"Kita harus kembali ke Kota Air," kata Paman Bayu tiba-tiba. "Aku khawatir sesuatu juga terjadi di sana, karena juga dilewati perahu besar itu."
"Bagaimana dengan Nimas?" tanya Pring tercekat.
"Kita cari bersama," kata Paman Bayu. "Ki Anjo, kami akan kembali ke Kota Air secepatnya. Apa ada perahu yang bisa kami pakai?"
Dengan memendam kesedihan dan kemarahan Ki Anjo menjawab, "Ada perahu yang kami simpan di cekungan sungai. Mudah-mudahan saja setan-setan itu tidak melihatnya," kata Ki Anjo dan mengantar Pring dan pamannya menuju tepi sungai. Syukurlah perahu itu masih ada.
"Kami tidak tahu kapan akan kembali ke dusun ini, Ki Anjo. Mudah-mudahan ada umur kita untuk bertemu lagi. Kami percaya warga dusun akan segera pulih dari luka-lukanya," kata Paman Bayu kepada Ki Anjo.
"Kabari kami bila Nimas telah kalian temukan," kata Ki Anjo. Pring banyak terdiam diri karena kesedihannya. "Sabar, Pring! Tuhan akan mempertemukan kalian. Saya sangat yakin adikmu akan kembali padamu."
Pring mengangguk tanpa kata-kata. Perahu hanyut ke arah hilir, Paman Bayu sangat mahir mengendalikannya. Arus sungai yang deras mempercepat perjalanan mereka. Karena terhalang malam, terpaksa perahu mendarat dan mereka membuat api unggun untuk menginap. Esoknya mereka melanjutkan menyusuri sungai. Ketika matahari di atas ubun-ubun mereka makin mendekati Kota Air. Ada kepulan asap, ada tanda-tanda telah terjadi sesuatu di sana. Seperti. perkiraan pamannya, Kota Air sudah hancur dengan bekas-bekas kebakaran. Paman Bayu sangat geram, dengan tak sabar dia segera merapatklan perahu dan berlari ke arah rumahnya. "Me Hwa! Me Hwa!" Pring ikut memanggil-manggil bibinya, tidak ada jawaban karena rumah-rumah di tepi sungai itu sudah rata tanah.
Seseorang mendekati mereka. "Apa yang terjadi, Kang Rodra?" tanya Paman Bayu tidak sabar.
"Istrimu ada di rumahku bersama A Liong yang terluka. Tuan Li Tiong hilang, mungkin dibuang ke sungai oleh orang perahu besar berkepala naga. Tapi kami tidak tahu betul apa yang terjadi di sini. Karena kami tidak berani mendekat. Setelah huru-hara selesai barulah kami berani melongok dan kami mendapai A Liong terluka. Istrimu kami temukan belakangan, karena dia bersembunyi dan sangat ketakutan," kata orang itu. "Beruntung rumah kami tidak di tepi sehingga selamat. Ayo ikut aku!"
Pring dan Paman Bayu mengikuti orang itu menuju rumahnya. Begitu sampai di rumah itu seseorang mengintip dari dalam lalu keluar, Bibi Me Hwa menangis keras. "Mereka telah membunuh ayah!" Paman Bayu menenangkan istrinya.
"Bagaimana luka A Liong?" tanya Paman Bayu. A Liong terbaring di balai-balai bambu dengan luka-luka yang dipenuhi remah-remah dedaunan kering.
"Masih lemah," kata Rodra. "Saat kami temukan dia tidak sadarkan diri dengan darah mengucur dari luka-lukanya. Untungnya, ada di antara kami yang bisa mengobati meskipun hanya dengan dedaunan."
"Terima kasih. Tidak terkira hutang budi kami kepada Kang Rodra," kata Paman Bayu.
