Paman Bayu menepuk-nepuk bahu Rodra. "Kami percaya akan ketulusan kalian. Besok pagi kami berangkat dengan menyusuri sungai menuju Tanjung Pangkah." Paginya, mereka berangkat dengan perahu menuju hilir. Paman Bayu dan A Liong memegang dayung dan Pring duduk di tengah-tengah. Perahu mereka beratap rumbia, sehingga bisa menghindari terik matahari. Perahu dikayuh agak ke tengah sungai lalu hanyut. Pring melihat Bibi Me Hwa yang mengintip kepergian mereka sambil menyeka air mata tapi dia tidak memberi tahu pamannya. Dilihatnya tongkat pamannya berganti, bukan yang dilihatnya selama ini. "Tongkat baru buatan Rodra," kata Paman Bayu saat Pring memandangi tongkatnya. Tapi, Pring tidak melihat kapan Rodra membuatnya. Tapi kenapa kayunya itu sudah kelihatan tua, tidak ada tanda-tanda baru dibuat.
"Ah, paling juga tongkat itu nanti tidak diperlukannya. Nanti kamu juga akan tahu sendiri," kata A Liong tertawa. "Maksudku, Pring, Kalau mandi Kakang Bayu tidak memakai tongkat."
"Dasar A Liong!" gerutu Paman Bayu.
Semakin ke hilir mereka sering menemui perahu-perahu dagang dan nelayan. Juga beberapa kehancuran dusun-dusun yang tidak jauh dari tepi sungai. Pastilah ulah perahu besar itu! Kadang-kadang juga bertemu perahu besar dan mereka saling menyapa dengan berteriak. Beberapa kali mereka mendarat untuk membeli makanan, kadang juga duduk di dangau untuk untuk mencari kabar tentang keberadaan perahu naga itu. Tidak ada yang tahu. Mereka juga menanyakan perkembangan pelayaran armada Cheng Ho. Mereka mendapat cerita tentang keganasan orang-orang perahu besar yang menarik upeti dengan kekerasan. Ternyata, ada empat perahu besar saat itu, masing-masing perahu berisi puluhan orang. "Orang-orang berkucir! Beberapa di antara mereka tampaknya prajurit, karena memakai baju sisik besi!"
Beberapa hari kemudian mereka mendapat kabar kalau iring-iringan kapal itu sudah berada di Tuban. "Mereka berlabuh di Tuban. Tapi masih ada sebagian yang berada di Tanjung Awar-awar. Tampaknya mereka sengaja menarik upeti dari singkek-singkek perantauan. Ribuan awak kapal dan prajuritnya sangat membuat ciut nyali. Belum tentu prajurit Mojopahit atau Blambangan mampu menandinginya, bahkan seandainya kalau dua kerajaan itu digabung."
"Hus, digabung bagaimana! Blambangan dan Mojopahit selalu bercakaran layaknya setan kucing dan setan anjing," kata yang lain jengkel.
"Apakah kalian pernah melihat pimpinan armada kapal itu, Laksamana Cheng Ho?" tanya Paman Bayu.
"Lho, setahu saya namanya Zheng He. Bukan Cheng Ho," kata yang ditanya.
Temannya tertawa. "Hus, itu nama yang sama. Layaknya nama itik dan bebek, benda yang dimaksud sama."
Pring tertawa mendengar dua orang yang dijumpainya itu. "Katanya, Zheng He adalah Laksamana Angkatan Laut Dinasti Ming," ujar Paman Bayu. "Kaisar Yongle, kaisar ketiga dinasti Ming, menunjuknya untuk memimpin pelayaran silaturahmi ke kerajaan-kerajaan lain. Cheng Ho diberi gelar Laksaman Samudera Barat."
"Kudengar kabar dia seorang banci," kata yang lain
"Bukan banci, tapi dia seorang kasim."
Pring mendengarkan percakapan itu dengan semangat. "Apa yang dimaksud kasim, Paman?" tanya Pring kepada A Liong sambil berbsiisk.
A Liong tersenyum dan berbisik, "Orang yang dikebiri."
"Apa itu dikebiri?" Kini A Liong yang terkejut. Wah, bagaimana mesti menjawabnya. "Hm....dikebiri itu dibuang buah zakarnya dengan sengaja. Itu tradisi beberapa istana untuk mendapatkan pengawal-penawal tangguh yang sangat setia kepada raja. Para kasim dikebiri sejak kanak-kanak. Padahal yang biasa dikebiri adalah binatang."
Pring ternganga. "Uh, tradisi yang kejam sekali."
"Ya, mungkin Cheng Ho salah satu korban dari tradisi itu," kata A Liong.
