Chereads / Gasiang Tangkurak / Chapter 2 - Pemuda kota

Chapter 2 - Pemuda kota

Keesokan harinya, Yudi hendak pergi ke rumah temannya, Feri. Ia berjalan sambil bersiul dan melewati sebuah rumah yang bisa dikatakan cukup mewah untuk ukuran rumah masyarakat di kampung itu. Memang, beberapa tahun lalu rumah itu direnovasi karena bagian belakang sudah rubuh.

Tidak seperti biasa, pagi ini ada sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman rumah yang cukup luas itu. Mobil sekelas Fortuner berwarna putih itu tampak masih mulus dan baru.

Yudi sempat berhenti sebentar, untuk melihat siapakah gerangan yang datang ke rumah wanita tua yang tinggal di rumah itu. Selama ini, wanita itu hanya tinggal bersama seorang anak perempuannya yang sudah bercerai dan memiliki dua orang anak.

Tak pernah Yudi melihat tamu jauh yang datang ke rumah itu sebelumnya. Memang, beberapa kali sempat ia mendengar bahwa wanita tua yang tinggal di rumah itu pergi ke Kota dan tinggal di sana sekitar 1-2 bulan.

"Dit, jangan lupa ambil yang dalam kresek hitam sekalian," sorak seorang wanita dari dalam rumah itu, seiring dengan munculnya seorang pemuda dari balik mobil itu.

Yudi sempat terkejut, takut aksi keponya diketahui pemilik rumah dan mobil mewah itu. Yudi berniat untuk melanjutkan langkahnya, saat pemuda berkacamata itu malah menyapanya dengan ramah.

"Mau kemana, Bang?"

Yudi diam di tempatnya dan mencoba tersenyum seramah mungkin. Masyarakat minangkabau terkenal akan keramah tamahannya dan sopan santun yang tinggi pada pendatang.

Maka tak heran, jika minangkabau menjadi salah satu suku yang paling banyak disukai oleh turis-turis mancanegara. Karena orangnya yang ramah dan sopan. Kelebihan lain, gadis dari suku minang terkenal cantik dan manis-manis. Meski mayoritas memiliki warna kulit hitam manis alias exotic, idaman para bule-bule.

"Ini, aku mau ke rumah teman. Panggil Uda saja. Uda sendiri dari mana ya?" jawab dan tanya Yudi bersamaan.

"Ah iya, perkenalkan namaku Radit. Aku cucu dari Andung Jubaidah. Aku datang bersama kedua orang tua dan adikku. Kami dari kota Pekan Baru. Dan baru saja sampai shubuh tadi, Bang, eh, Uda." tutur pemuda yang bernama Radit itu.

"Oo.. cucu Andung Jubaidah. Pantas saja aku belum pernah melihat Uda sebelumnya,"

"Jangan panggil aku Uda. Aku masih 20 tahun," tolak Radit dengan tersenyum ramah.

"Wah, kalau begitu usia kita sama. Kenalkan, aku Yudi. 20 tahun juga. Berarti kita sebaya bukan?" tanya Yudi dengan mengulurkan tangan hendak berjabat tangan.

"Senang berkenalan denganmu, Yud. Semoga kita bisa berteman baik. Khususnya selama aku berada di kampung ini!"

"Senang juga berkenalan denganmu. Dan apa itu artinya, kau akan lama di kampung ini?"

"Benar. Sepertinya aku akan sangat lama di sini. Mengingat Andung sedang sakit saat ini. Sebagai anak menantu dan cucu-cucu yang berbakti, kami harus merawat Andung sampai beliau sembuh. Karena, Andung sendiri menolak untuk kami bawa pindah ke Kota," jawab Radit dengan wajah yang masih menampilkan senyuman manis khas miliknya.

"Oh, begitu. Ya, tentu saja. Sebagai orang tua yang memang sudah lahir, tumbuh, besar dan melewati semua usianya di kampung ini, sangat sulit untuk pindah ke Kota. Apalagi bagi orang tua seperti Andung. Beliau justru membutuhkan udara segar dan lingkungan yang tenang seperti di kampung ini untuk pemulihannya."

"Tapi, kami tinggal di kawasan yang jauh juga dari hiruk pikuk kendaraan. Andung pernah beberapa kali kesana. Kawasan perumahan elite yang lumayan nyaman dan tenang." ucap Radit mulai sedikit menyombongkan diri.

'Cih, kawasan elite? Mau berlagak kaya kau rupanya?' seru Yudi dalam hatinya.

"Tetap saja, jika Andung Jubaidah tidak mau kesana berarti beliau tidak merasa nyaman!" Yudi berkata dengan sedikit penekanan di kata tidak merasa nyaman.

Terlihat jelas perubahan air muka Radit. Seperti menahan malu dan marah karena ucapan yang dilontarkan Yudi. Sementara Yudi, bersikap biasa saja seolah yang dikatakannya itu bukan lah hal yang dapat menyinggung perasaan lawan bicaranya.