"Di mana Nimas? Kenapa tidak bersama kalian?" tanya Bibi Me Hwa. Tidak terbendung lagi ar mata Pring. Bibi Me Hwa memeluknya, seakan tahu apa yang terjadi tanpa Pring menceritakannya.
"Perahu besar mereka bisa bergerak cepat," kata seseorang yang ada di rumah Rodra.
"Orang-orang berkulit kuning. Dengan rambut panjang diikat," kata yang lain. "Aku sangat takut sampai terhenti napasku saat itu."
"Untung kamu tidak mati mendadak," seru yang lain menggoda, masih bisa bercanda.
Paman Bayu mengambil napas panjang. "Tidak ada rumah lagi. Kita harus membangun rumah sementara. Sebaiknya jangan dekat sungai. Lebih masuk lagi ke pedalaman."
"Aku setuju," kata Bibi Me Hwa. Bibi Me Hwa melepas perhiasannya dan menyerahkan kepada Rodra. "Tolong, buatkan kami rumah sederhana."
Rodra tertawa, "Simpanlah kembali perhiasan itu, Nyi. Sangat cocok untukmu. Biar kami bergotong-royong membuat rumah untuk kalian. Meskipun dengan bahan seadanya."
"Sekali lagi kami sangat berhutang budi kepada saudara-saudara kami," kata Paman Bayu.
"Tuan Ling Tiong sering menolong saat kami kesusahan. Saatnya kami membalas kebaikannya," kata yang lain.
"Bagaimana dengan tanahnya? Bukankah kami harus membayarnya?" tanya Paman Bayu.
"Ha-ha-ha! Bukankah tanah masih sangat luas di sini. Bumi pun akan bahagia bila anak-anaknya saling menolong. Bukankah begitu?" ujar Rodra.
Paman Bayu dan Bibi me Hwa mengangguk. "Kearifan ternyata ada di mana-mana," kata Bibi Me Hwa.
"Dan kejahatan pun tak kurang banyaknya di muka bumi," kata Rodra tersenyum. "Bukankah apa yang terjadi beberapa hari lalu itu perbuatan keji?"
"Bagaiaman dengan Nimas, Paman?" tanya Pring. Paman Bayu tersayat hatinya mendengar pertanyaan Pring.
"Kita akan mencarinya sampai ketemu. Tapi, tunggu sampai Paman A Liong pulih luka-lukanya. Sehingga dia bisa membantu kita menemukan Nimas."
"Berapa lama?" tanya Pring.
Paman Bayu merengkuh bahunya. "Bagi paman dan bibimu, kalian adalah anak-anak kami. Jadi, menemukan Nimas adalah kewajiban kami. Bersabarlah beberapa waktu. Aku bersumpah akan mencari Nimas, di ujung bumi sekali pun."
Sepuluh hari kemudian A Liong sudah pulih dari luka-lukanya yang ternyata tidak begitu berat. Darinya diperoleh cerita bahwa dirinya dan beberapa temannya melawan gerombolan orang-orang kapal yang memaksa Tuan Ling Tiong menyerahkan batu giok di kalungnya. "Entahlah, apakah ada di antara teman-temanku itu yang selamat. Aku sendiri saja tidak tahu kalau selamat. Karena aku sudah kelelahan dan dilempar mereka ke sungai. Tapi sempat kulihat Handoko berhasil menyusup masuk ke dalam kapalnya dan melakukan perlawanan sengit dan sempat kulihat membuang beberapa tong kayu ke sungai. Entah isinya apa."
"Bisa arak atau bubuk mesiu. Panah-panah api tanpa busur itu karena mereka memakai obat api itu," kata Paman Bayu kepada Pring.
"Apa ayah ditemukan?" tanya A Liong.
"Tidak. Sudah kusuruh beberapa orang untuk mencari kabar tentang mayat di sungai. Tapi tidak ada kabarnya," kata Paman Bayu. "Aku dan Pring akan mencari Nimas yang katanya dibawa gerombolan itu."