Kabar kalau Cheng Ho berlabuh di Tuban membuat Paman Bayu memutuskan untuk segera ke sana. Tapi matahari keburu terbenam dan mereka menemukan sebuah mushola di tepi sungai. Mereka pun minta izin untuk bisa bermalam di dalamnya, karena kasihan Pring yang selalu tidur di tempat terbuka. Pemilik mushola seorang pedagang keturunan Gujarat, India, namanya Aruk Khan. Mereka mendapat cerita lebih lengkap dari Aruk Khan tentang Cheng Ho, yang katanya seorang yang bijaksana. "Tetapi mereka telah mendatangkan musibah!" seru A Liong.
"Jangan cepat mengambil kesimpulan," kata Aruk Khan. "Ribuan prajurit bersamanya. Siapa tahu ada anak buahnya yang sengaja menjegal kedekatannya dengan Kaisar Ming. Untuk meruntuhkan citranya maka mereka membuat teror untuk mempermalukan Cheng Ho," kata Aruk Khan. "Konon dia seorang yang bijak dan adil. Tapi itu baru konon ceritanya. Benar tidaknya, walahu alam, hanya Tuhan yang tahu."
Paman Bayu dan Pring sempat sembahyang di mushola bersama Aruk Khan. A Liong tidak ikut karena dia seorang budhis. Malamnya Pring dan A Liong tidur di dalam mushola. Sementara Paman Bayu bercakap dengan Aruk Khan. Tak tahu apa yang mereka perbincangkan, Pring keburu lelap. Sebelum adzan Subuh, Pring dibangunkan untuk ikut sembahyang berjamaah. Setelah itu mereka makan pagi bersama keluarga Aruk Khan. Ada nasi goreng kambing, wah, Pring sangat menikmati makan paginya. Mereka pun diberi bekal makanan. Tak lama kemudian mereka sampai di Tanjung Pangkah. Saat itu perahu mereka berpapasan dengan perahu layar. Paman Bayu berteriak keras sekali, "Kahar!"
"Bayu! A Liong!" seru orang di atas perahu layar membalas teriakan itu, tak kalah keras. Perahu mereka merapat ke perahu besar itu. Mereka bertiga memanjat tangga tali ke atas perahu besar. Paman Bayu dan temannya itu saling berjabat tangan erat sekali.
"Ini Paman Kaharudin, pelaut Bugis yang sangat tangguh," kata Paman Bayu memperkenalkan orang itu kepada Pring.
"Oh, bukankah aku dulu pernah melihatnya?" kata Kahar. Pring terpana, mencoba mengingat-ingat. "Tentu saja kamu tidak ingat, karena saat itu kamu masih bayi. Saya pernah datang ke rumahmu, di Parisewu. Bertemu orangtuamu, saat itu aku minta tolong dicarikan jodoh. Saya dulu juga sering singgah di Kota Air," kata Kahar sambil tertawa. Kahar menanyakan kabar orangtuanya Pring, tapi Pring tidak menjawab sehingga Paman Bayu yang menjawabnya. Kahar terdiam tidak menatap Pring, membiarkan anak itu mengeluarkan air matamya tanpa malu. "Maaf, Pring. Aku tak bermaksud mengingatkan itu." Kahar juga mendapat cerita tentang nasib Tuan Ling Tiong. Tentu semua itu membuatnya berduka dan geram. "Bedebah mereka itu!" Kepada Kahar Paman Bayu bercerita tentang perjalanannya sekaligus menanyakan perkembangan armada Cheng Ho. "Saat ini masih berada di Tuban. Mungkin cukup lama di sana, karena mereka menunggu panen padi. Mereka perlu beras untuk melanjutkan pelayaran. Bayangkan, ribuan prajurit dan awak kapal."
"Apa perahumu ini berpapasan dengan armada itu?" tanya A Liong.
"Hanya saat saya di Semarang, saat berlabuh saya sempat melihat kapal-kapal mereka," jawab Kahar.
"Kami mencari Nimas, adiknya Pring, yang diculik orang-orang berkuncir," kata Paman Bayu.
Kahar menarik napas dalam-dalam. "Jelas bukan pekerjaan mudah," kata Kahar. "Bagaimana kalau kalian ikut kapalku. Aku juga menuju Tuban, kami hanya singgah untuk mengisi air tawar. Ayo, kita ke darat dulu saya ingin minum air kelapa muda."
"Huh, tahu begini seharusnya kamu tadi yang melompat ke perahu kami," gerutu A Liong. Mereka berempat turun ke perahu kecil dan mendayung ke darat, karena perahu besar tidak bisa merapat ke darat. Saat mereka sampai di darat dari arah barat muncul perahu besar dengan kecepatan besar, karena didayung. "Itu yang menghancurkan Kota Air!" teriak A Liong. Perahu besar berkepala naga menuju perahu layar Kahar, tampaknya sengaja mencari masalah sehingga halauannya sengaja ditabrakkan buritan perahu Kahar.