Ya Tuhan kenapa cobaan Alan terus berdatangan. Kenapa sulit sekali untuk hidup dengan tenang dan damai. Bagaimana yang akan dilakukan dirinya ?
Pernikahan itu akan berlangsung empat hari lagi. Tuhan kenapa secepat itu?
Pernikahan bukan hal yang mudah di jalani setelahnya nanti. Dirinya harus memikirkan istri dan anaknya. Kenapa dirinya tidak menikmati
masa-masa remaja seperti remaja lainnya? Kenapa Tuhan? Alan benar-benar rapuh saat ini. Ia belum bisa menerima permintaan Ayu.
Deringan ponsel Alan membuyarkan lamunannya. Ia segera mengambilnya di atas kasur.
Papa ia calling..
Malas. Itulah yang membuat Alan enggan mengangkat telepon dari Adam. Dirinya tidak mau ribut dengan Adam hanya karena Adam memaksa dirinya untuk meneruskan perusahaan itu.
Satu kali tidak terangkat oleh Alan. Lagi-lagi Adam menelfon dirinya lagi. Hembusan nafas berat.
"Alan?"
"Iya."
"Apa kamu sudah tau nak tentang permintaan mamah kamu?"
"Hm."
"Besok papa minta setelah pulang sekolah kamu sama Aluna ke butik ibu Revina ya?"
"Ngapain?"
"Pilih baju lan buat pernikahan kamu."
"Nggak bisa. Sibuk."
"Alan, dengerin papa nak. Nggak apa-apa kalo kamu nggak nurutin permintaan papa, tapi tolong kamu turutin permintaan mamah. Liat kondisi mama sekarangkan? Jadi anak yang berbakti ya nak."
"Ya udah papa ada kerjaan yang belum selesai. Besok ibu katanya nunggu di butik nanti papa kirim alamatnya. Selamat malam nak." panggilan terputus.
Pusing, frustasi, bingung. Banyak sekali pikiran yang memenuhi otak alan saat ini. Alan membuka galeri. Ada beberapa foto dirinya dan juga Adel.
Rindu. Itulah yang rasakan saat ini. Rindu dengan sosok Adelia Putri. Senyum manis tergambar jelas di wajah Adel. Kenapa takdirnya seperti ini Sungguh Alan masih sangat membutuhkan sosok Adel di dekatnya.
"Alan?" suara Ayu di balik pintu.
"Iya mah, masuk aja " Alan memasukan ponselnya ke dalam saku celana.
"Kamu lagi apa nak?" Ayu duduk di sebelah Alan.
"Duduk aja mah." berusaha menampilkan senyum agar Ayu tidak khawatir padanya.
"Besok om Hendri sama salsa mau ke sini." Hendri adalah teman dari Ayah Ayu, Wisnu. Dan Salsa adalah anak Hendri, Salsa juga pernah bertemu dengan Alan sewaktu mereka berumur delapan
tahun. Tetapi waktu mereka berumur dua belas tahun, Salsa dan Hendri pindah ke Belanda.
"Salsa? Kapan mereka ke sini mah?" Alan sangat antusias. Ia juga merindukan sosok gadis itu. Gadis periang, Alan bahkan sangat menjaga perasaan salsa. Salsa dan Alan dulu sering bermain bersama. Mereka juga satu sekolah. Salsa mempunyai fisik lemah dan mudah sakit jadi Alan sangat menjaga teman perempuannya itu. Ia bahkan tidak mau jika salsa pergi ke sana kemari sendirian. Harus ada Alan di sampingnya.
"Kata papah kamu besok kamu sama Luna ke butik? Nah kebetulan mereka sampai di bandara sekitar jam lima sore. Jadi habis ke butik kami langsung ke bandara ya?"
"Iya mah." Alan tersenyum. Ia sungguh sangat merindukannya. Salsa gadis cantik blasteran Indonesia-Belanda itu membuat hidup Alan selalu cerah.
***
Pagi yang cerah. Alan hari ini bangun pagi tidak seperti biasanya. Ia sungguh senang menanti kehadiran Salsa. Ia sungguh rindu pada gadis itu.
Setelah bersiap ia akan menjemput Aluna karena tadi Ayu menyuruhnya. Jika tidak menyuruhnya, Alan sangat malas. Sebenarnya perasaan Alan ini bagaimana? Alan mulai menyayangi Aluna tapi setelah mendengar bahwa Salsa akan datang, Alan menjadi acuh pada Aluna.