"Biarlah aku ikut serta," kata Aliong. "Mungkinkah ada hubungannya gerombolan pengacau itu dengan kapal-kapal Cheng Ho? Bagaimana pendapat, Kakang Bayu?" tanya A Liong.
"Ada dua kemungkinan. Mereka sengaja diperintah untuk bersikap seperti itu untuk menakut-nakuti penduduk yang didatangi, atau sebaliknya."
"Maksudnya?"
"Mungkin ada pihak lain yang hendak menjatuhkan martabat Laksamana Cheng Ho. Karena selama ini kudengar mereka selalu bersikap baik kepada warga pribumi. Pengacau itu mencuri kesempatan, sehingga mereka akan berbuat onar tanpa perlawanan berarti kerena armada Cheng Ho telah menggentarkan hampir semua kerajaan yang dilewatinya."
"Bagaimana dengan bajak laut, apakah memungkinkan?" tanya A Liong.
Paman Bayu tidak segera menjawab. "Ini Bengawan Solo yang sangat jauh dari Selat Malaka, markas besar mereka."
"Terus bagaimana kita mengejar mereka?" tanya Pring.
"Satu-satunya jalan kita menyusup ke armada Cheng Ho. Entah bagaimana caranya. Dengan begitu kita akan mendapat berita tentang keberadaan Nimas, itu jika kita beruntung," kata Paman Bayu.
"Maskud, Paman?" tanya Pring menyiratkan kekhawtiran akan adiknya.
"Kalau gerombolan kejam itu salah satu armada Cheng Ho pasti ada catatannya, dan kita bisa menuntut kepada pimpinannya untuk melakukan pengadilan terhadap anak buahnya yang telah mencemarkan nama baiknya! Susahnya kalau tindakan biadab itu memang direstui pimpinannya," kata Paman Bayu. "Bagaimana dengan kakakmu? Akankah sendirian di sini? Biarlah kamu tinggal di sini sambil memulihkan luka-lukamu.," kata Paman Bayu pada A Liong.
A Liong terdiam tidak segera manjawab. "Lukaku akan sembuh dalam perjalanan nanti. Kakak Me Hwa akan aman di sini. Kita titipkan pada Kang Rodra dan teman-temannya. Aku percaya mereka akan menjaganya sepenuh hati. Ayah sangat disegani mereka. Kakang sendiri juga tahu itu," kata A Liong. "Batu giok di leher ayah harus ketemukan, karena itu warisan leluhur dan simbol keluarga besar kita. Apa kata mereka kalau sampai kita tidak bisa menyelamatkan batu giok itu."
Paman Bayu termenung. Akhirnya dia mengutarakan rencana akan pergi mencari Nimas dan tidak tahu kapan akan kembali. "Anggap suamimu berlayar lagi seperti dulu. Doakan agar kita segera bertemu."
"Setelah kehilangan ayah kini aku ditinggal orang-orang yang kukasihi," kata Bibi Me Hwa. "Tapi demi Nimas, kuizinkan kalian pergi." Bibi Me Hwa menitikkan air mata.
"Kakang Bayu, apa kita harus membeli perahu besar?" tanya A Liong.
"Tidak, ke muara sungai dengan perahu kecil. Nanti kita mencari kapal atau perahu besar untuk mendapatkan tumpangan. Mudah-mudahan aku bertemu teman-teman lama," kata Paman Bayu. Akhirnya mereka berpamitan kepada Bibi Me Hwa, Rodra, dan yang lainnya. Mereka menitipkan Bibi Me Hwa. "Kami tidak tahu kapan akan kembali. Kami mencari darah daging kami yang dibawa gerombolan itu. Adiknya Pring."
"Berhati-hatilah, kami hanya bisa berdoa atas keselamatan kalian," kata Rodra. "Kami berjanji akan menjaga Nyi Bayu sebagai keluarga kami sendiri. Percayalah kepada kami."