"Kalau begitu, aku masuk dulu ya, Yud. Aku harus mengantarkan barang-barang ini pada Mami ku," Radit berkata sambil menaikkan kedua tangannya yang sudah berisi beberapa kantong dan sebuah tas yang sudah bisa dipastikan mewah, hanya dari tampilannya saja.

"Oke. Lain kali kita ngobrol lagi, ya. Aku juga kebetulan ada urusan nih sama teman. Jika nanti kau butuh teman untuk berkeliling kampung, aku siap menemanimu." ujar Yudi sungguh-sungguh.

"Wah, terima kasih. Aku pasti membutuhkan bantuanmu, Yud."

"Baik lah. Aku setiap hari melewati rumah ini, aku akan mampir lain kali,"

"Ya, main-main lah kesini saat kau senggang. Akan kukenalkan pada orang tua dan adikku,"

"Tentu. Aku pergi dulu, ya."

Setelah berpamitan, Yudi kembali melanjutkan langkahnya menuju rumah Feri. Meski masih sedikit merasa jengkel karena Radit sempat menyombongkan rumahnya di Kota, akan tetapi Yudi merasa bahwa Radit juga pemuda yang baik dan ramah. Cocok sekali jika dijadikan teman, terlebih lagi di kampung ini pemuda pengangguran seperti dirinya tidak banyak. Pasti Radit akan merasa sangat memerlukan bantuannya untuk berkeliling atau jalan-jalan di kampung ini.

Tidak jauh dari rumah Andung Jubaidah tadi, rumah Feri yang sudah dirubah menjadi rumah modern itu pun terlihat. Yudi melihat Feri sedang duduk di teras rumahnya dengan segelas kopi dan goreng pisang di meja sebelahnya.

"Wah, senang sekali hidupmu semenjak punya istri, ya. Pagi-pagi duduk santai dengan secangkir kopi dan gorengan." sapa Yudi yang langsung duduk di kursi satunya lagi.

"Woi, dari mana saja kau beberapa hari ini?" Feri menyahut dengan mengajukan sebuah pertanyaan padanya.

"Biasalah. Aku sedikit sibuk beberapa hari ini. Kenapa? Baru berapa hari tidak bertemu, sudah rindu kau padaku?" tanya Yudi dengan nada bercanda.

Keduanya tertawa lepas. Feri adalah seorang nelayan yang mencari ikan di Danau Singkarak yang ada di kampung mereka itu. Sejak 2 bulan yang lalu, Feri menikah dengan seorang gadis kota yatim piatu bernama Ratih. Mereka tinggal di rumah orang tua Feri.

Feri dan Yudi bersahabat sejak masih usia anak-anak. Suka duka sudah banyak mereka lalui. Keduanya sudah saling hafal dan mengerti tabiat dan sifat masing-masing sahabatnya. Feri dan Yudi memiliki kesamaan, yaitu sama-sama pemalas dalam hal beribadah. Paling-paling mereka hanya akan datang ke masjid terdekat untuk shalat Jum'at saja.

"Sok sibuk sekali kau ini. Memangnya apa yang kau sibukkan? Sibuk memelet gadis-gadis? Ha? Atau jangan-jangan kau sibuk mencari cara untuk melamar Puti lagi? Tidak jera kau melamar dan ditolaknya kemarin?" tanya Feri dengan maksud berkelakar ria pada sahabatnya itu.

Tapi, Yudi justru merasa tersinggung saat mendengarnya. Dengan melihatkan wajah kesalnya, Yudi diam menatap Feri yang masih tertawa ringan, lalu menyeruput kopi hangatnya.

"Nah, minum lah dulu kopi hangat ini. Supaya pikiranmu menjadi tenang dan sedikit rileks." saran Feri yang mana mereka memang sudah terbiasa minum kopi segelas berdua.

"Tidak. Terima kasih. Aku akan pergi sekarang, ada pekerjaan yang menunggu di ladang." tolak Yudi dengan raut wajah masamnya..

Feri menyadari bahwa temannya itu sedang marah atau kesal padanya. Dengan cepat, Feri mencoba merayu Yudi lagi agar marahnya mereda.

"Eh, bagaimana jika siang nanti kita pergi ke Puncak Gogo. Istriku ingin sekali pergi bermain kesana. Kau kan sangat ahli dalam menaklukkan jalanan kampung ini. Anggap saja, aku dan Ratih adalah turis asing yang meminta bantuanmu untuk berkeliling kampung,"

"Puncak Gogo? Apa kau yakin? Itu sangat terjal, kalau tidak hati-hati kita bisa tergelincir dan jatuh ke jurang. Sebaiknya, ke Bukit Papuih saja. Kabarnya, sekarang sedang dalam pembangunan cagar alam."

"Boleh juga. Ayo kita kesana!"

