Alan kini sedang berada di sebuah cafe yang biasa Aluna kunjungi. Namun hasilnya nihil, Aluna tidak berada di sana. Mencoba berfikir jernih. Semua tempat yang biasa Aluna datangi tidak ada. Jadi
dia sekarang harus bagaimana? Ya Tuhan Alan benar-benar bingung. Hampir lima menit ia berfikir. Ia baru ingat jika ia belum menanyai Burhan, kakak Aluna.
"Hallo."
"Ada apa nih adek ipar gue tumben telfon."
"Ini bang, Alan mau tanya dimana ya tempat yang biasa Aluna datengi?"
"Emangnya Aluna kabur? Kenapa bisa? Lo udah cari dia? Awas aja kalo adek gue kenapa-kenapa lo bakal gue habisin!"
"Bukan bang, Alan mau ngasih surprise."
"Di taman depan kompleks, dia sering main ke sana."
"Di situ rame bang."
"Emmm.. menurut gue sih di rumah pohon tempat biasa gue sama Luna main dulu."
***
Udara sejuk, pepohonan berdiri kokoh. Jauh dari tempat keramaian membuat tempat itu sangat di sukai oleh Aluna saat ini. Ia merebahkan tubuhnya, menatap langit biru yang sangat cantik. Mengingat
kejadian beberapa jam yang lalu, kejadian yang membuatnya pergi dari sekolah. Sakit. Itulah yang saat ini Aluna rasakan. Ia sudah benar-benar menaruh perasaan pada Alan. Namun tanggapan Alan membuat ia merasa tidak nyaman.
Alan yang selalu cuek, judes, dingin. Aluna masih bisa menerima kenyataan itu bahwa dirinya akan terus bersama manusia yang bahkan tidak terlintas di pikiran Aluna. Alan. Aluna sama sekali tidak berfikir jika masa depannya akan bersama Alan. Keheningan seketika pecah karena suara
deru motor memasuki area rumah pohon itu.
Seketika Aluna terkejut. ia takut jika di bawah sana ada manusia jahat. Di tambah lagi disini tidak ada manusia satupun selain dirinya. Aluna langsung melihat siapa yang datang dari jendela. Begitu terkejutnya saat ia tahu siapa yang datang.
Alan. Manusia yang sedari tadi ada di pikirannya. Sungguh ini di luar dugaan. Padahal ia tidak pernah memberi tahu tempat ini. Jadi siapa yang
memberitahunya?
Sungguh, jika Aluna tahu siapa yang memberikan alamat tempat ini pada Alan, ia akan marah besar.
"Ngapain?" Alan ini senang sekali membuat jantung Aluna olahraga.
"Ngagetin. Bisa nggak sih ucapkan salam dulu atau ketuk pintu kek."
"Ngapain?" rupanya Alan tidak menggubris perkataan Aluna.
"Ya menurut lo? Emang lo nggak liat gue lagi ngapain?"
Alan benar-benar harus berteman dengan sabar. Kenapa perkataan Aluna selalu membuat dirinya emosi? Entahlah ia sangat bingung dengan gadis di depannya.
"Gue jelasin." Aluna memutar bola matanya malas.
"Nggak perlu!" ketus Aluna.
"Gue nggak ada apa-apa sama bocah itu." Alan menatap lekat Aluna.
"Bohong." Aluna mencari kebohongan mata elang Alan. Namun ternyata Alan jujur, ia tidak berbohong. Itu yang Aluna lihat.
"Gue mau tepis tangan dia, tapi gue liat lo. Refleks jadi berhenti." Mencerna kata-kata singkat Alan. Memangnya dalam hidup Alan tidak ada kata yang lebih banyak apa?
"Ngapain kabur?" Alan menaik turunkan alisnya.
Mampus. Ia benar-benar malu kali ini. Dirinya sudah salah paham dan salah mengambil keputusan untuk pergi dari sekolah.
"Kata guru, lo nggak enak badan?" apa yang harus Aluna katakan? Tolong Aluna, ia tidak tahu harus bagaimana.
"Emang gitu kok." menampilkan muka agar tidak gugup. Berusaha menelan salivanya susah payah.
"Bohong!" mampus. Kali ini Aluna menunduk agar Alan tidak melihat kebohongannya.
"Lo cemburu?"
Deg. Pertanyaan apalagi ini? Aluna ingin rasanya pergi dari hadapan Alan sekarang juga.
"Jawab."
"Siapa yang cemburu? Emang gue sakit beneran kok."