Ia merasa Aluna sangat tidak penting. Padahal ia sadar bahwa tiga hari lagi pernikahan mereka akan segera dilaksanakan.
"Berangkat mah, assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam, hati-hati nak." ujar Ayu. Ayu tengah duduk di sofa depan televisi. Wajah pucat, tubuh yang terlihat sangat kurus. Kenapa semakin hari kondisi Ayu semakin seperti ini?
Motor CBR berwarna merah memasuki gerbang rumah milik Aluna.
"Tumben pagi banget." Ujar Aluna sambil memakai helm-nya.
"Nggak usah komen!" memang tidak ada yang berubah dalam diri Alan. Mungkin Aluna harus sabar menghadapi laki-laki yang tengah membawa motor ini. Motor itu melaju lumayan cepat. Melewati jalanan yang ramai karena ini jam-jam untuk berangkat kerja maupun sekolah.
Alan memakirkan motornya di parkiran luas SMA cendrawasih.
"Nanti ke butik." ujar Alan sambil turun
dari motor sport-nya itu.
"Ngapain?"
"Pulang sekolah gue tunggu!" memang kenapa sih setiap perkataan atau pertanyaan Aluna tidak pernah di tanggapi oleh Alan? Padahalkan Aluna juga ingin tahu.
"Pagi-pagi dijemput doi. Aduh gue yang jomblo cuma bisa liat keuwuan orang lain." celetuk Laura.
"Bisa aja lo."
"Eh udah lama nih kita nggak nongkrong bareng. Kue lah nanti sore." benar kata Dara. Mereka akhir-akhir ini jarang pergi bersama.
"Gue nggak bisa kalo nanti pulang sekolah." ujar Aluna yang tengah menatap ponselnya.
"Emang lo mau ngapain?" biasanya Aluna sangat antusias jika mereka akan pergi bersama. Tapi kenapa Aluna kali ini menolak?
"Gue di suruh nyokap ke butik, iya ke butik
nyokap." sedikit gugup, tapi Aluna bisa mengatasinya. Ia tidak mau sahabatnya
mengetahui tentang pernikahan dirinya dengan Alan.
Bukan apa-apa, Aluna ingin yang tahu soal ini hanya keluarga Alan dan keluarga Aluna.
"Ya udah besok-besok juga nggak apa-apa kan masih ada waktu." ucap Dara pasrah.
***
Seperti yang dikatakan Alan tadi. Alan sudah menunggu dirinya di parkiran sekolah. Aluna langsung menghampiri Alan.
"Naik." titah Alan yang sudah berada di atas motornya.
Lima belas menit dalam perjalanan. Akhirnya mereka sampai di butik Revina. Butik mewah itu terlihat elegan. Sebenarnya Alan tidak mau harus datang ke tempat ini. Lagian juga ibunya Aluna
punya butik bukan?
"Mewah banget yah." kagum Aluna.
"Silahkan masuk." sapa pelayan di sana.
"Eh Alan sama Luna sudah datang. Sini nak, ibu sudah siapkan beberapa gaun buat kamu." Revina menggandeng tangan Aluna agar Aluna ikut dengannya.
"Darta, bawa Alan ke sana ya. Siapkan baju yang sudah saya pilih tadi." Darta adalah salah satu pegawai di sana. Gaun pengantin cantik sudah berjejer di sana. Aluna sungguh canggung karena ia tidak dekat dengan Revina.
"Cobain dulu satu-satunya ya. Pilih mana
yang menurut kamu pas dan cocok." ujar Revina ramah. Aluna mencoba beberapa gaun sampai
akhirnya ia memilih gaun panjang yang sangat cocok di tubuh tinggi Aluna. Ia bergegas keluar dari ruang ganti dan menemui Revina.
"Luna pilih gaun ini tante." ujar Aluna sambil menyerahkan gaun yang sudah Aluna pilih.
"Jangan panggil tante,panggil ibu aja ya."Revina terlihat ramah. Tapi kenapa Alan begitu membencinya?
"Makasih bu." Canggung. Itulah yang Aluna rasakan saat ini.
"Kita ke depan yuk. Kayaknya Alan udah nungguin." Revina kembali menggandeng tangan Aluna.
Terlihat Alan sedang duduk sambil memainkan ponsel miliknya. Setelah ia sadar akan kehadiran Aluna dan Revina, Alan memasukan ponselnya dalam saku celana.
"Makasih bu, kami pamit dulu." pamit Aluna ramah. Ia menyalami Revina.