadi, dia sungguh terkejut saat Cia yang tiba-tiba saja lemah dan hampir jatuh dari tempat duduk. Beruntungnya Zeno selalu sigap akan keadaan Cia.
"Kau tidurnya lama banget, Cia. Sumpah, aku takut." Ive memeluk Cia dengan dramatis.
"Menjijikkan!" protes Cia.
Ive menoleh ke belakang, tepatnya ke arah pintu masuk. Dia menimang-nimang sebentar kalimat yang pas untuk dilontarkan. "Eum, besok pagi ada jadwal untuk bertemu dengan Vasilio. Kau bersedia?"
Cia menganggukkan kepalanya. Tentu saja dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia harus mengorek apa saja kelakuan busuk Vasilio dan segera mendapatkan data tambahan untuk segala kejahatannya.
"Kau yakin? Maksudku kau masih lemah," sambung Ive.
Cia mengambil tangan Ive dan menggenggamnya. "Beri aku energimu."
Ive tak keberatan, dia pun tak menolak. Sungguh, jika Cia meminta dirinya menggosok gigi ikan paus pun dia akan menuruti. Jadi, Ive membantu sahabatnya itu untuk duduk dengan baik dan berhadapan dengannya. Setelah itu, Ive bernapas sejenak, tangannya merangkum wajah Cia, dan mendongakkannya sedikit.
Bibir Ive terbuka, disusul dengan bibir Cia. Cahaya kemerahan dari bibir Ive, melesat masuk menuju Cia tanpa sisa. Hal itu berlangsung kurang lebih lima menit sampai Cia merasa cukup. Tubuhnya pun terasa lebih nyaman daripada tadi.
Kemudian, Cia menoleh ke arah pintu. Dia bisa mendengar langkah Zeno mendekat ke arah tenda. Dengan isyarat mata, dia meminta Ive untuk keluar dan mengatur acara besok pagi. Benar saja! Ive berpapasan dengan Zeno di luar tenda. Tidak ada percakapan, sapaan, atau senyuman. Zeno bukan orang yang mudah bersikap ramah kepada orang, kecuali itu adalah Arlcia.
Saat masuk, Zeno melihat belahan jiwanya sedang duduk dan tersenyum ke arahnya. Dia pun membalas senyuman itu dan segera menghampiri Cia, duduk di hadapan istrinya.
"Makan, ya?" pinta Zeno. "Sedikit saja."
Cia menatap makanan yang ada di atas piring, Zeno membawanya barusan, tapi tidak ada selera. Wanita tersebut menggeleng, tetapi dia mengangguk sesaat kemudian. Zeno yang tak suka membuang-buang kesempatan, segera menyuapkan sesendok bubur ke mulut Cia.
Namun, Cia malah menurunkan tangan Zeno, menyingkirkan piring berisi bubur, dan tiba-tiba duduk di atas pangkuan suaminya. "Aku mau makan kamu, Sayang."
Zeno terkejut dan tertawa kecil kemudian. "Lihat! Kau menggodaku? Kau masih lemah, Sayang."
Cia menggeleng, dia menolak perkataan bahwa dia lemah. Untuk urusan menggoda, memang dia sedang menggoda suaminya saat ini. Jadi, karena Cia sedang 'ingin', wanita hamil itu mencium Zeno lebih dulu.
***
Aura ibu hamil memang selalu menakjubkan, sama seperti Cia. Sepanjang perjalanan menuruni bis dan berjalan kaki hingga ke Walgreenz, Cia menjadi pusat perhatian. Mungkin mereka tak pernah melihat wanita secantik Arlcia. Atau mungkin karena tubuh wanita itu semakin seksi setiap harinya.
Penjaga Walgreenz menyambut Cia dengan hormat. Walgreenz adalah nama perusahaan pusat milik Vasilio, tentunya dengan cabang-cabang yang tersebar memenuhi Eropa. Sesampainya di depan resepsionis, ada Vasilio sedang berdiri.
Vasilio berperawakan tinggi, tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus juga, wajahnya lumayan tampan, apalagi dengan warna rambut merah yang mencolok, dan warna mata itu seolah-olah membakar gairah di dalam tubuh. Namun, jika menurut kalian Vasilio itu menakjubkan, maka, menurut Arlcia lelaki itu biasa saja.
"Nona Arlcia," sapa Vasilio.
"Nona?" Tentu saja Cia tak terima. "Apa matamu mengabur? Kau tak lihat perutku yang membesar?"
Vasilio menunduk dan dia memang melihat perut wanita itu membesar. "Jadi, aku memanggilmu siapa?"
Bibir Cia berdecak kecil, kemudian dia melangkah ke arah lift. Menoleh ke belakang, dia mendapati Vasilio malah berdiri mematung. "Kau jadi bicara tidak?!"
Mendapat teguran keras dari pihak lain, membuat Vasilio mendadak malu. Semoga saja Cia tidak sadar jika sedari tadi Vasilio memandangi bokongnya yang berayun. Tanpa menunggu teguran untuk kedua kali, lelaki dengan iris mata merah itu mengikuti langkah Cia.
Sesampainya di atas, Cia disambut baik oleh Viona dan wanita jadi-jadian tersebut. Tanpa sungkan, Cia mendorong pintu ruangan Vasilio dan langsung duduk di sofa ruangan mewah itu. Vasilio terkejut, tentu saja. Belum pernah dia memiliki tamu selancang ini, tetapi Vasilio malah menyukai tingkah Cia yang menurutnya menggemaskan.
"Duduk!" perintah Cia.
Vasilio tidak segera menuruti, dia membuka kulkas mini, dan mengambil sebotol minuman jeruk. "Untukmu."
"Jadi, Tuan Vasilio yang terhormat ingin berbicara apa?" todong Cia. Dia sangat malas berbasa-basi dan ingin segera hengkang dari ruangan ini. Namun, lagi-lagi ingatan tentang misi membuatnya harus terjerat. "Waktuku sangat berharga."
Sudut bibir Vasilio berkedut. Di sini, dirinya yang mengundang Cia dan harusnya dia yang berkuasa, tapi ini ... wah!
"Jadi, aku meminta padamu untuk tetap mendanai proyekku selanjutnya," ujar Vasilio.
"Tidak kalau untuk proyek di Nordik."
"Kenapa?"
"Kenapa katamu?"
Arlcia berpindah duduk ke sisi Vasilio. Dia secara dadakan menggenggam jemari Vasilio dan memejamkan mata. Diperlakukan seperti itu membuat jantung Vasilio melambat seolah akan berhenti. Matanya menatap saksama pada wajah Cia yang membawa rasa damai. Namun, saat rasa panas bagai bara api menyentak jemarinya, Vasilio berdesis.
"Kau bukan manusia?!" tuduh Vasilio.
Cia mengangkat satu alisnya, "Gunung Nordik itu rumahku."