"Gue suka" senyum tipis tergambar dibibir Alan. Sungguh manisnya.
Hanya kata sederhana itu membuat pipi Aluna memanas. Ia berusaha menutupi pipinya agar Alan tidak melihat. Sungguh Alan membuatnya malu berkali-kali lipat.
"Suka lo cemburu."
"Udah gue bilang, gue nggak cemburu." sungut Aluna.
"Punya siapa?" tanya Alan sambil melihat sekeliling rumah pohon itu. Sederhana tidak terlalu besar. Namun disitu ada lemari kecil dan kasur lantai. Banyak foto masa kecil Aluna dan Burhan.
Ada satu meja di sana.
"Apanya? Kalo tanya itu yang jelas jangan setengah-setengah." sinis Aluna.
"Rumahnya."
"Dulu bang Burhan sering minta lapangan basket. Dan saat itu juga gue udah mulai suka sama olahraga ini. Jadi kita berdua punya ide pengen punya rumah pohon terus dibawahnya ada lapangan basket gitu." Aluna tersenyum melihat foto masa kecilnya. Dilihat Burhan sedang merangkul Aluna. Mereka mengenakan seragam
basket, tangan Aluna memegang bola basket di samping kiri.
Suasana pun kini menjadi hening. Alan tidak menanggapi penjelasan Aluna tadi. Padahal sudah panjang-panjang ia menjelaskan namun tidak ada respon.
"Lan?" Aluna menepuk pelan pundak Alan.
"Laper."
***
"Cepet ke kantin biar kebagian tempat duduk." ujar dara sedang memasukan alat tulisnya ke dalam tas.
"Lun lo kok nulis mulu, cepet ayo!" Laura juga sama, ia tidak sabar untuk ke kantin.
"Kalian duluan aja deh. Gue pengen selesein ini dulu."
"Alah kaya nggak biasanya lo pinjem buku gue" timpal Dara.
"Gue lagi pengen nulis. Udah deh kalian ke kantin dulu."
"Ya udah. Nanti lo nyusul ya? Bye." pamit Laura.
Akhirnya tinggal Aluna di kelas. ia langsung mengambil ponselnya dari dalam tas. Sebenarnya bukan Aluna yang ingin melanjutkan menulis. Tapi ia ingin makan bersama Alan dengan bekal yang Aluna bawa.
Dengan buru-buru Aluna membereskan buku-bukunya. Ia menenteng paper bag yang berisi bekal dan air putih yang ia bawa dari rumah.
Setelah sampai, ia langsung masuk karena kelas tampak sepi.
"Assalamualaikum." ucap Aluna.
"Wa'alaikumsalam." balas Gibran.
"Waduh, gue ke kantin dulu ya." Gibran berpamitan dengan Alan. Namun Alan menaikan alisnya seperti menanyakan kenapa pergi?
"Gue nggak mau jadi obat nyamuk Lan. Bye."
"Ehh Ran!" Panggil Aluna.
"Lo jangan bilang sama Dara Laura ya kalo gue ke sini. Gue nggak mau mulut lemes mereka jadi heboh satu kelas."
"Siap." kemudian Gibran pergi. Kini tinggal mereka berdua, Alan dan Aluna.
Aluna kemudian duduk di bangku sebrang Alan. Padahal dekat Alan itu ada bangku tapi Aluna tidak enak hati. Entah angin dari mana Aluna seberani ini mendatangi Alan.
"Baru selesai hukuman ya?" tanya Aluna. Alan hanya mengangguk lesu. Aluna menyodorkan botol minum berwarna tosca. Memberikan pada Alan agar ia meminumnya.
"Udah nggak apa-apa lo minum. Gue bawa dua botol" Aluna memperlihatkan botol berwarna oranye untuk dirinya.
"Sini." Alan menepuk bangku di sebelahnya
agar Aluna duduk tidak terlalu jauh dengannya.
"Gue bawain roti selai buat lo." Aluna menyerahkan kotak makan itu pada Alan. Kemudian Alan membukanya tanpa mengucapkan apapun.
"Lo nggak suka ya?" tampak wajah Alan terlihat tidak senang. Atau mungkin memang wajah Alan yang seperti itu? Dingin, datar dan cuek?
"Terakhir gue makan ini dulu. Sebelum nyokap kecelakaan." ujar Alan sambil menatap sendu Aluna.
"Kalo lo mau kapanpun itu biar gue bikinin ya?" Aluna tersenyum pada lelaki di depannya ini.