"Tapi, tidak bisa hari ini. Bagaimana kalau besok saja? Pagi-pagi seperti ini kita berangkat."

"Baiklah, terserah padamu saja. Aku percayakan semua padamu, Bintang Kampung," Feri menepuk-nepuk pundak Yudi seraya tertawa.

Akhirnya Yudi sudah melupakan rasa marahnya tadi. Begitulah mereka, tidak akan bisa marah atau saling berdiam diri terlalu lama. Tiba-tiba, Yudi teringat akan pertemuannya dengan Radit sebelum menemui Feri tadi.

"Fer, apa kau tau cucu Andung Jubaidah yang bernama Radit?" tanya Yudi dan menyalakan api pada sebatang rokok yang diambilnya dari kotak rokok Feri di atas meja.

"Hmm.. aku hanya pernah mendengar namanya dari Andung Jubaidah. Tapi belum pernah bertemu langsung dengan orangnya." jawab Feri sambil mengunyah goreng pisang.

"Aku sudah bertemu dengannya. Tadi, aku bahkan berbincang dengannya."

"Benarkah? Apa dia baru datang dari Kota?"

"Iya, dan dia seumuran dengan kita. Tapi, karena biasa hidup di kota, gaya bicaranya sedikit sombong,"

"Jika pada orang lain, bisa saja dia bersikap seperti itu. Tapi jangan coba-coba padaku. Akan kupatahkan ucapannya jika menyombong padaku!" tegas Feri dengan sungguh-sungguh.

"Besok akan kuajak dia pergi bersama kita sekalian, jika dia mau!"

"Ya, ajak saja. Sekalian, biar kau tak sendirian dan menjadi obat nyamuk saat di sana nanti." ujar Feri dengan tawa menggelegarnya.

Yudi segera melempar kerak pisang goreng di piring ke arah mulut Feru yang sedang tertawa, sehingga langsung mengenai sasaran dan masuk ke dalam mulutnya.

Feri terbatuk-batuk karena kerang gorengan itu melesat langsung ke tenggorokannya. Matanya berair, batuknya tak berhenti. Sehingga mengundang istrinya untuk datang menghampiri.

"Ada apa, Da?" tanya perempuang berjilbab dalam itu pada suaminya.

"Itu, suamimu tersedak saat makan gorengan. Terlalu menikmati sekali dia. Mungkin sambil membayangkan istrinya saat makan," sela Yudi menjawab pertanyaan Ratih.

Ratih bergegas ke dalam dan kembali dengan segelas air putih di tangannya, menyodorkan pada Feri. Setelah meminum air putih dalam gelas itu hingga tandas, Feri menunjuk pada Yudi yang seakan tak merasa bersalah.

"Dasar kau, ya. Bujang lapuk!" umpatnya tak serius.

"Umurku masih 20 tahun. Jangan karena kau sudah menikah duluan, lalu kau anggap aku bujang lapuk, ya." jawab Yudi sekenanya.

"Sudah lah, pergi sana. Aku sangat sibuk sejak punya istri!"

"Hahaha...ya-ya-ya. Aku paham soal itu. Bekerja keras lah pagi, siang,malam." sahut Yudi yang sudah berada di batasan halaman rumah Feri.

Feri hanya tersenyum simpul memandang kepergian sahabatnya itu. Sementara Ratih, tersipu malu mendengar perkataan Feri tadi.

"Dik, kenapa wajahmu memerah?" tanya Feri menggoda.

"Kenapa Uda berkata seperti itu pada Da Yudi? Adik kan jadi malu." jawabnya dengan sedikit menunduk.

"Tak perlu dimasukkan ke hati ucapan Uda dan Yudi tadi, Dik. Kami biasa seperti itu. Hanya bercanda dan tak perlu malu, karena Yudi tidak akan menjadikan itu bahan olok-olokan jika bersama orang lain. Uda sangat mengenal bagaimana sifat Yudi." jelas Feri sambil mengusap puncak kepala Ratih.

"Ba-baik lah kalau begitu, Da. Adik lanjut memasak lagi, ya. Uda tak jadi pergi menjaring ikan?"

"Iya, sebentar lagi Uda berangkat. Kopi buatan istri tercinta belum habis."

Feri memang suka bercanda dan menggoda istrinya. Ratih yang kembali tersipu malu, bergegas masuk ke dalam rumah dengan wajah yang masih merah merona.

Sepeninggal istrinya kembali ke dalam rumah, Feri kembali menyesap kopi dan merenungkan ucapan Yudi tadi. Ia mengingat tentang kehadiran Radit di kampungnya. Feri yang memang sulit untuk welcome dengan pendatang di kampungnya, merasa bahwa nanti Radit akan membawa masalah di kampung ini.

"Apa kira-kira masalah yang akan pemuda kota itu bawa ke kampungku ini?" tanya Feri bermonolog.